Recent Posts

Download

Blogger Tricks

Blogger Themes

Featured Video

RSS

بَابُ لَا

اِعْلَمْ أَنَّ “لَا” تَنْصِبُ اَلنَّكِرَاتِ بِغَيْرِ تَنْوِينٍ إِذَا بَاشَرَتْ اَلنَّكِرَةَ وَلَمْ تَتَكَرَّرْ “لَا” نَحْوَ “لَا رَجُلَ فِي اَلدَّارِ”

فَإِنْ لَمْ تُبَاشِرْهَا وَجَبَ اَلرَّفْعُ وَوَجَبَ تَكْرَارُ “لَا” نَحْوَ لَا فِي اَلدَّارِ رَجُلٌ وَلَا اِمْرَأَةٌ”

فَإِنْ تَكَرَّرَتْ “لَا” جَازَ إِعْمَالُهَا وَإِلْغَاؤُهَا, فَإِنْ شِئْتَ قُلْتُ “لَا رَجُلَ فِي اَلدَّارِ وَلَا اِمْرَأَةَ”. فَإِنْ شِئْتَ قُلْتُ “لَا رَجُلٌ فِي اَلدَّارِ وَلَا اِمْرَأَةٌ”.

Bab Laa

Ketahuilah! Bahwa apabila laa bertemu langsung dengan isim nakirah maka laa menashabkan isim nakirah dengan tanpa tanwin dan tidak mengulang-ulang laa. Contohnya : لَا رَجُلَ فِي اَلدَّارِ

Jika laa tidak bertemu langsung dengan nakirah maka wajib mengulang-ulang laa.

Contohnya : لَا فِي اَلدَّارِ رَجُلٌ وَلَا اِمْرَأَةٌ

Jika mengulang-ulang laa (berarti bertemu langsung dengan nakirah), maka boleh mengamalkannya (menjadikan laa sebagai amil yang menashabkan) atau menyia-nyiakannya. Maka jika kamu suka, kamu katakan : لَا رَجُلَ فِي اَلدَّارِ وَلَا اِمْرَأَةَ

Dan jika kamu suka, kamu katakan:

لَا رَجُلٌ فِي اَلدَّارِ وَلَا اِمْرَأَةٌ”.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

بَابُ اَلْمُنَادَى

اَلْمُنَادَى خَمْسَةُ أَنْوَاعٍ : المفرد اَلْعَلَمُ, وَالنَّكِرَةُ اَلْمَقْصُودَةُ, وَالنَّكِرَةُ غَيْرُ اَلْمَقْصُودَةِ, وَالْمُضَافُ, وَالشَّبِيهُ بِالْمُضَافِ

فَأَمَّا اَلْمُفْرَدُ اَلْعَلَمُ وَالنَّكِرَةُ اَلْمَقْصُودَةُ فَيُبْنَيَانِ عَلَى اَلضَّمِّ مِنْ غَيْرِ تَنْوِينٍ, نَحْوَ “يَا زَيْدُ” وَ”يَا رَجُلُ”

وَالثَّلَاثَةُ اَلْبَاقِيَةُ مَنْصُوبَةٌ لَا غَيْرُ.

Bab Munada (yang dipanggil)

Munada itu ada lima, yaitu :

.1المفرد اَلْعَلَمُ,(nama-nama)

.2 وَالنَّكِرَةُ اَلْمَقْصُودَةُ,(nakirah yang termaksud)

.3 وَالنَّكِرَةُ غَيْرُ اَلْمَقْصُودَةِ,(nakirah yang tidak termaksud)

.4 وَالْمُضَافُ,(yang diidhafahkan)

.5 وَالشَّبِيهُ بِالْمُضَافِ (yang menyerupai mudhaf)

Adapun mufrad ‘alam dan nakirah maqsudah maka ia dimabnikan atas dhammah

يَا زَيْدُ وَيَا رَجُلُ dengan tanpa tanwin contohnya

Dan tiga munada sisanya itu tidak lain dinashabkan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

بَابُ اَلْمَفْعُولِ لِأَجْلِهِ

وَهُوَ اَلِاسْمُ اَلْمَنْصُوبُ, اَلَّذِي يُذْكَرُ بَيَانًا لِسَبَبِ وُقُوعِ اَلْفِعْلِ, نَحْوَ قَوْلِكَ “قَامَ زَيْدٌ إِجْلَالًا لِعَمْرٍو” وَ”قَصَدْتُكَ اِبْتِغَاءَ مَعْرُوفِكَ”.

Bab Maf’ul min Ajlih


Maf’ul min ajlih adalah isim yang dinashabkan yang disebut untuk menjelaskan sebab-sebab terjadinya suatu perbuatan. Contohnya :

قَامَ زَيْدٌ إِجْلَالًا لِعَمْرٍو

zaid berdiri karena menghormati ‘amr

وَقَصَدْتُكَ اِبْتِغَاءَ مَعْرُوفِكَ.

Aku mencarimu karena mengharapkan kebaikanmu

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

بَابُ اَلْمَفْعُولِ مَعَهُ

وَهُوَ اَلِاسْمُ اَلْمَنْصُوبُ, اَلَّذِي يُذْكَرُ لِبَيَانِ مَنْ فُعِلَ مَعَهُ اَلْفِعْلُ, نَحْوَ قَوْلِكَ “جَاءَ اَلْأَمِيرُ وَالْجَيْشَ” وَ”اِسْتَوَى اَلْمَاءُ وَالْخَشَبَةَ”.

وأما خَبَرُ “كَانَ” وَأَخَوَاتِهَا, وَاسْمُ “إِنَّ” وَأَخَوَاتِهَا, فَقَدْ تَقَدَّمَ ذِكْرُهُمَا فِي اَلْمَرْفُوعَاتِ, وَكَذَلِكَ اَلتَّوَابِعُ; فَقَدْ تَقَدَّمَتْ هُنَاكَ.

Bab Maf’ul Ma’ah

Maf’ul ma’ah adalah isim yang dinashabkan yang disebut untuk menjelaskan sesuatu yang bersamanya dilakukan suatu perbuatan. Contohnya :

جَاءَ اَلْأَمِيرُ وَالْجَيْشَ وَاِسْتَوَى اَلْمَاءُ وَالْخَشَبَةَ

Adapun khabar kaana dan saudara-saudaranya dan ismu inna dan saudara-saudaranya maka sungguh telah diberikan penjelasannya pada bab isim-isim yang dirafa’akan begitu juga dengan yang mengikut dinashabkan (na’at, ‘athaf, taukid, badal) telah dijelaskan disana.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

بَابُ اَلْمَخْفُوضَاتِ مِنْ اَلْأَسْمَاءِ

اَلْمَخْفُوضَاتُ ثَلَاثَةُ أَنْوَاعٍ مَخْفُوضٌ بِالْحَرْفِ, وَمَخْفُوضٌ بِالْإِضَافَةِ, وَتَابِعٌ لِلْمَخْفُوضِ

فَأَمَّا اَلْمَخْفُوضُ بِالْحَرْفِ فَهُوَ مَا يَخْتَصُّ بِمِنْ, وَإِلَى, وَعَنْ, وَعَلَى, وَفِي, وَرُبَّ, وَالْبَاءِ, وَالْكَافِ, وَاللَّامِ, وَبِحُرُوفِ اَلْقَسَمِ, وَهِيَ اَلْوَاوُ, وَالْبَاءُ, وَالتَّاءُ, وَبِوَاوِ رُبَّ, وَبِمُذْ, وَمُنْذُ.

وَأَمَّا مَا يُخْفَضُ بِالْإِضَافَةِ, فَنَحْوُ قَوْلِكَ “غُلَامُ زَيْدٍ” وَهُوَ عَلَى قِسْمَيْنِ مَا يُقَدَّرُ بِاللَّامِ, وَمَا يُقَدَّرُ بِمِنْ; فَاَلَّذِي يُقَدَّرُ بِاللَّامِ نَحْوُ “غُلَامُ زَيْدٍ” وَاَلَّذِي يُقَدَّرُ بِمِنْ, نَحْوُ “ثَوْبُ خَزٍّ” وَ“بَابُ سَاجٍ” وَ”خَاتَمُ حَدِيدٍ .

والله اعلم با الصواب

Bab Isim-isim yang Dikhafadhkan (dijarkan)

Isim-isim yang dikhafadhkan itu ada tiga bagian :

1. Dikhafadhkan dengan huruf khafadh
2. Dikhafadhkan dengan idhafah
3. Dikhafadhkan karena mengikuti yang sebelumnya

Adapun yang dijarkan dengan huruf yaitu apa-apa yang dijarkan dengan huruf

مِنْ, وَإِلَى, وَعَنْ, وَعَلَى, وَفِي, وَرُبَّ, وَالْبَاءِ, وَالْكَافِ, وَاللَّامِ, dan dengan huruf sumpah yaitu

اَلْوَاوُ, وَالْبَاءُ, وَالتَّاءُِdan dengan مُذْ, وَمُنْذُ.

Adapun yang dijarkan dengan idhafah maka contohnya: غُلَامُ زَيْدٍ dan yang dijarkan dengan idhafah itu ada dua, pertama yang ditaqdirkan dengan lam dan kedua yang ditakdirkan dengan min.

Maka yang ditaqdirkan dengan lam contohnya: غُلَامُ زَيْدٍ

Dan yang ditaqdirkan dengan min contohnya: ثَوْبُ خَزٍّ وَبَابُ سَاجٍ وَخَاتَمُ حَدِيدٍ

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

بَابُ اَلْمَفْعُولِ بِهِ

وَهُوَ اَلِاسْمُ اَلْمَنْصُوبُ, اَلَّذِي يَقَعُ بِهِ اَلْفِعْلُ, نَحْوَ ضَرَبْتُ زَيْدًا, وَرَكِبْتُ اَلْفَرَسَ

وَهُوَ قِسْمَانِ ظَاهِرٌ, وَمُضْمَرٌ

فَالظَّاهِرُ مَا تَقَدَّمَ ذِكْرُهُ

وَالْمُضْمَرُ قِسْمَانِ مُتَّصِلٌ, وَمُنْفَصِلٌ

فَالْمُتَّصِلُ اِثْنَا عَشَرَ, وَهِيَ ضَرَبَنِي, وَضَرَبَنَا, وَضَرَبَكَ, وَضَرَبَكِ, وَضَرَبَكُمَا, وَضَرَبَكُمْ, وَضَرَبَكُنَّ, وَضَرَبَهُ, وَضَرَبَهَا, وَضَرَبَهُمَا, وَضَرَبَهُمْ, وَضَرَبَهُنَّ

وَالْمُنْفَصِلُ اِثْنَا عَشَرَ, وَهِيَ إِيَّايَ, وَإِيَّانَا, وَإِيَّاكَ, وَإِيَّاكِ, وَإِيَّاكُمَا, وَإِيَّاكُمْ, وَإِيَّاكُنَّ, وَإِيَّاهُ, وَإِيَّاهَا, وَإِيَّاهُمَا, وَإِيَّاهُمْ, وَإِيَّاهُنَّ.


Maf’ul bih adalah isim yang dinashabkan yang dikenakan padanya suatu perbuatan

ضَرَبْتُ زَيْدًا, وَرَكِبْتُ اَلْفَرَسَ Contohnya

Maf’ul bih itu ada dua bagian, yaitu maf’ul bih dzhahir dan maf’ul bih dhamir

Maf’ul bih dzhahir telah dijelaskan sebelumnya (pada bab-bab yang menjelaskan tentang isim dzhahir)

Sedangkan maf’ul bih dhamir itu terbagi menjadi dua

1. Muttashil / bersambung

Maf’ul bih dhamir muttashil ada dua belas, yaitu

ضَرَبَنِي, وَضَرَبَنَا, وَضَرَبَكَ, وَضَرَبَكِ, وَضَرَبَكُمَا, وَضَرَبَكُمْ, وَضَرَبَكُنَّ, وَضَرَبَهُ, وَضَرَبَهَا, وَضَرَبَهُمَا, وَضَرَبَهُمْ, وَضَرَبَهُنَّ

2. Munfashil / terpisah

Maf’ul bih dhamir munfashil ada dua belas, yaitu

إِيَّايَ, وَإِيَّانَا, وَإِيَّاكَ, وَإِيَّاكِ, وَإِيَّاكُمَا, وَإِيَّاكُمْ, وَإِيَّاكُنَّ, وَإِيَّاهُ, وَإِيَّاهَا, وَإِيَّاهُمَا, وَإِيَّاهُمْ, وَإِيَّاهُنَّ.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

MAHROM BAGI WANITA

Mahrom merupakan masalah yang penting dalam Islam karena ia memiliki beberapa fungsi yang penting dalam tingkah laku, hukum-hukum halal/haram. Selain itu juga, Mahrom merupakan kebijaksanaan Allah dan kesempurnaan agama-Nya yang mengatur segala kehidupan. Untuk itu, seharusnya kita mengetahui siapa-siapa saja yang termasuk mahrom dan hal-hal yang terkait dengan mahrom.

Banyak sekali hukum tentang pergaulan wanita muslimah yang berkaitan erat dengan masalah mahrom, Seperti hukum safar, kholwat (berdua-duaan), pernikahan, perwalian dan lain-lain.

Ironisnya, masih banyak dari kalangan kaum muslimin yang tidak memahaminya, bahkan mengucapkan istilahnya saja masih salah, misalkan mereka menyebut dengan "Muhrim" padahal muhrim itu artinya adalah orang yang sedang berihrom untuk haji atau umroh.

Dari sinilah, maka kami mengangkat masalah ini agar menjadi bashiroh (pelita) bagi ummat. Wallahu Al Muwaffiq

[1]. Definisi Mahrom
Berkata Imam Ibnu Qudamah rahimahullah : Mahrom adalah semua orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab, persusuan dan pernikahan. [1]

Berkata Imam Ibnu Atsir rahimahullah : Mahrom adalah orang-orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya seperti bapak, anak, saudara, paman dan lain-lain. [2]

Berkata Syaikh Sholeh Al-Fauzan : Mahrom wanita adalah suaminya dan semua orang yang haram dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab seperti bapak, anak, dan saudaranya, atau dari sebab-sebab mubah yang lain seperti saudara sepersusuannya, ayah ataupun anak tirinya. [3]

[2] Macam-Macam Mahrom
Dari pengertian di atas, maka mahrom itu terbagi menjadi tiga macam:

Mahrom Karena Nasab (Keluarga)
Mahrom dari nasab adalah yang disebutkan oleh Alloh Ta'ala dalam surat An-Nur: 31
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka atau ayah suami mereka atau putra-putra mereka atau putra-putra suami mereka atau saudara-saudara lelaki mereka atau putra-putra saudara laki-laki mereka atau putra-putra saudara perempuan mereka ....

Para ulama' tafsir menjelaskan: "Sesungguhnya lelaki yang merupakan mahrom bagi wanita adalah yang disebutkan dalam ayat ini, mereka adalah: .

[1]. Ayah
Termasuk dalam kategori bapak yang merupakan mahrom bagi wanita adalah kakek, baik kakek dari bapak maupun dari ibu. Juga bapak-bapak mereka ke atas. Adapun bapak angkat, maka dia tidak termasuk mahrom berdasarkan firman Alloh Ta' ala:

"....Dan Alloh tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu ... " [Al-Ahzab : 4]

Dan ayat ini dilanjutkan dengan firman-Nya:

“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak'mereka, itulah yang lebih adil disisi Alloh, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu.... [Al-Ahzab : 5]

Berkata Imam Al Qurthubi rahimahullah: "Seluruh ulama tafsir sepekat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Zaid bin Haritsah. Para imam hadits telah meriwayatkan dari Ibnu Umar, Beliau berkata: "Dulu tidaklah kami memanggil Zaid bin Haritsah kecuali dengan Zaid bin Muhammad sehingga turun firman Alloh Taala:

"Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka...."[4]

Berkata Imam Ibnu Katsir: "Ayat ini menghapus hukum yang terdapat di awal Islam yaitu bolehnya mengambil anak angkat, yang mana dahulu kaum muslimin memperlakukan anak angkat seperti anak sendiri dalam masalah kholwah dan yang lainnya”.

Maka Alloh memerintahkan mereka untuk mengembalilcan nasab mereka kepada bapak-bapak mereka yang sebenarnya. Oleh karena itulah Alloh membolehkan menikah dengan bekas istri anak angkat. Dan Rosululloh menikah dengan Zainab binti Jahsy setelah di ceraikan oleh Zaid bin Haritsah. Alloh berfirman:

“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu'min untuk mengawini istri-istri anak angkat mereka... [Al Ahzab : 37]

Oleh karena itu Alloh berfirman tentang wanita-wanita yang diharamkan menikah dengannya:

“Dan istri anak kandungmu... [An Nisa' : 23]

Jadi tidak termasuk yang diharamkan istri anak angkat. [5]
Berkata Imam Muhammad Amin Asy Syinqithi: "Difahami dari firman Alloh Ta'ala : "Dan istri anak kandungmu" [An Nisa': 23]. Bahwa istri anak angkat tidak termasuk yang diharamkan, dan hal ini ditegaskan oleh Alloh dalam surat Al Ahzab ayat 4, 37, 40." [6 ]

Adapun bapak tiri dan bapak mertua akan kita bahas pada babnya.

Setelah mengetahui definisi mahrom dari para ulama' dan sebagian dari jenis mahrom (yakni mahrom karena nasab keluarga), maka pembahasan selanjutnya adalah mengenai contoh-contoh dari mahram dengan sebab keluarga. Juga, berikut ini akan dibahas secara singkat tentang persusuan. Bagaimana definisinya dan batasan-batasannya?

[2]. Anak laki-laki
Termasuk dalam kategori anak laki-laki bagi wanita adalah cucu, baik cucu dari anak laki-laki maupun anak perempuan dan keturunan mereka. Adapun anak angkat, maka dia tidak termasuk mahrom berdasar pada keterangan di atas. Dan tentang anak tiri dan anak menantu laki-laki akan kita bahas pada babnya.
[3]. Saudara laki-laki, baik saudara laki-laki kandung maupun saudara sebapak ataupun seibu saja.
[4]. Anak laid-laki saudara (keponakan), baik keponakan dari saudara laki-laki maupun perempuan dan anak keturunan mereka. [7]
[5]. Paman, baik paman dari bapak ataupun paman dari ibu.

Berkata Syaikh Abdul Karim Zaidan: "Tidak disebutkan paman termasuk mahrom dalam ayat ini [An Nur: 31] di karenakan kedudukan paman sama seperti kedudukan kedua orang tua, bahkan kadang-kadang paman juga disebut sebagai bapak. Alloh Ta'ala berfirman:

“Adakah kamu hadir ketika Ya'qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" Mereka menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan bapak-bapakmu Ibrahim, Ismail dan Ishaq...." [Al-Baqarah: 133]

Sedangkan Isma'il adalah paman dari putra-putra Ya'qub. [8]

Dan bahwasanya paman termasuk mahrom adalah pendapat jumhur ulama'. Hanya saja imam Sya'bi dan Ikrimah, keduanya berpendapat bahwa paman bukan termasuk mahrom karena tidak disebutkan dalam ayat ini juga dikarenakan hukum paman mengikuti hukum anaknya (padahal anak paman atau saudara sepupu bukan termasuk mahrom -pent).[9]

Mahrom Karena Persusuan
Pembahasan ini kita bagi menjadi beberapa fasal sebagai berikut:

Definisi Hubungan Persusuan
Persusuan : Adalah masuknya air susu seorang wanita kepada anak kecil dengan syarat-syarat tertentu. [10]
Sedangkan persusuan yang menjadikan seseorang menjadi mahrom adalah lima kali persusuan, berdasar pada hadits dari Aisyah, beliau berkata :

“Termasuk yang di turunkan dalam Al Qur'an bahwa sepuluh kali persusuan dapat mengharamkan (pernikahan) kemudian dihapus dengan lima kali persusuan." [11]

Ini adalah pendapat yang rajih di antara seluruh pendapat para ulama'. [12]

Dalil Tentang Hubungan Mahrom Dari Hubungan Persusuan
1). Dari Al Qur'an : Firman Alloh Ta'ala tentang wanita-wanita yang haram dinikahi:

“...Juga ibu-ibu yang menyusui kalian serta saudarasaudara kalian dari persusuan... [An Nisa': 23]

2). Dalil dari Sunnah: Dari Abdulloh Ibnu Abbas ia berkata : Rasululloh bersabda:
Diharamkan dari persusuan apa-apa yang diharamkan dari nasab. [13]

Dari Aisyah ia berkata. "Sesungguhnya Aflah saudara laki-laki Abi Qu'ais meminta izin untuk menemuiku setelah turun ayat hijab, maka saya berkata: "Demi Alloh, saya tidak akan memberi izin kepadamu sebelum saya minta izin kepada Rosululloh, karena yang menyusuiku bukan saudara Abi Qu'ais, akan tetapi yang menyususiku adalah istri Abi Qu'ais. Maka tatkala Rosululloh datang, saya berkata: Wahai Rasululloh, sesungguhnya lelaki tersebut bukanlah yang menyusuiku, akan tetapi yang menyusuiku adalah istrinya. Maka Rasululloh bersabda: "Izinkan baginya, karena dia adalah pamanmu" [14]

Siapakah Mahrom Wanita Sebab Persusuan?
Berdasarkan ayat dan hadits di atas maka kita ketanui bahwa mahrom dari sebab persusuan seperti mahrom dari nasab yaitu:

1). Bapak persusuan (suami ibu susu). Termasuk mahrom juga kakek persusuan yaitu bapak dari bapak atau ibu persusuan, juga bapak-bapak mereka keatas.
2). Anak laki-laki dari ibu susu. Termasuk anak susu adalah cucu dari anak susu baik lakilaki maupun perempuan. Juga anak keturunan mereka.
3). Saudara laki-laki sepersusuan. Baik dia saudara susu kandung, sebapak maupun cuma seibu.
4). Keponakan persusuan (anak saudara.persusuan). Balk anak saudara persusuan laki-laki maupun perempuan, juga keturunan mereka.
5). Paman persusuan (saudara laki-laki bapak atau ibu susu). [15]

Pada bagian ketiga tentang mahrom, akan dibahas jenis mahrom selanjutnya, yaitu mahrom karena mushoharoh. Apa yang dimaksud dengan mushoharoh, dari mana dalil-dalil penyebab mahrom-nya serta siapa sajakah mereka itu? Berikut jawabannya secara singkat mengenai hal itu semua.

Mahrom Karena Mushoharoh
Pembahasan ini kita bagi menjadi beberapa fasal, yaitu:

Definisi Mushoharoh
Mushoharoh berasal dari kalimat : Ash-Shihr. Berkata Imam Ibnu Atsir : "Shihr adalah mahrom karena pernikahan". [16]

Berkata Syaikh Abdul Karim Zaidan: "Mahrom wanita yang disebabkan mushoharoh adalah orang-orang yang, haram menikah dengan wanita tersebut selama-lamanya seperti ibu tiri, menantu perempuan, mertua perempuan". [17]

Maka mahrom yang disebabkan mushoharoh bagi ibu tiri adalah anak suaminya dari istrinya yang lain (anak tirinya), dan mahrom mushoharoh bagi menantu perempuan adalah bapak suaminya (bapak mertua), sedangkan bagi ibu istri (ibu mertua) adalah suami putrinya (menantu laki-laki)." [18]

Dalil Mahrom Sebab Mushoharoh
Firman Alloh:

“...Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami mereka,atau ayah mereka,atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka... [An Nur : 31]

Firman Alloh Ta'ala:
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu (ibu tiri)... [An Nisa' : 22]

Firman Alloh Ta'ala:
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ... ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu (anak: tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, dan istri-istri anak kandungmu (menantu)... [An Nisa': 23]

Siapakah Mahrom Wanita Dari Sebab Mushoharoh?
Berdasarkan ayat-ayat di atas maka dapat kita ketahui bahwa orang-orang yang haram dinikahi selama-lamanya karena sebab mushoharoh ada lima yaitu:

1). Suami
Berkata Imam Ibnu Katsir, ketika menasirkan firman Alloh ta'ala surat An Nur: 31 "Adapun suami, maka semua ini (bolehnya menampakkan perhiasan, perintah menundukkan pandangan dari orang lain -pent) memang diperuntukkan baginya: Maka seorang istri berbuat sesuatu untuk suaminya yang tidak dilakukannya dihadapan orang lain." [19]

Berkata Imam Qurthubi dan Syaukani: "Makna [bu'uulatihinna] adalah suami dan tuan bagi seorang budak wanita sebagaimana firman Alloh: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluan mereka kecuali kepada istri dan budak mereka, maka mereka itu tidak tercela” [Al Mu'minun: 5-6]. [20]

2). Ayah Mertua (Ayah Suami)
Mencakup ayah suami atau bapak dari ayah dan ibu suami juga bapak-bapak mereka keatas. [21]

3). Anak Tiri (Anak suami dari istri lain)
Termasuk anak tiri adalah cucu tiri baik cucu dari anak tiri laki-laki maupun perempuan, begitu juga keturunan mereka. [22]

Maka haram bagi seorang wanita untuk menikah dengan anak tirinya, begitu juga sebaliknya. Berkata Imam Ibnu Katsir saat menafsirkan firman Alloh : “Janganlah kalian menikah dengan wanita-wanita yang (pernah) dinikahi oleh bapak-bapak kalian” [An Nisa': 22] "Alloh Ta'ala mengharamkan menikah dengan istri-istri bapak (ibu tiri) demi menghormati mereka, dengan sekedar terjadi akad nikah baik terjadi jima' ataupun tidak, dan masalah ini telah disepakati oleh para ulama'." [23]

4). Ayah Tiri (Suami ibu tapi bukan bapak kandungnya).
Maka haram bagi seorang wanita untuk dinikahi oleh ayah tirinya, kalau sudah berjima' dengan ibunya. Adapun kalau belum maka hal itu dibolehkan. [24]

Berkata Abdulloh Ibnu Abbas: "Seluruh wanita yang pernah dinikahi oleh bapak maupun anakmu, maka dia haram bagimu." [25]

5). Menantu Laki-Laki (Suami putri kandung) [26]
Dan kemahroman ini terjadi sekedar putrinya di akadkan kepada suaminya. [27]

Alhamdulillah, setelah tuntas membahas mengenai definisi mahrom, jenis-jenis dan siapa-siapa saja yang dihukumi mahrom, maka yang akan dibahas berikutnya adalah menepis anggapan sebagian kaum muslimin yang salah dalam menentukan mahrom. Siapa-siapa saja yang biasa mereka menganggap mahrom, padahal bukan?

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

MAKNA HAID DAN HIKMAHNYA

[1]. Makna Haid

Menurut bahasa, haid berarti sesuatu yang mengalir. Dan menurut istilah syara' ialah darah yang terjadi pada wanita secara alami, bukan karena suatu sebab, dan pada waktu tertentu. Jadi haid adalah darah normal, bukan disebabkan oleh suatu penyakit, luka, keguguran atau kelahiran. Oleh karena ia darah normal, maka darah tersebut berbeda sesuai kondisi, lingkungan dan iklimnya, sehingga terjadi perbedaan yang nyata pada setiap wanita.

[2]. Hikmah Haid

Adapun hikmahnya, bahwa karena janin yang ada didalam kandungan ibu tidak dapat memakan sebagaimana yang dimakan oleh anak yang berada di luar kandungan, dan tidak mungkin bagi si ibu untuk menyampaikan sesuatu makanan untuknya, maka Allah Ta'ala telah menjadikan pada diri kaum wanita proses pengeluaran darah yang berguna sebagai zat makanan bagi janin dalam kandungan ibu tanpa perlu dimakan dan dicerna, yang sampai kepada tubuh janin melalui tali pusar, dimana darah tersebut merasuk melalui urat dan menjadi zat makanannya. Maha Mulia Allah, Dialah sebaik-baik Pencipta.

Inilah hikmah haid. Karena itu, apabila seorang wanita sedang dalam keadaan hamil tidak mendapatkan haid lagi, kecuali jarang sekali. Demikian pula wanita yang menyusui sedikit yang haid, terutama pada awal masa penyusuan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

'Iddah Talak Dihitung Dengan Haid, Keputusan Bebasnya Rahim Dan Kewajiban Mandi

HUKUM-HUKUM HAID

a.'Iddah Talak Dihitung Dengan Haid

Jika seorang suami menceraikan isteri yang telah digauli atau berkumpul dengannya, maka si isteri harus beriddah selama tiga kali haid secara sempurna apabila termasuk wanita yang masih mengalami haid dan tidak hamil. Hal ini didasarkan pada firman Allah.

"Artinya : Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'..." [Al-Baqarah : 228]

Tiga kali quru' artinya tiga kali haid. Tetapi jika si isteri dalam keadaan hamil, maka iddahnya ialah sampai melahirkan, baik masa iddahnya itu lama maupun sebentar. Berdasarkan firman Allah.

"Artinya : ..Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya..." [Ath-Thalaaq : 4]

Jika si isteri termasuk wanita yang tidak haid, karena masih kecil dan belum mengalami haid, atau sudah menopause, atau karena pernah operasi pada rahimnya, atau sebab-sebab lain sehingga tidak diharapkan dapat haid kembali, maka iddahnya adalah tiga bulan. Sebagaimana firman Allah.

"Artinya : Dan perempuan-perempuan yang putus asa dari haid di antara isteri-isterimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan ; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid .." [At-Thalaaq : 4]

Jika si isteri termasuk wanita-wanita yang masih mengalami haid, tetapi terhenti haidnya karena suatu sebab yang jelas seperti sakit atau menyusui, maka ia tetap dalam iddahnya sekalipun lama masa iddahnya sampai ia kembali mendapati haid dan beriddah dengan haid itu. Namun jika sebab itu sudah tidak ada, seperti sudah sembuh dari sakit atau telah selesai dari menyusui sementara haidnya tak kunjung datang, maka iddahnya satu bulan penuh terhitung mulai dari tidak adanya sebab tersebut. Inilah pedapat yang shahih yang sesuai dengan kaidah-kaidah syar'iyah. Dengan alasan, jika sebab itu sudah tidak ada sementara haid tak kunjung datang maka wanita tersebut hukumnya seperti wanita yang terhenti haidnya karena sebab yang tidak jelas. Dan jika terhenti haidnya karena sebab yang tidak jelas, maka iddahnya yaitu satu tahun penuh dengan perhitungan ; sembilan bulan sebagai sikap hati-hati untuk kemungkinan hamil (karena masa kehamilan pada umumnya 9 bulan) dan tiga bulan untuk iddahnya.

Adapun jika talak terjadi setelah akad nikah sedang sang suami belum mencampuri dan menggauli isterinya, maka dalam hal ini tidak ada iddah sama sekali, baik dengan haid maupun yang lain. Berdasarkan firman Allah Ta'ala.

"Artinya : Hai prang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu menceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah yang kamu minta menyempurnakannya ..." [Al-Ahzaab : 49]

b. Keputusan Bebasnya Rahim

Yakni keputusan bahwa rahim bebas dari kandungan. Ini diperlukan selama keputusan bebasnya rahim dianggap perlu, karena hal ini berkaitan dengan beberapa masalah. Antara lain, apabila seorang mati dan meninggalkan wanita (isteri) yang kandungannya dapat menjadi ahli waris orang tersebut, padahal si wanita setelah itu bersuami lagi. Maka suaminya yang baru itu tidak boleh menggaulinya sebelum ia haid atau jelas kehamilannya. Jika telah jelas kehamilannya, maka kita hukumi bahwa janin yang dikandungnya mendapatkan hak warisan karena kita putuskan adanya janin tersebut pada saat bapaknya mati. Namun, jika wanita itu pernah haid (sepeninggal suaminya yang pertama), maka kita hukumi bahwa janin yang dikandungnya tidak mendapatkan hak warisan karena kita putuskan bahwa rahim wanita tersebut bebas dari kehamilan dengan adanya haid.

c. Kewajiban Mandi

Wanita haid jika telah suci wajib mandi dengan membersihkan seluruh badannya. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Fatimah binti Abu Hubaisy.

"Artinya : Bila kamu kedatangan haid maka tinggalkan shalat, dan bila telah suci mandilah dan kerjakan shalat". [Hadits Riwayat Al-Bukhari]

Kewajiban minimal dan mandi yaitu mebersihkan seluruh anggota badan sampai bagian kulit yang ada dibawah rambut. Yang afdhal (lebih utama), adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala ditanya oleh Asma binti Syakl tentang mandi haid, beliau bersabda.

"Artinya : Hendaklah seseorang di antara kamu mengambil air dan daun bidara lalu berwudhu dengan sempurna, kemudian mengguyurkan air di bagian atas kepala dan menggosok-gosoknya dengan kuat sehingga merata ke seluruh kepalanya, selanjutnya mengguyurkan air pada anggota badannya. Setelah itu, mengambil sehelai kain yang ada pengharumnya untuk bersuci dengannya. "Asma bertanya : "Bagaimana bersuci dengannya ?" Nabi menjawab : "Subhanallah". Maka Aisyah pun menerangkan dengan berkata :"Ikutilah bekas-bekas darah". [Hadits Riwayat Muslim, Shahih Muslim, Juz 1 hal.179]

Tidak wajib melepas gelungan rambut, kecuali jika terikat kuat dan dikhawatirkan air tidak sampai ke dasar rambut. Hal ini didasarkan pada hadits yang tersebut dalam Shahih Muslim Juz 1, hal. 178 dari Ummu Salamah Radhiyallahu 'anha bahwa ia bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Aku seorang wanita yang menggelung rambutku, haruskah aku melepasnya untuk mandi jinabat ? ' Menurut riwayat lain : 'untuk (mandi) haid dan jinabat ?' Nabi bersabda. 'Tidak cukup kamu siram kepalamu tiga kali siraman (dengan tanganmu), lalu kamu guyurkan air ke seluruh tubuhmu, maka kamupun menajdi suci".

Apabila wanita haid mengalami suci di tengah-tengah waktu shalat, ia harus segera mandi agar dapat melakukan shalat pada waktunya. Jika ia sedang dalam perjalanan dan tidak ada air, atau ada air tetapi takut membahayakan dirinya dengan menggunakan air, atau sakit dan berbahaya baginya air, maka ia boleh bertayamum sebagai ganti dari mandi sampai hal yang menghalanginya itu tidak ada lagi, kemduian mandi.

Ada di antara kaum wanita yang suci di tengah-tengah waktu shalat tetapi menunda mandi ke waktu lain, dalihnya :"Tidak mungkin dapat mandi sempurna pada waktu sekarang ini". Akan tetapi ini bukan alasan ataupun halangan, karena boleh baginya mandi sekedar untuk memenuhi yang wajib dan melaksanakan shalat pada waktunya. Apabila kemudian ada kesempatan lapang, barulah ia dapat mandi dengan sempurna.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Makna Istihadhah Dan Kondisi Wanita Mustahadhah

ISTIHADHAH DAN HUKUM-HUKUMNYA

[1]. Makna Istihadhah

Istihadhah ialah keluamya darah terus-menerus pada seorang wanita tanpa henti sama sekali atau berhenti sebentar seperti sehari atau dua hari dalam sebulan.

Dalil kondisi pertama, yakni keluamya darah terus-menerus tanpa henti sama sekali, hadits riwayat Al- Bukhari dari Aisyah Radhiyallahu 'anha bahwa Fatimah binti Abu Hubaisy berkata kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam :

"Ya Rasulullah, sungguh aku ini tak pemah suci " Dalam riwayat lain• "Aku mengalami istihadhah maka tak pemah suci. "

Dalil kondisi kedua, yakni darah tidak berhenti kecuali sebentar, hadits dari Hamnah binti Jahsy ketika datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata:

"Ya Rasulullah, sungguh aku sedang mengalami Istihadhah yang deras sekali. " [Hadits riwayat Ahmad,AbuDawud dan At-Tirmidi dengan menyatakan shahih. Disebutkan pula bahwa hadits ini menurut Imam Ahmad shahih, sedang menurut Al-Bukhari hasan]

[2]. Kondisi Wanita Mustahadhah

Ada tiga kondisi bagi wanita mustahadhah:
[a]. Sebelum mengalami istihadhah, ia mempunyai haid yang jelas waktunya. Dalam kondisi ini, hendaklah ia berpedoman kepada jadwal haidnya yang telah diketahui sebelumnya. Maka pada masa itu dihitung sebagai haid dan berlaku baginya hukum-hukum haid. Adapun selain masa tersebut merupakan istihadhah yang berlaku baginya hukum-hukum istihadhah.

Misalnya, seorang wanita biasanya haid selama enam hari pada setiap awal bulan, tiba-tiba mengalami istihadhah dan darahnya keluar terus-menerus. Maka masa haidnya dihitung enam hari pada setiap awal bulan, sedang selainnya merupakan istihadhah. Berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha bahwa Fatimah binti Abi Hubaisy bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam : "Ya Rasulullah, sungguh aku mengalami istihadhah maka tidak pernah suci, apakah aku meninggalkan shalat? Nabi menjawab: Tidak, itu adalah darah penyakit. Namun tinggalkan shalat sebanyak hari yang biasanya kamu haid sebelum itu, kemudian mandilah dan lakukan shalat. "[Hadits riwayat Al-Bukhari]

Diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada Ummu Habibah binti Jahsy: "Diamlah selama masa haid yang biasa menghalangimu, lalu mandilah dan lakukan shalat. " Dengan demikian,wanita mustahadhah yang haidnya sudah jelas waktunya menunggu selama masa haidnya itu. Setelah itu mandi dan shalat, biar pun darah pada saat itu masih keluar.

[b]. Tidak mempunyai haid yang jelas waktunya sebelum mengalami istihadhah, karena istihadhah tersebut terus-menerus terjadi padanya mulai dari saat pertama kali ia mendapati darah. Dalam kondisi ini, hendaklah ia melakukan tamyiz (pembedaan); seperti jika darahnya berwarna hitam, atau kental,. atau berbau maka yang terjadi adalah haid dan berlaku baginya hukum-hukum haid. Dan jika tidak demikian, yang terjadi adalah istihadhah dan berlaku baginya hukum-hukum istihadhah.

Misalnya, seorang wanita pada saat pertama kali mendapati darah dan darah itu keluar terus menerus; akan tetapi ia dapati selama sepuluh hari dalam sebulan darahnya berwama hitam kemudian setelah itu berwama merah, atau ia dapati selama sepuluh hari dalam sebulan darahnya kental kemudian setelah itu encer, atau ia dapati selama sepuluh hari dalam sebulan berbau darah haid tetapi setelah itu tidak berbau maka haidnya yaitu darah yang berwama hitam (pada kasus pertama), darah kental (pada kasus kedua) dan darah yang berbau (padakasus ketiga). Sedangkan selain hal tersebut, dianggap sebagai darah istihadhah.

Berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada Fatimah binti Abu Hubaisy: “Darah haid yaitu apabila berwarna hitam yang dapat diketahui. Jika demikian maka tinggalkan shalat. Tetapi jika selainnya maka berwudhulah dan lakukan shalat karena itu darah penyakit.” [Hadits riwayat Abu Dawud, An-Nasa'i dan dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim]

Hadits ini, meskipun perlu ditinjau lagi dari segi sanad dan matannya, telah diamalkan oleh para ulama' rahimahumullah. Dan hal itu lebih utama daripada dikembalikan kepada kebiasaan kaum wanita pada umumnya.

[c]. Tidak mempunyai haid yangjelas waktunya dan tidak bisa dibedakan secara tepat darahnya. Seperti: jika istihadhah yang dialaminya terjadi terus-menerus mulai dari saat pertama kali melihat darah sementara darahnya menurut satu sifat saja atau berubah-ubah dan tidak mungkin dianggap sebagai darah haid. Dalam kondisi ini, hendaklah ia mengambil kebiasaan kaum wanita pada umumnya.

Maka masa haidnya adalah enam atau tujuh hari pada setiap bulan dihitung mulai dari saat pertama kali mendapati darah Sedang selebihnya merupakan istihadhah.

Misalnya, seorang wanita saat pertama kali melihat darah pada tanggal 5 dan darah itu keluar terus-menerus tanpa dapat dibedakan secara tepat mana yang darah haid, baik melalui wama ataupun dengan cara lain. Maka haidnya pada setiap bulan dihitung selama enam atau tujuh hari dimulai dari tanggal tersebut.
Hal ini berdasarkan hadits Hamnah binti Jahsy Radhiyallahu 'anha bahwa ia berkata kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam : "Ya Rasulullah, sungguh aku sedang mengalami istihadah yang deras sekali. Lalu bagaimana pendapatmu tentangnya karena ia telah menghalangiku shalat dan berpuasa? Beliau bersabda: "Aku beritahukan kepadamu (untuk menggunakan) kapas dengan melekatkannya pada farji, karena hal itu dapat menyerap darah". Hamnah berkata: "Darahnya lebih banyak dari itu". Nabipun bersabda: "Ini hanyalah salah satu usikan syetan. Maka hitunglah haidmu 6 atau 7 hari menurut ilmu Allah Ta'ala lalu mandilah sampai kamu merasa telah bersih dan suci, kemudian shalatlah selama 24 atau 3 hari, dan puasalah." [Hadits riwayat Ahmad,Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Menurut Ahmad dan At-Tirmidzi hadits ini shahih, sedang menurut Al-Bukhari hasan]

Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam : 6 atau 7 hari tersebut bukan untuk memberikan pilihan, tapi agar si wanita berijtihad dengan cara memperhatikan mana yang lebih mendekati kondisinya dari wanita lain yang lebih mirip kondisi fisiknya, lebih dekat usia dan hubungan kekeluargaannya serta memperhatikan mana yang lebih mendekati haid dari keadaan darahnya dan pertimbangan-pertimbangan lainnya.

Jika kondisi yang lebih mendekati selama 6 hari, maka dia hitung masa haidnya 6 hari; tetapi jika kondisi yang lebih mendekati selama 7 hari, maka dia hitung masa haidnya 7 hari.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

NIFAS DAN HUKUM-HUKUMNYA

Makna Nifas

Nifas ialah darah yang keluar dari rahim disebabkan kelahiran, baik bersamaan dengan kelahiran itu, sesudahnya atau sebelumnya ( 2 atau 3 hari) yang disertai dengan rasa sakit.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: "Darah yang dilihat seorang wanita ketika mulai merasa sakit adalah nifas." Beliau tidak memberikan batasan 2 atau 3 hari. Dan maksudnva yaitu rasa sakit yang kemudian disertai kelahiran. Jika tidak, maka itu bukan nifas.

Para ulama berbeda pendapat tentang apakah masa nifas itu ada batas minimal dan maksimalnya. Menurut Syaikh Taqiyuddin dalam risalahnya tentang sebutan yang dijadikan kaitan hukum oleh Pembawa syari'at, halaman 37 Nifas tidak ada batas minimal maupun maksimalnya. Andaikata ada seorang wanita mendapati darah lebih dari 40,60 atau 70 hari dan berhenti, maka itu adalah nifas. Namun jika berlanjut terus maka itu darah kotor, dan bila demikian yang terjadi maka batasnya 40 hari, karena hal itu merupakan batas umum sebagaimana dinyatakan oleh banyak hadits."

Atas dasar ini, jika darah nifasnya melebihi 40 hari, padahal menurut kebiasaannya sudah berhenti setelah masa itu atau tampak tanda-tanda akan berhenti dalam waktu dekat, hendaklah si wanita menunggu sampai berhenti. Jika tidak, maka ia mandi ketika sempurna 40 hari karena selama itulah masa nifas pada umumnya. Kecuali, kalau bertepatan dengan masa haidnya maka tetap menunggu sampai habis masa haidnya. Jika berhenti setelah masa (40 hari) itu, maka hendaklah hal tersebut dijadikan sebagai patokan kebiasaannya untuk dia pergunakan pada masa mendatang.

Namun jika darahnya terus menerus keluar berarti ia mustahadhah. Dalam hal ini,hendaklah ia kembali kepada hukum-hukum wanita mustahadhah yang telah dijelaskan pada pasal sebelumnya. Adapun jika si wanita telah suci dengan berhentinya darah berarti ia dalam keadaan suci, meskipun sebelum 40 hari. Untuk itu hendaklah ia mandi, shalat, berpuasa dan boleh digauli oleh suaminya.Terkecuali, jika berhentinya darah itu kurang dari satu hari maka hal itu tidak dihukumi suci. Demikian disebutkan dalam kitab Al-Mughni.

Nifas tidak dapat ditetapkan, kecualijika si wanita melahirkan bayi yang sudah berbentuk manusia. Seandainya ia mengalami keguguran dan janinnya belum jelas berbentuk manusia maka darah yang keluar itu bukanlah darah nifas, tetapi dihukumi sebagai darah penyakit. Karena itu yang berlaku baginya adalah hukum wanita mustahadhah.

Minimal masa kehamilan sehingga janin berbentuk manusia adalah 80 hari dihitung dari mulai hamil, dan pada umumnya 90 hari. Menurut Al-Majd Ibnu Taimiyah, sebagaimana dinukil dalam kitab Syarhul Iqna': "Manakala seorang wanita mendapati darah yang disertai rasa sakit sebelum masa (minimal) itu, maka tidak perlu dianggap (sebagai nifas). Namun jika sesudahnya, maka ia tidak shalat dan tidak puasa. Kemudian, apabila sesudah kelahiran temyata tidak sesuai dengan kenyataan maka ia segera kembali mengerjakan kewajiban; tetapi kalau tidak teryata demikian, tetap berlaku hukum menurut kenyataan sehingga tidak pedu kembali mengerjakan kewajiban"

Hukum-Hukum Nifas

Hukum-hukum nifas pada prinsipnya sama dengan hukum-hukum haid, kecuali dalam beberapa hal berikut ini:

[a]. Iddah. dihitung dengan terjadinya talak, bukan dengan nifas. Sebab, jika talak jatuh sebelum isteri melahirkan iddahnya akan habis karena melahirkan bukan karena nifas. Sedangkan jika talak jatuh setelah melahirkan, maka ia menunggu sampai haid lagi, sebagaimana telah dijelaskan.

[b]. Masa ila'. Masa haid termasuk hitungan masa ila', sedangkan masa nifas tidak.

Ila' yaitu jika seorang suami bersumpah tidak akan menggauli isterinya selama-lamanya, atau selama lebih dari empat bulan. Apabila dia bersumpah demikian dan si isteri menuntut suami menggaulinya, maka suami diberi masa empat bulan dari saat bersumpah. Setelah sempurna masa tersebut, suami diharuskan menggauli isterinya, atau menceraikan atas permintaan isteri. Dalam masa ila' selama empat bulan bila si wanita mengalami nifas, tidak dihitung terhadap sang suami, dan ditambahkan atas empat bulan tadi selama masa nifas. Berbeda halnya dengan haid, masa haid tetap dihitung terhadap sang suami.

[c]. Baligh. Masa baligh terjadi denganhaid, bukan dengan nifas. Karena seorang wanita tidakmungkinbisa hami sebelum haid, maka masabaligh seorang wanita terjadi dengan datangnya haid yang mendahului kehamilan.

[d]. Darah haid jika berhenti lain kembali keluar tetapi masih dalam waktu biasanya, maka darah itu diyakini darah haid. Misalnya, seorang wanita yang biasanya haid delapan hari, tetapi setelah empat hari haidnya berhenti selama dua hari, kemudian datang lagi pada hari ketujuh dan kedelapan; maka tak diragukan lagi bahwa darah yang kembali datang itu adalah darah haid.

Adapun darah nifas, jika berhenti sebelum empat puluh hari kemudian keluar lagi pada hari keempat puluh, maka darah itu diragukan. Karena itu wajib bagi si wanita shalat dan puasa fardhu yang tertentu waktunya pada waktunya dan terlarang baginya apa yang terlarang bagi wanita haid, kecuali hal-hal yang wajib. Dan setelah suci, ia harus mengqadha' apa yang diperbuatnya selama keluarya darah yang diragukan, yaitu yang wajib diqadha' wanita haid. Inilah pendapat yang masyhur menunut para fuqaha ' dari Madzhab Hanbali.

Yang benar, jika darah itu kembali keluar pada masa yang dimungkinkan masih sebagai nifas maka termasuk nifas. Jika tidak, maka darah haid. Kecuali jika darah itu keluar terus menerus maka merupakan istihadhah. Pendapat ini mendekati keterangan yang disebutkan dalam kitab AI-Mughni' bahwa Imam Malik mengatakan:

"Apabila seorang wanita mendapati darah setelah dua atau tiga hari, yakni sejak berhentinya, maka itu termasuk nifas.

Jika tidak, berarti darah haid." Pendapat ini sesuai dengan yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Menurut kenyataan, tidak ada sesuatu yang diragukan dalam masalah darah. Namun, keragu-raguan adalah hal yang relatif, masing-masing orang berbeda dalam hal ini sesuai dengan ilmu dan pemahamannya. Padahal Al-Qur'an dan Sunnah berisi penjelasan atas segala sesuatu.

Allah tidak pernah mewajibkan seseorang berpuasa ataupun thawaf dua kali, kecuali jika ada kesalahan dalam tindakan pertama yang tidak dapat diatasi kecuali dengan mengqadha'. Adapun jika seseorang dapat mengerjakan kewajiban sesuai dengan kemampuannya maka ia telah terbebas dari tanggungannya. Sebagaimana firman Allah:

"Artinya : Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupan.. " [Al-Baqarah: 286]

"Artinya : Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu ..." [At-Taghabun : 16]

[e]. Dalam haid,jika si wanita suci sebelum masa kebiasaannya, maka suami boleh dan tidak terlarang menggaulinya. Adapun dalam nifas, jika ia suci sebelum empat puluh hari maka suami tidak boleh menggaulinya, menurut yang masyhur dalam madzhab Hanbali.

Yang benar,menurut pendapat kebanyakan ulama, suami tidak dilarang menggaulinya. Sebab tidak ada dalil syar'i yang menunjukkan bahwa hal itu dilarang, kecuali riwayat yang disebutkan Imam Ahmad dari Utsman bin Abu Al-Ash bahwa isterinya datang kepadanya sebelum empat puluh hari, lalu ia berkata: "Jangan kau dekati aku !".

Ucapan Utsman tersebut tidak berarti suami terlarang menggauli isterinya karena hal itu mungkin saja merupakan sikap hati-hati Ustman, yaknik hawatir kalau isterinya belum suci benar, atau takut dapat mengakibatkan pendarahan disebabkan senggama atau sebab lainnya. Wallahu a 'lam.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Pengertian Shalat Jum'at, Hukum, Syarat, Ketentuan, Hikmah Dan Sunah Solat Jumat

A. Arti Definisi / Pergertian Shalat Jumat

Sholat Jum'at adalah ibadah salat yang dikerjakan di hari jum'at dua rakaat secara berjamaah dan dilaksanakan setelah khutbah.

B. Hukum Sholat Jum'at

Shalah Jum'at memiliki hukum wajib 'ain bagi laki-laki / pria dewasa beragama islam, merdeka dan menetap di dalam negeri atau tempat tertentu. Jadi bagi para wanita / perempuan, anak-anak, orang sakit dan budak, solat jumat tidaklah wajib hukumnya.

Dalil Al-qur'an Surah Al Jum'ah ayat 9 :

" Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."

C. Syarat Sah Melaksanakan Solat Jumat

1. Shalat jumat diadakan di tempat yang memang diperuntukkan untuk sholat jumat. Tidak perlu mengadakan pelaksanaan solat jum'at di tempat sementara seperti tanah kosong, ladang, kebun, dll.
2. Minimal jumlah jamaah peserta salat jum'at adalah 40 orang.
3. Shalat Jum'at dilaksanakan pada waktu shalat dhuhur / zuhur dan setelah dua khutbah dari khatib.

D. Ketentuan Shalat Jumat

Shalat jumat memiliki isi kegiatan sebagai berikut :
1. Mengucapkan hamdalah.
2. Mengucapkan shalawat Rasulullah SAW.
3. Mengucapkan dua kalimat syahadat.
4. Memberikan nasihat kepada para jamaah.
5. Membaca ayat-ayat suci Al-quran.
6. Membaca doa.

E. Hikmah Solat Jum'at

1. Simbol persatuan sesama Umat Islam dengan berkumpul bersama, beribadah bersama dengan barisan shaf yang rapat dan rapi.
2. Untuk menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antar sesama manusia. Semua sama antara yang miskin, kaya, tua, muda, pintar, bodoh, dan lain sebagainya.
3. Menurut hadis, doa yang kita panjatkan kepada Allah SWT akan dikabulkan.
4. Sebagai syiar Islam.

F. Sunat-Sunat Shalat Jumat


1. Mandi sebelum datang ke tempat pelaksanaan sholat jum at.
2. Memakai pakaian yang baik (diutamakan putih) dan berhias dengan rapi seperti bersisir, mencukur kumis dan memotong kuku.
3. Memakai pengaharum / pewangi (non alkohol).
4. Menyegerakan datang ke tempat salat jumat.
5. Memperbanyak doa dan salawat nabi.
6. Membaca Alquran dan zikir sebelum khutbah jumat dimulai.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

اَلنَّعْتُ

Na’at adalah tabi’ yang menyifati isim sebelumnya. Na’at bisa disebut sifat.

Contoh:

جَاءَ إِمَامٌ عَادِلٌ (Seorang imam yang adil telah datang)

تُصَلِّي مُسْلِمَةٌ صَالِحَةٌ (Seorang muslimah yang shalihah sedang shalat)

Ketentuan-Ketentuan Na’at:

1. Na’at harus mengikuti man’ut dari sisi ta’yin (kejelasan) nya.

Contoh:

رَجَعَ طَالِبٌ مَاهِرٌ (Seorang mahasiswa yang pandai telah kembali)

رَجَعَ الطَّالِبُ الْمَاهِرُ (Seorang mahasiswa yang pandai itu telah kembali)

2. Na’at harus mengikuti man’ut dari sisi ‘adad (jumlah) nya.

Contoh:

رَجَعَ طَالِبٌ مَاهِرٌ (Seorang mahasiswa yang pandai telah kembali)

رَجَعَ طَالِبَانِ مَاهِرَانِ (Dua orang mahasiswa yang pandai telah kembali)

رَجَعَ طُلاَّبٌ مَاهِرُوْنَ (Para mahasiswa yang pandai telah kembali)

3. Na’at harus mengikuti man’ut dari sisi nau’ (jenis) nya.

Contoh:

رَجَعَ طَالِبٌ مَاهِرٌ (Seorang mahasiswa yang pandai telah kembali)

رَجَعَ طَالِبَةٌ مَاهِرَةٌ (Seorang mahasiswi yang pandai telah kembali)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

اَلْحَرْفُ

A. Huruf Mabany (Huruf Hijaiyah)

Huruf yang digunakan untuk menyusun suatu kata

Huruf mabany terbagi menjadi 2:

1. Huruf ‘Illah

Ada 3 huruf yaitu: ا و ي

2. Huruf Shohih

Seluruh huruf hijaiyah selain ا و ي

B. Huruf Ma’any

Huruf-huruf yang mempunyai makna

Huruf ma’any terbagi menjagi beberapa macam, diantaranya:

1. Huruf Jer

Huruf yang membuat kata setelahnya secara umum berharokat akhir kasroh.

Diantara huruf-huruf jer adalah:

مِنْ , إِلىَ , عَنْ , عَلىَ , فِى , رُبَّ , بِ , كَ , لِ

2. Huruf Athof

Huruf yang digunakan untuk menghubungkan antara satu kata dengan kata yang lain.

Diantara huruf-huruf athof adalah:

وَ , ثُمَّ , أَوْ

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

شِبْهُ الْجُمْلَةِ

Syibhul jumlah adalah rangkaian kata yang mirip dengan jumlah

Syibhul Jumlah

Zhorof adalah kata yang digunakan untuk menunjukkan keterangan waktu atau tempat

Contoh:

أمَامَ, وَرَاءَ - ظَرْفُ الْمَكَانِ

بَعْدَ , قَبْلَ - ظَرْفُ الزَّمَانِ

Isim yang terletak setelah huruf jer dan zhorof maka secara umum berharokat akhir kasroh (Isim Majrur)

Contoh:

مِنَ السُوْقِ - جَرٌّ وَ مَجْرُوْرٌ

أمَامَ المَنْزِلِ - ظَرْفٌ وَ مَجْرُوْرٌ

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

أَقْسَامُ الاِسْم

(Pembagian Isim Ditinjau Dari Segi Jumlah Bilangannya)

Pembagian Isim Berdasar Bilangan

1. Isim Mufrod adalah Isim yang jumlah bilangannya satu

Contoh:
(Seorang mukmin)

مُؤْْمِنٌ
(Seorang kafir)

كَافِرٌ

2. Isim Mutsanna adalah Isim yang jumlah bilangannya dua

Contoh:
(Dua orang mukmin)

مُؤْْمِنَانِ / مُؤْْمِنَيْن
(Dua orang kafir)

كَافِرَانِ / كَافِرَيْن

Cara pembentukan isim mutsanna

Dengan menambahkan huruf alif dan nun atau ya dan nun pada akhir isim mufrodnya.

مُفْرَدٌ + ان/ين اِسْمٌ

Contoh:

مُؤْْمِنَانِ/ مُؤْْمِنَيْن
<=

مُؤْْمِنٌ + ان/ين

كَافِرَانِ/كَافِرَيْنِ
<=

كَافِرٌ + ان/ين

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Isim Jamak

Isim Jamak adalah Isim yang jumlah bilangannya lebih dari dua

Isim Jamak tebagi menjadi 3:

- Jamak Mudzakkar Salim

- Jamak Muannats Salim

- Jamak Taksir

A. Jamak Mudzakkar Salim

Jamak yang dibentuk dari isim mufrodnya yang digunakan untuk menunjukkan jenis laki-laki.

Contoh:
(Para laki-laki mukmin)

مُؤْمِنُوْنَ / مُؤْمِنِيْنَ
( Para laki-laki kafir)

كَافِرُوْنَ / كَافِرِيْنَ

Cara pembentukan isim jamak mudzakkar salim

Cara pembentukannya adalah dengan menambahahkan wawu dan nun atau ya dan nun pada akhir isim mufrodnya

مُفْرَدٌ + ون/ين اِسْمٌ

Contoh:

مُؤْمِنُوْنَ/مُؤْمِنِيْنَ
<=

مُؤْمِنٌ + ون/ين

كَافِرُوْنَ/كَافِرِيْنَ
<=

كَافِرٌ + ون/ين

B. Jamak Muannats Salim


Jamak yang dibentuk dari isim mufrodnya yang digunakan untuk menunjukkan jenis perempuan.

Contoh:
( Para perempuan mu’min)

مُؤْمِنَاتٌ
(Para perempuan kafir)

كَافِرَاتٌ

Cara pembentukan isim jamak muannats salim

مُفْرَد ٌ ( × ة ) + ات اِسْمٌ

Contoh:

مُؤْمِنَاتٌ
<=

مُؤْمِنٌ + ات
<=

مُؤْمِنَةٌ) × ة)

كَافِرَاتٌ
<=

كَافِرٌ + ات
<=

كَافِرَةٌ) × ة)

C. Jamak Taksir

Jamak yang berubah dari bentuk mufrodnya

Contoh:

رُسُلٌ
<=

رَسُوْلٌ

بُيُوْتٌ
<=

بَيْتٌ

كُتُبٌ
<=

كِتَابٌ

ُأسَاتِيْذ
<=

أُسْتَاذٌ

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

تَقْسِيْمُ الاِسْمِ بِالنَّظَرِ إِلَى نَوْعِهِ

(Pembagian Isim ditinjau dari segi jenisnya)

1. Isim Mudzakkar adalah isim yang menunjukkan jenis laki-laki

a. Isim Mudzakkar Haqiqi

Isim yang berasal dari kelompok makluk hidup yang berjenis kelamin laki-laki.

Contoh:

تِلْمِيْذٌ (Seorang siswa laki-laki)

أَسَدٌ (Seekor singa jantan)

b. Isim Mudzakkar Majazi

Ism yang berasal dari kelompok benda mati yang dianggap berjenis kelamin laki-laki berdasarkan kesepakatan orang arab.

Contoh:

بَيْتٌ (Sebuah rumah)

قَمَرٌ (Bulan)

2. Isim Muannats adalah isim yang menunjukkan jenis perempuan

A. Isim Muannats Haqiqi

Isim yang berasal dari kelompok makluk hidup yang berjenis kelamin perempuan.

Contoh:

مُدَرِّسَةٌ (Seorang pengajar perempuan)

هِرَّةٌ (Seekor kucing betina)

B. Isim Muannats Majazi

Isim yang berasal dari kelompok benda mati yang dianggap berjenis kelamin perempuan berdasarkan kesepakatan orang arab

Contoh:

دَارٌ (Sebuah perkampungan)

شَمْسٌ (Matahari)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

اَلْمَمْنُوعُ مِنَ الصَّرْفِ / غَيْرُ الْمُنْصَرِفِ

(Isim Ghoirul Munshorif)

Isim Ghoirul Munshorif adalah isim yang tidak boleh ditanwin dan dikasroh.

Contoh: عُثْمَانُ - مَسَاجِدُ - عُمَرُ – عَائِشَةُ

Syarat-syarat isim ghoirul munshorif:

1. Tidak sebagai mudhof (disandarkan pada isim yang lain)

Contoh: صَلَّيْتُ فِى مَسَاجِدَ

مَرَرْتُ بِعُمَرَ

Apabila isim ghoirul munshorif ini sebagai mudhof, maka batal hukumnya.

Contoh: صَلَّيْتُ فِى مَسَاجِدِ هِم

2. Terbebas dari alif dan lam

Contoh: صَلَّيْتُ فِى مَسَاجِدَ

مَرَرْتُ بِعُمَرَ

Apabila isim ghoirul munshorif ini memakai alif dan lam, maka batal hukumnya.

Contoh: صَلَّيْتُ فِى المَسَاجِدِ

Kelompok isim yang masuk dalam kategori ghoirul munshorif

1. Bentuk jamak yang berpola مَفَاعِلُ (shighoh muntahal Jumu’)

Contoh: مَسَاجِدُ – مَقَاعِد

2. Isim maqshur yang berjenis muannats

Contoh: كُبْرَى - حُبْلَى

3. Isim mamdud yang berjenis muannats

Contoh: صَحْرَاءُ – حَمْرَاءُ

4. Nama perempuan

Contoh: مَرْيَمُ - عَائِشَةُ

5. Nama yang berpola فُعَلُ

Contoh: عُمَرُ - زُحَلُ

6. Nama yang diakhiri dengan tambahan alif dan nun ان

Contoh: عُثْمَانُ - سَلْمَانُ

7. Nama orang asing (selain arab) / nama ajam

Contoh: إِبْرَاهِيْمُ - إِسْمَاعِيْلُ

Catatan:

1. Isim maqshur yang bukan kelompok muannats, maka tidak termasuk isim ghoirul munshorif.

Contoh: هُدًى - فَتًى

2. Semua nama orang yang diakhiri dengan ta marbuthoh maka dia ghoirul munshorif walaupun digunakan untuk nama orang laki-laki.

Contoh: مُعَاوِيَةُ - طَلْحَةُ

3. Nama negara dan kota dikategorikan sebagai nama perempuan sehingga temasuk kelompok ghoirul munshorif.

Contoh: بَغْدَادُ - مِصْرُ

Dengarkan Kajian:

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

تَقْسِيْمُ الاِسْمِ بِالنَّظَرِ إِلَى تَعْيِيْنِهِ

(Pembagian Isim Ditinjau Dari Segi Kejelasannya)

1. Isim Nakiroh


Isim Nakiroh adalah isim yang belum jelas penunjukannya

Contoh:

مُسْلِمٌ (Seorang muslim)

كِتَابُ طَالِبٍ (Buku seorang mahasiswa)

2. Isim Ma’rifat

Isim Ma’rifat adalah isim yang sudah jelas penunjukannya

Contoh:

عُمَرُ (Umar)

كِتَابُ مُحَمَّدٍ (Buku Muhammad)

Macam-macam isim ma’rifat

1. Dhomir (kata ganti orang)

Contoh:

هُوَ - أَنْتَ – أَنَا

2. Isim Isyaroh (kata penunjuk)

Contoh:

هَذَا - ذَالِكَ

3. Isim Maushul (kata sambung)

Contoh:

اَلَّذِيْ- اَلَّذِيْنَ

4. ‘Alam (nama orang)

Contoh:

عُمَرُ - مُحَمَّدٌ - خَدِيْجَةُ

5. Isim yang ada alif dan lam

Contoh:

اَلْبَيْتُ - اَلْمِصْبَاحُ - اَلْمَسْجِدُ

6. Isim yang disandarkan pada isim ma’rifat yang lain

Contoh:

كِتَابُ مُحَمَّدٍ - صَاحِبُ البَيْتِ

Catatan:

1. Isim Nakiroh biasanya mempunyai harokat akhir yang bertanwin

Contoh:

مُسْلِمٌ - مِصْبَاحٌ

2. Nama orang walaupun bertanwin tetap dikatakan sebagai isim ma’rifat dan bukan sebagai isim nakiroh.

Contoh:

مُحَمَّدٌ - زَيْدٌ

3. Apabila suatu isim disandarkan pada isim nakiroh, maka dia adalah isim nakiroh. Namun apabila disandarkan pada isim ma’rifat, maka dia adalah juga sebagai isim ma’rifat.

Contoh:

كِتَابُ طَالِبٍ - كِتَابُ مُحَمَّدٍ

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

(macam-macam lam) أَنْوَاعُ اللاَّمِ

Macam-macam lam:

1. لاَمُ حَرْفِ الْجَرِّ


Contoh:

هَذَا الْكِتَابُ لِمُؤْمِنٍ (Buku ini milik seorang mu’min)

هَذَا الْكِتَابُ لِمُؤْمِنَيْنِ (Buku ini milik dua orang mu’min)

هَذَا الْكِتَابُ لِمُؤْمِنِيْنَ (Buku ini milik orang-orang mu’min)

2. لاَمُ كَيْ


Contoh:

خُلِقْتَ لِتَعْبُدَ اللهَ (Kamu diciptakan agar kamu menyembah Allah)

خُلِقْتُمَا لِتَعْبُدَا اللهَ (Kalian berdua diciptakan agar kalian berdua menyembah Allah)

خُلِقْتُمْ لِتَعْبُدُوْا اللهَ (Kalian semua diciptakan agar kalian semua menyembah Allah)

3. لاَمُ الْجُحُوْدِ


Contoh:

مَا كَانَ الْمُسْلِمُ لِيَشْرَبَ الْخَمْرَ (Tidaklah seorang muslim itu akan minum khomr)

مَا كَانَ الْمُسْلِمَانِ لِيَتَحَاسَدَا (Tidaklah dua orang muslim itu akan saling mendengki)

مَا كَانَ الْمُسْلِمُوْنَ لِيَتْرُكُوْا الصَّلاَةَ (Tidaklah orang-orang muslim itu akan meninggalkan shalat)

4. لاَمُ الأَمْرِ


Contoh:

لِيَدْخُلْ فِى الْمَسْجِدِ (Hendaklah ia masuk ke masjid)

لِيَدْخُلاَ فِى الْمَسْجِدِ (Hendaklah mereka berdua masuk ke masjid)

لِيَدْخُلُوْا فِى الْمَسْجِدِ (Hendaklah mereka semua masuk ke masjid)

5. لاَمُ التَّوْكِيْدِ


Contoh:

لَيَدْخُلُ فِى الْمَسْجِدِ (Sungguh ia akan masuk masjid)

لَيَدخُلاَنِ فِى الْمَسْجِدِ (Sungguh mereka berdua akan masuk masjid)

لَيَدْخُلُوْنَ فِى الْمَسْجِدِ (Sungguh mereka semua akan masuk masjid)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

اَلضَّمِيْرُ

A. Dhomir Munfashil

Dhomir Munfashil adalah dhomir yang penulisannya terpisah dengan kata yang lain.

Pembacaan Tabel

هُوَ Dia (Seorang laki-laki)

هُمَا Mereka (Dua orang laki-laki/perempuan)

هُمْ Mereka (Para lelaki)

أَنْتَ Kamu (Seorang laki-laki)

أنْتُمْ Kalian (Para lelaki)

dst..

Contoh:

هُوَ أُسْتاَذٌ (Dia adalah seorang Ustadz)

أَنَا مسْلِمٌ (Aku adalah seorang muslim)

B. Dhomir Muttashil

Dhomir Muttashil adalah dhomir yang penulisannya bersambung dengan kata yang lain.

Pembacaan Tabel

كِتَابُهُ Bukunya (Buku milik laki-laki itu)

كِتَابُهُنَّ Buku mereka (Buku milik para perempuan itu)

كِتَابُُنَا Buku kami

dst..

C. Dhomir Mustatir


Dhomir Mustatir adalah dhomir yang tidak tertulis dalam kalimat akan tetapi tersembunyi dalam suatu kata.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

اَلأَسْمَاءُ الْخَمْسَةُ (Isim-Isim Yang Lima)

أَبُوكَ – أَخُوْكَ – حَمُوكَ – فُوْكَ – ذُوْ مَال (Marfu’)

أَبَاكَ – أَخَاكَ – حَمَاكَ – فَاكَ - ذَا مَالٍ (Manshub)

أَبِيْكَ - أَخِيْكَ – حَمِيْكَ – فِيْكَ – ذِيْ مَال (Majrur)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

2. Isim Mabni

Isim mabni adalah isim yang keadaan akhirnya tidak mengalami perubahan walaupun diletakkan pada posisi yang berbeda dalam suatu kalimat.

Contoh:

هَذَا جَدِيْدٌ (Ini baru)

قَرَأْتُ هَذَا (Aku membaca ini)

فِي هَذَا قِِصَص (Di dalam ini terdapat kisah-kisah)

Macam-Macam Isim Mabni

1. الضَمِيْرُ

Contoh: أَنْتَ - نَحْنُ - هُوَ

2. اِسْمُ الإِشَارَةِ

Contoh: هَذِهِ - هَؤُلاَءِ - ذَلِكَ

3. اَلاِسْمُ الَمْوْصُوْلُ

Contoh: اَلَّذِي - اَلَّتِي - اَلَّذِيْنَ

4. اِسْمُ الاِسْتِفْهَامِ

Contoh: مَنْ - أيْنَ - كَيْفَ

5. اِسْمُ الشَّرْطِ

Contoh: مَنْ - مَتَى - مَا

Catatan:

1. Dhommah merupakan ciri pokok isim marfu’, fathah merupakan ciri pokok isim manshub, dan kasroh merupakan ciri pokok isim majrur.
2. Ada beberapa kelompok isim yang perubahan keadaan akhirnya tidak ditandai dengan perubahan harokat, akan tetapi dengan perubahan huruf.

Contoh:

مُسْلِمُوْنَ (Marfu’)

مُسْلِمِيْنَ (Manshub)

مُسْلِمِيْنَ (Majrur)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

اَلاِسْمُ الْمُعْرَبُ وَالاِسْمُ الْمَبْنِيُّ (Isim Mu’rob dan Isim Mabni)

1. Isim Mu’rob

Isim mu’rob adalah isim yang dapat berubah keadaan akhirnya disebabkan oleh adanya perbedaan letak (posisi) dalam suatu kalimat.

Contoh:

الْكِتَابُ جَدِيْدٌ (Buku itu baru)

قَرَأْتُ الكِتَاب (Aku membaca buku itu)

فِي الكِتَابِ قِِصَصٌ (Di dalam buku itu terdapat kisah-kisah)

1. Isim Marfu’

Isim marfu’ adalah isim yang biasanya pada keadaan akhirnya ditandai dengan harokat dhommah.

Contoh: مُحَمَّدٌ – أُسْتَاذٌ – طَالِبٌ

2. Isim Manshub

Isim manshub adalah isim yang biasanya pada keadaan akhirnya ditandai dengan harokat fathah.

Contoh: مُحَمَّدًا – أُسْتَاذًا – طَالِبًـا

3. Isim Majrur

Isim majrur adalah isim yang biasanya pada keadaan akhirnya ditandai dengan harokat kasroh.

Contoh: مُحَمَّدٍ – أُسْتَاذٍ – طَالِبٍ

Dengarkan Kajian:

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

بِنَاءُ الْمَجْهُوْلِ (Pembentukan Fi’il Majhul)

Fi’il majhul dibentuk dari fi’il ma’lumnya.

Cara Pembentukan Fi’il Majhul Dari Fi’il Ma’lum.

1. Fi’il Madhi

Dikasroh huruf sebelum terakhir dan di dhommah semua huruf yang berharokat sebelumnya.

Contoh:

ضَرَبَ –> ضُرِبَ

قَتَلَ –> قُتِلَ

تَعَلَّمَ –> تُعُلِّمَ

2. Fi’il Mudhori’

Difathah huruf sebelum terakhir dan di dhommah huruf pertamanya

Contoh:

يَكْتُبُ –> يُكْتَبُ

يَفْتَحُ –> يُفْتَحُ

يَسْتَمِعُ –> يُسْتَمَعُ

Catatan:

Apabila pada fi’il madhi terdapat huruf yang disukun, maka pada saat pembentukan fi’il majhul tidak boleh dijadikan dhommah dan tetap harus disukun.

Contoh:

اِسْتَمَعَ –> اُسْتُمِعَ

Dengarkan Kajian:

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

تَقْسِيْمُ الفِعْلِ بِالنَّظَرِ إِلَى فَاعِلِهِ (Pembagian Fi’il Ditinjau dari Pelakunya)

Daiagram Fi'il Ma'lum Majhul

1. Fi’il Ma’lum

Fi’il ma’lum adalah fi’il yang disebutkan pelakunya (kata kerja aktif)

Contoh:

ضَرَبَ عَلِيٌّ الْكَلْبَ (Ali telah memukul anjing)

قَتَلَ الْقَائِدُ الْعَدُوَّ (Panglima itu telah membunuh musuh)

تَعَلَّمَ حَسَنٌ عِلْمَ النَّحْوِ (Hasan telah belajar ilmu nahwu)

يَكْتُبُ مُحَمَّدٌ الدَّرْسَ (Muhammad sedang menulis pelajaran)

يَفْتَحُ زَيْدٌ البَابَ (Zaid sedang membuka pintu)

يَسْتَمِعُ الحَاضِرُوْنَ الْحِوَارَ (Para hadirin sedang mendengarkan dengan seksama diskusi itu)

2. Fi’il Majhul

Fi’il majhul adalah fi’il yang yang tidak disebutkan pelakunya (kata kerja pasif)

Contoh:

ضُرِبَ الْكَلبُُ (Anjing telah dipukul)

قُتِلَ الْعَدُوُّ (Musuh itu telah dibunuh)

تُعُلِّمَ عِلْمُ النَّحْوِ (Ilmu Nahwu telah dipelajari)

يُكْتَبُ الدَّرْسُ (Pelajaran sedang ditulis)

يُفْتَحُ الْبَابُ (Pintu sedang dibuka)

يُسْتَمَعُ الْحِوَارُُ (Diskusi itu didengarkan dengan seksama)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

(Naibul fa'il)نَائِبُ الفَاعِلِ

Naibul fa’il adalah isim marfu’ yang terletak setelah fi’il majhul untuk menunjukkan orang yang dikenai pekerjaan.

Contoh:

ضُرِبَ الْكَلْبُ (Anjing itu telah dipukul)

يُكْتَبُ الدَّرْسُ (Pelajaran sedang ditulis)

Ketentuan-ketentuan naibul fa’il

1. Naibul fa’il merupakan isim marfu’. Asal dari na’ibul fa’il adalah sebagai obyek (maf’ul bih) yang mempunyai I’rob nashob. Tatkala failnya dihapus, maka maf’ul bih menggantikan posisi fa’il yang mempunyai I’rob rofa’.

Contoh:

نَصَرَ زَيْدٌ مُحَمَّدًا (Zaid menolong Muhammad)

Tatkala fa’ilnya dihapus, menjadi:

نُصِرَ مُحَمَّدٌ (Muhammad ditolong)

2. Naibul fa’il harus diletakkan setelah fi’il. Apabila ada isim marfu’ yang terletak di depan /sebelum fi’il maka dia bukan naibul fa’il.

Contoh:

مُحَمَّدٌ نُصِرَ (Muhammad ditolong)

مُحَمَّدٌ bukan naibul fa’il. Hal ini karena ia terletak di depan fi’il.

Naibul fa’ilnya adalah berupa dhomir mustatir yang terdapat pada fi’il نُصِرَ yang taqdirnya adalah هُوَ

3. Fi’il yang dipakai adalah fi’il majhul.

Contoh:

ذَبَحَ مُحَمَّدٌ الْبَقَرَ (Muhammad menyembelih sapi)

مُحَمَّدٌ bukan sebagai na’ibul fail karena fi’il yang dipakai bukan fi’il majhul.

4. Fi’il yang dipakai harus selalu dalam bentuk mufrod

Contoh:

قُتِلَالْكَافِرُ (Seorang kafir itu telah dibunuh)

قُتِلَ الْكَافِرَانِ (Dua orang kafir itu telah dibunuh)

قُتِلَ الْكَافِرُوْنَ (Orang-orang kafir itu telah dibunuh)

5. Bila naibul fa’ilnya mudzakkar, maka fi’ilnya mufrod mudzakkar. Bila naibul failnya muannats maka fi’ilnya mufrod muannats.

Contoh:

نُصِرَ مُحَمَّدٌ

نُصِرَتْ مَرْيَمُ

يُضْرَبُ مُحَمَّدٌ

تُضْرَبُ مَرْيَمُ

6. Apabila susunan sebelum fa’ilnya dihapus menpunyai dua maf’ul bih (obyek), maka setelah failnya dihapus, maf’ul bih pertama menjadi naibul fail sedangkan maful bih kedua tetap manshub sebagai maf’ul bih.

Contoh:

مَنَحَ مُحَمَّدٌ الْفَقِيْرَ طَعَامًا (Muhammad memberi orang fakir itu makanan)

Tatkala fa’ilnya dihapus, maka fi’ilnya harus dirubah menjadi bentuk majhul. Kemudian maf’ul bih pertama ( yaitu الْفَقِيْرَ ) berubah menjadi naibul fail, sehingga I’robnya menjadi rofa’. Adapun maf’ul bih ke dua ( yaitu طَعَامًا )tetap manshub sebagai maf’ul bih.

مُنِحَ الْفَقِيْرُ طَعَامًا (Orang fakir itu diberi makanan)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

الْفَاعِلُ (Fa’il)

Fa’il adalah isim marfu’ yang terletak setelah fi’il ma’lum untuk menunjukkan pelaku dari suatu pekerjaan.

Contoh:

ضَرَبَ عَلِيٌّ الْكَلْبَ (Ali telah memukul anjing)

يَكْتُبُ مُحَمَّدٌ الدَّرْسَ (Muhammad sedang menulis pelajaran)

Ketentuan-Ketentuan Fa’il:

1. Fa’il adalah isim yang marfu’

Contoh:

نَصَرَ زَيْدٌ مُحَمَّدًا (Zaid menolong Muhammad)

زَيْدٌ adalah sebagai fa’ilnya karena dia merupakan isim yang marfu’

مُحَمَّدًا bukan sebagai fa’il karena dia manshub

ذَهَبَ الرَّجُلُ إِلَى السُّوْقِ (Laki-laki itu pergi ke pasar)

الرَّجُلُ adalah sebagai fai’ilnya karena dia merupakan isim yang marfu’

السُّوْقِ bukan sebagai fa’il karena dia majrur

2. Fa’il harus diletakkan setelah fi’il. Apabila ada isim marfu’ yang terletak di depan /sebelum fi’il maka dia bukan fa’il

Contoh:

مُحَمَّدٌ يَكْتُبُ الدَّرْسَ (Muhammad sedang menulis pelajaran)

مُحَمَّدٌ bukan sebagai fa’il. Hal ini karena ia terletak di depan fi’il.

Fa’ilnya adalah berupa dhomir mustatir yang terdapat pada fi’il يَكْتُبُ yang taqdirnya adalah هُوَ.

3. Fi’il yang dipakai adalah fi’il ma’lum. Apabila ada isim mar’fu’ yang terletak setelah fi’il majhul, maka ia bukan sebagai fa’il.


Contoh:

ضُرِبَ عَلِيٌّ (Ali dipukul)

عَلِيٌّ bukanlah sebagai fa’il karena fi’il yang dipakai adalah fi’il majhul.

4. Fi’il yang dipakai harus selalu dalam bentuk mufrod

Contoh:

كَتَبَ الْمُسْلِمُ الدَّرْسَ (Seorang muslim itu menulis pelajaran)

كَتَبَ الْمُسْلِمَانِ الدَّرْسَ (Dua orang muslim itu menulis pelajaran)

كَتَبَ الْمُسْلِمُوْنَ الدَّرْسَ (Orang-orang muslim itu menulis pelajaran)

5. Bila fa’ilnya mudzakkar, maka fi’ilnya mufrod mudzakkar. Bila failnya muannats maka fi’ilnya mufrod muannats.

Contoh:

شَرِبَ مُحَمَّدٌ اللَّبَنَ (Muhammad telah minum susu)

شَرِبَتْ مَرْيَمُ اللَّبَنَ (Maryam telah minum susu)

يَشْرَبُ مُحَمَّدٌ اللَّبَنَ (Muhammad sedang minum susu)

تَشْرَبُ مَرْيَمُ اللَّبَنَ (Maryam sedang minum susu)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

3. Fi’il Amr

Tashrif Fi'il Amr

اُكْتُبْ: Fa’ilnya adalah dhomir mustatir yang taqdirnya أَنْتَ

اُكْتُبَا: Fa’ilnya adalah alif

اُكْتُبُوْا: Fa’ilnya adalah wawu

اُكْتُبِِيْ: Fa’ilnya adalah ya’

اُكْتُبَا: Fa’ilnya adalah alif

اُكْتُبْنَ: Fa’ilnya adalah nun

Contoh:

اُكْتُبْ الدَّرْسَ

Fa’il dari kalimat ini adalah dhomir mustatir yang taqdirnya أَنْتَ

اِحْفَظُوْا الْقُرْءَانَ

Fa’il dari kalimat ini adalah wawu

اِرْجِعْنَ إِلَى بُيُوتِكُنَّ

Fa’il dari kalimat ini adalah nun

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

2. Fi’il Mudhori’

Tashrif Fi'il Mudhori

يَكْتُبُ: Fa’ilnya adalah dhomir mustatir yang taqdirnya هُوَ

يَكْتُبَانِ: Fa’ilnya adalah alif

يَكْتُبُوْنَ: Fa’ilnya adalah wawu

تَكْتُبُ: Fa’ilnya adalah dhomir mustatir yang taqdirnya هِيَ

تَكْتُبَانِ: Fa’ilnya adalah alif

يَكْتُبْنَ: Fa’ilnya adalah nun

تَكْتُبُ: Fa’ilnya adalah dhomir mustatir taqdirnya أَنْتَ

تَكْتُبَانِ: Fa’ilnya adalah alif

تَكْتُبُوْنَ: Fa’ilnya adalah wawu

تَكْتُبِِيْنَ: Fa’ilnya adalah ya’

تَكْْتُبَانِ: Fa’ilnya adalah alif

تَكْتُبْنَ: Fa’ilnya adalah nun

أَكْتُبُ: Fa’ilnya adalah dhomir mustatir yang taqdirnya أَنَا

نَكْتُبُ: Fa’ilnya adalah dhomir mustatir yang taqdirnya نَحْنُ

Contoh:

مُحَمَّدٌ يَرْكَبُ الْحِصَانَ

Fa’il dari kalimat ini adalah dhomir mustatir yang taqdirnya هُوَ

الْمُمَرِّضَاتُ يَدْخُلْنَ الْمُسْتَشْفَى

Fa’il dari kalimat ini adalah nun

نَكْتُبُ الرِّسَالَةَ

Fa’il dari kalimat ini adalah dhomir mustatir yang taqdirnya نَحْنُ

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Mengenal Fa’il Yang Berbentuk Dhomir

1. Fi’il Madhi

Tashrif Fi'il Madhi

كَتَبَ: Fa’ilnya adalah dhomir mustatir yang taqdirnya هُوَ

كَتَبَا: Fa’ilnya adalah alif

كَتَبُوا: Fa’ilnya adalah wawu

كتَبَتْ: Fa’ilnya adalah dhomir mustatir yang taqdirnya هِيَ

كَتَبَتَا: Fa’ilnya adalah alif

كَتَبْنَ: Fa’ilnya adalah nun

كَتَبْتَ: Fa’ilnya adalah ta’

كَتَبْتُمَا: Fa’ilnya adalah ta’

كَتَبْتُمْ: Fa’ilnya adalah ta’

كَتَبْتِ: Fa’ilnya adalah ta’

كَتَبْتُمَا: Fa’ilnya adalah ta’

كَتَبْتُنَّ: Fa’ilnya adalah ta’

كَتَبْتُ: Fa’ilnya adalah ta’

كَتَبْنَا: Fa’ilnya adalah نَا

Contoh:

مُحَمَّدٌ كَتَبَ الدَّرسَ

Fa’il dari kalimat ini adalah dhomir mustatir yang taqdirnya هُوَ

الْمُسْلِمُوْنَ فَهِمُوْا الدَّرْسَ

Fa’il dari kalimat ini adalah wawu

جَلَسْتُ عَلَى الْكُرْسِيِّ

Fa’il dari kalimat ini adalah ta’

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Perbedaan Pendapat Seputar Mengusap Sepatu, Kaos Kaki dan Perban

Masalah mengusap kaos kaki

Perbedaan pendapat :
Pendapat I (Malik, Syafi’I, Abu Hanifah) : tidak boleh
Pendapat II (Abu Yusuf, Muhammad, Sufyan Ats-Tsauri) : boleh

Sebab perbedaan pendapat :
1.Perbedaan pendapat mengenai keshahihan / kehujjahan hadits : bahwa rasulullah saw telah mengusap kedua kaos kaki dan kedua sandal beliau. (dishahihkan oleh Tirmidzi, tetapi tidak pernah diriwayatkan oleh Bukhari ataupun Muslim).

2.Perbedaan pendapat mengenai apakah mengusap khuff bisa diqiyaskan pada yang lainnya, ataukah ia merupakan ibadah yang tidak menerima qiyas.

Istinbath para fuqaha :

· Barangsiapa menshahihkan hadits diatas atau menganggap bahwa mengusap khuff bisa diqiyaskan pada yang lainnya, maka ia akan membolehkan mengusap kaos kaki.

· Barangsiapa yang menolak hadits diatas atau belum menerimanya, atau menganggap bahwa mengusap khuff adalah ibadah yang tidak menerima qiyas, maka ia tidak akan membolehkan mengusap kaos kaki.

Pendapat Sayyid Sabiq :
Mengusap kaos kaki adalah boleh, sebagaimana diriwayatkan dari banyak sahabat.
Mengusap pada pembalut / perban

Pendapat Sayyid Sabiq :
Bagi orang yang memiliki luka maka pertama-tama ia wajib membasuhnya dengan air jika itu merupakan bagian yang wajib dibasuh, meskipun harus dengan menghangatkan airnya terlebih dulu. Jika dengan membasuhnya dikhawatirkan sakitnya akan bertambah parah atau hal itu akan memperlambat kesembuhannya, maka kewajiban membasuh berubah menjadi mengusap saja, langsung ke bagian tubuh yang ada. Jika yang demikian masih dikhawatirkan, maka hendaknya ia melilitkan pembalut / perban pada bagian yang sakit seperlunya saja, lalu hendaknya ia mengusap pada pembalut / perban tersebut. Jadi, hukum mengusap pada pembalut / perban adalah wajib bagi orang yang berwudhu atau mandi, sebagai ganti dari membasuh atau mengusap bagian-bagian yang wajib dibasuh atau diusap.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Perbedaan Pendapat Seputar Waktu-waktu Sholat

Batas akhir waktu muwassa’ untuk sholat zhuhur
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (Malik, Syafi’I, Abu Tsaur, Dawud) :
bayangan benda sama dengan bendanya.
Pendapat II (salah satu riwayat dari Abu Hanifah) :
bayangan benda dua kali bendanya, dan saat ini merupakan awal sholat ashar.
Pendapat III (riwayat yang lain dari Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad) :
akhir waktu zhuhur adalah saat bayangan benda sama dengan bendanya. Tetapi awal waktu ashar bukan saat itu melainkan ketika bayangan benda dua kali bendanya.

Sebab perbedaan pendapat :
Pertentangan antar hadits
Hadits pendapat I :
Hadits Jibril mengimami Nabi dalam sholat lima waktu. Sholat zhuhur hari pertama dilakukan ketika zawal matahari. Sholat zhuhur hari kedua dilakukan ketika bayangan benda sama dengan bendanya. Jibril berkata : Waktu sholat adalah antara keduanya (antara waktu yang ditunjukkkan pada hari I dan waktu yang ditunjukkan pada hari II).

Hadits pendapat II dan III :

Lama kalian hidup terhadap umat-umat sebelum kalian ialah sebagaimana antara sholat ashar dan terbenamnya matahari. Ahli Taurat telah diberi Taurat, lalu mereka mengamalkannya sampai tengah hari sehingga tidak mampu lagi. Maka mereka pun diberi pahala masing-masing satu qirath. Kemudian ahli Injil diberi Injil, lalu mereka mengamalkannya sampai datang waktu sholat ashar sehingga tidak mampu lagi. Maka mereka pun diberi pahala masing-masing satu qirath. Kemudian kita diberi Al-Qur’an, maka kita mengamalkannya sampai terbenamnya matahari. Maka kita pun diberi pahala masing-masing dua qirath. Ahli kitab pun berkata,”Duhai Tuhan kami, Engkau memberi mereka (umat Muhammad) masing-masing dua qirath sementara engkau beri kami masing-masing satu qirath saja, padahal amal kami lebih banyak? Maka Allah berkata,”Apakah Aku pernah zhalim dalam mengganjar perbuatan kalian? Mereka pun menjawab,”Tidak”. Lalu Allah berfirman,”Demikianlah fadhilah-Ku Aku berikan kepada siapa yang Aku kehendaki”.

Pendapat Sayyid Sabiq :

Akhir waktu muwassa’ untuk sholat zhuhur ialah ketika bayangan benda sama dengan bendanya.

Waktu yang lebih disukai untuk sholat zhuhur
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (Malik) :
di awal waktu bagi yang sholat sendirian, dan sedikit mengakhirkannya dari awal waktu bagi yang sholat berjama’ah di masjid.
Pendapat II (Syafi’I, riwayat lain dari Malik) :
di awal waktu kecuali jika panas sangat terik.

Pendapat III :
di awal waktu secara muthlaq, baik itu sendirian atau berjamaah, di saat dingin ataupun panas terik.
Sebab perbedaan pendapat :
Pertentangan antar hadits
Pendapat Sayyid Sabiq :
Waktu yang lebih disukai untuk sholat zhuhur adalah ta’jiil (di awal waktu) kecuali jika siang sangat terik maka yang lebih disukai adalah ibraad (menunggu setelah agak reda panasnya). Waktu ibraad inipun bisa berubah-ubah sesuai dengan keadaan.

Batas waktu antara zhuhur dan ashar

Perbedaan pendapat :
Pendapat I (Syafi’I, Dawud, Jama’ah) :
akhir waktu zhuhur dengan sendirinya adalah awal waktu ashar, yakni pada saat bayangan benda sama dengan bendanya, tanpa ada waktu musytarak untuk dua sholat.

Pendapat II (Malik) :
sda dengan waktu musytarak pada akhir zhuhur dan awal ashar selama kira-kira empat raka’at.

Pendapat III (Abu Hanifah) :
akhir waktu zhuhur adalah saat bayangan benda sama dengan bendanya. Tetapi awal waktu ashar bukan saat itu melainkan ketika bayangan benda dua kali bendanya.

Sebab perbedaan pendapat :

Pertentangan antar hadits
Pendapat Sayyid Sabiq :
Akhir waktu zhuhur dengan sendirinya adalah awal waktu ashar.

Akhir waktu ashar

Perbedaan pendapat :
Pendapat I (salah satu riwayat Malik, Syafi’i) :
ketika bayangan benda sama dengan bendanya.

Pendapat II (riwayat yang lain dari Malik, Ahmad) :
ketika matahari menjadi kuning.
Pendapat III (zhahiriyah) :
satu raka’at sebelum terbenamnya matahari

Sebab perbedaan pendapat :
Pertentangan antar hadits
Pendapat Sayyid Sabiq :
Akhir waktu jawaz untuk sholat ashar adalah terbenamnya matahari. Hanya saja waktu ikhtiyar (menurut Imam Nawawi) adalah sampai ketika bayangan benda dua kali bendanya. Adapun waktu yang tidak makruh adalah sampai matahari menjadi kuning. Jika kita melakukan sholat ashar sesudah matahari menjadi kuning tanpa ada udzur, maka hukumnya adalah makruh meskipun itu boleh.

Khusus pada hari yang mendung, sangat ditekankan untuk ta’jiil (menyegerakan) sholat ashar diawal waktu. Kemudian secara umum, sholat ashar ini hendaknya benar-benar dijaga karena ia adalah sholat wustha, yang telah disebut secara khusus untuk dijaga.

Apakah terdapat waktu muwassa’ bagi sholat maghrib?

Perbedaan pendapat :
Pendapat I (riwayat paling populer dari Malik dan Syafi’i) : tidak ada waktu muwassa’ untuk sholat maghrib.

Pendapat II (Abu Hanifah, Ahmad, Abu Tsaur, Dawud, diriwayatkan pula dari Malik dan Syafi’i) : terdapat waktu muwassa’ yakni antara terbenamnya matahari dan hilangnya syafaq (mega merah).

Sebab perbedaan pendapat :
Pertentangan antar hadits
Hadits I :
Hadits Jibril mengimami Nabi dimana pada hari pertama maupun kedua Jibril melakukan sholat maghrib pada waktu yang sama.

Hadits II :
Hadits Abdullah ibn ‘Umar : Nabi bersabda,”Waktu sholat maghrib adalah selama syafaq belum menghilang”. [yang seperti ini terdapat pula pada hadits Buraidah Al-Aslamiy]

Komentar :
Hadits Buraidah lebih utama karena diucapkan pada masa madaniyah dalam rangka menjawab sahabat yang sedang bertanya. Sedangkan hadits Jibril mengimami Nabi diucapkan pada masa makkiyah.

Pendapat Sayyid Sabiq :

Waktu muwassa’ untuk sholat maghrib adalah sampai hilangnya syafaq merah, hanya saja yang lebih utama adalah ta’jiil (menyegerakan) di awal waktu sebagaimana dinyatakan dalam hadits Jibril mengimami Nabi bahwa sholat maghrib pada dua hari yang berbeda dilaksanakan pada waktu yang sama yakni ketika matahari telah terbenam.

Awal waktu sholat isya’


Perbedaan pendapat :
Pendapat I (Malik, Syafi’I, Jama’ah) :
saat hilangnya mega merah (al-hamrah).
Pendapat II (Abu Hanifah) :
saat hilangnya mega putih (al-bayadh) yang muncul sesudah mega merah.
Sebab perbedaan pendapat :
Isytirak (kerancuan) tentang makna kata al-syafaq
Pendapat Sayyid Sabiq :
Awal waktu sholat ‘isya adalah hilangnya syafaq merah.

Akhir waktu sholat isya’

Perbedaan pendapat :
Pendapat I (Syafi’I, Abu Hanifah, riwayat paling populer dari Malik) :
sampai akhir sepertiga malam
Pendapat II (riwayat lain dari Malik) :
sampai tengah malam (nishful lail)
Pendapat III (Dawud) :
sampai terbitnya fajar
Sebab perbedaan pendapat :
Perbedaan antar hadits

Hadits pendukung pendapat I :
Hadits Jibril mengimami Nabi dimana pada hari kedua melakukan sholat isya pada sepertiga malam (tsulutsul lail).
Hadits pendukung pendapat II :
Hadits Anas : Nabi saw mengakhirkan sholat isya’ sampai tengah malam.
Hadits Abu Sa’id Al-Khudri dan Abu Hurairah : Nabi saw bersabda,”Kalau tidak akan memberatkan umatku, akan aku akhirkan sholat malam sampai tengah malam.

Hadits pendukung pendapat III :
Hadits Abu Qatadah : Bukanlah ceroboh itu tidur, melainkan menunda-nunda sholat sampai masuk waktu sholat yang lainnya. [Hadits ini turun setelah hadits Jibril mengimami Nabi]
Pendapat Abu Hanifah [bahwa akhir waktu sholat isya’ adalah terbitnya fajar]

Pendapat Sayyid Sabiq :
Akhir waktu ikhtiyar sholat ‘isya adalah tengah malam (nishful lail). Adapun akhir waktu jawaz idhtiraar adalah terbitnya fajar shadiq (awal waktu sholat shubuh).
Waktu yang lebih utama untuk sholat ‘isya adalah ta’khiir (mengakhirkan) pada tengah malam.

Tidur sebelum ‘isya dan bercakap-cakap sesudahnya

Pendapat Sayyid Sabiq :
Tidur sebelum ‘isya adalah makruh karena dikhawatirkan akan kehilangan waktu mustahab untuk sholat ‘isya atau luput dari sholat jama’ah. Tetapi jika ada yang akan membangunkan, maka tidak apa-apa tidur sebelum ‘isya.

Bercakap-cakap sesudah ‘isya adalah makruh karena dikhawatirkan akan membuang-buang waktu dan membuat kita kehilangan kesempatan untuk bangun sholat malam. Tetapi jika percakapan itu adalah percakapan yang baik maka tidak apa-apa.

Waktu-waktu yang dilarang untuk sholat

Apakah boleh sholat pada saat zawal (istiwa’) matahari?

Perbedaan pendapat :
Pendapat I :
tidak boleh sama sekali.
Pendapat II (Hanafiyah) :
tidak boleh sama sekali kecuali sholat jenazah.

Pendapat III (Syafi’i) :
tidak boleh kecuali sholat sunnah dengan sebab khusus dan sholat sunnah pada hari Jum’at.

Pendapat IV (Hanabilah) :
tidak boleh kecuali sholat tahiyyatul masjid pada hari Jum’at.

Pendapat V (Malik) :
boleh secara mutlaq.

Sebab perbedaan pendapat :
Pertentangan dalil

Dalil bagi pendapat I :
Hadits ‘Uqbah ibn ‘Aamir
Dalil bagi pendapat III dan IV :
Hadits Ibnu Syihab dari Tsa’labah ibn Abi Malik
Dalil bagi pendapat V :
Amalan penduduk Madinah
Pendapat Sayyid Sabiq :
Sayyid Sabiq tidak melakukan tarjih tetapi sekedar memaparkan perbedaan pendapat dalam masalah ini.

Apakah boleh sholat sesudah sholat ashar?

Perbedaan pendapat :
Pendapat I :
tidak boleh sama sekali
Pendapat II (jumhur) :
tidak boleh kecuali untuk mengqadha’
Pendapat III :
boleh secara mutlaq
Pendapat IV (Syafi’i) :
boleh sholat (termasuk sholat sunnah) dengan sebab khusus
Pendapat V (Abu Hanifah, Malik) :
makruh

Pendapat VI (Hanabilah) :
haram melakukan sholat tathawwu’ meskipun dengan sebab khusus, kecuali sholat dua raka’at thawaf.

Sebab perbedaan pendapat :
pertentangan antar hadits
Pendapat I : berdasarkan hadits Abu Hurairah
Pendapat II : berdasarkan hadits Ummu Salamah
Pendapat III : berdasarkan hadits ‘Aisyah
Pendapat Sayyid Sabiq :
Sayyid Sabiq tidak melakukan tarjih tetapi sekedar memaparkan perbedaan pendapat dimana jumhur berpendapat bahwa boleh mengqadha sholat yang terlewat atau luput pada waktu sesudah sholat ashar dan sholat shubuh.

Apakah boleh sholat tathawwu’ ketika iqamat dikumandangkan?

(Maksudnya: beranjak melakukan sholat tathawwu’ sementara iqamat sudah dikumandangkan)

Pendapat Sayyid Sabiq :
Hukumnya makruh berdasarkan hadits-hadits yang kuat.

Sholat apa yang tidak boleh dilakukan pada waktu-waktu yang terlarang untuk sholat?


Perbedaan pendapat :

Pendapat I (Hanafiyah) :
sholat apa saja, baik itu fardhu, sunnah, ataupun nafilah.
Pendapat II :
sholat yang tidak wajib, baik sholat sunnah ataupun nafilah.
Pendapat III :
sholat nafilah saja.
Sebab perbedaan pendapat :
pertentangan dalam hal ‘aamm dan khaashsh.
Pendapat Sayyid Sabiq :
Masalah ini tidak muncul sebagai sub bab tersendiri dalam sistematika Sayyid Sabiq (Fiqhus Sunnah).
Komentar

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Adat dalam Islam

Dalam ushul fiqih terdapat sebuah kaidah asasi al-‘adat muhakkamat (=adat dapat dihukumkan) atau al-‘adat syari’at muhakkamat (=adat merupakan syariat yang dihukumkan). Kaidah tersebut kurang lebih bermakana bahwa adat (tradisi) merupakan variabel sosial yang mempunyai otoritas hukum (hukum Islam). Adat bisa mempengaruhi materi hukum , secara proporsional. Hukum Islam tidak memposisikan adat sebagai faktor eksternal non-implikatif, namun sebaliknya, memberikan ruang akomodasi bagi adat. Kenyataan sedemikian inilah antara lain yang menyebabkan hukum Islam bersifat fleksibel.

Dalam bahasa Arab, al-‘adat sering pula dipadankan dengan al-‘urf. Dari kata terakhir itulah, kata al-ma’ruf – yang sering disebut dalam Al-Qur’an – diderivasikan. Oleh karena itu, makna asli al-ma’ruf ialah segala sesuatu yang sesuai dengan adat (kepantasan). Kepantasan ini merupakan hasil penilaian hati nurani. Mengenai hati nurani, Rasulullah pernah memberikan tuntunan agar manusia bertanya kepada hati nuraninya ketika dihadapkan pada suatu persoalan (mengenai baik dan tidak baik). Beliau juga pernah menyatakan bahwa keburukan atau dosa ialah sesuatu yang membuat hati nurani menjadi gundah (tidak sreg).

Dalam perkembangannya, al-‘urf kemudian secara general digunakan dengan makna tradisi, yang tentu saja meliputi tradisi baik (al-urf al-shahih) dan tradisi buruk (al-‘urf al-fasid). Dalam konteks ini, tentu saja al-ma’ruf bermakna segala sesuatu yang sesuai dengan tradisi yang baik. Arti “baik” disini adalah sesuai dengan tuntunan wahyu.

Amr bi al-ma’ruf berarti memerintahkan sesama manusia untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang pantas menurut suatu masyarakat, yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai wahyu.

Nilai-nilai yang pantas menurut suatu masyarakat merupakan manifestasi hati-hati nurani masyarakat tersebut dalam konteks kondisi lingkungan yang melingkupi masyarakat tersebut. Kondisi lingkungan yang berbeda pada masyarakat yang berbeda akan menyebabkan variasi pada nilai-nilai kepantasan yang dianut. Karena itu, tradisi pada suatu masyarakat bisa berbeda dengan tradisi pada masyarakat yang lain.

Sebagai sebuah contoh, apabila Al-Qur’an menyatakan “wa ‘asyiru hunna bi al-ma’ruf (=Dan pergaulilah isteri-isteri kalian secara ma’ruf)” maka yang dimaksud adalah tuntutan kepada para suami untuk memperlakukan isteri-isteri mereka sesuai dengan nilai-nilai kepantasan yang berlaku dalam masyarakat, yang mana nilai-nilai itu bisa jadi berbeda dengan yang ada pada masyarakat lainnya. Namun perlu diingat bahwa nilai-nilai kepantasan itu tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai wahyu (Al-Qur’an dan Sunnah Nabi).

Karakter hukum Islam yang akomodatif terhadap adat (tradisi) amat bersesuaian dengan fungsi Islam sebagai agama universal (untuk seluruh dunia). “Wajah” Islam pada berbagai masyarakat dunia tidaklah harus sama (monolitik). Namun, keberagaman tersebut tetaplah dilingkupi oleh wihdat al-manhaj (kesatuan manhaj) yaitu al-manhaj al-Nabawiy al-Muhammadiy.

Berangkat dari kesadaran “Bhinneka Tunggal Ika” inilah, Islam tidaklah harus disamakan dengan Arab. Islam merupakan sebuah manhaj yang bersifat universal, yang tidak bisa dibatasi oleh ke-Arab-an semata (Namun perlu diingat bahwa Arab [terutama bahasa Arab] dalam beberapa hal memang mempunyai posisi strategis dalam Islam).

Namun, harus disadari pula bahwa Islam diturunkan kepada Muhammad saw, seorang Arab, ditengah-tengah bangsa Arab. Implikasinya, Nabi tidak akan bisa lepas dari konteks/lingkungan Arab. Hal ini nantinya juga akan berpengaruh pada pewahyuan, baik Al-Qur’an maupun Al-Sunnah (sebagaimana dikatakan oleh para ushuliyyun dan mutakallimun bahwa perkataan [yang bukan Al-Qur’an] dan perbuatan Nabi merupakan “wahyu” karena Nabi senantiasa mendapat penjagaan dan ilham dari Allah).

Sebagai contoh, Al-Qur’an mau tidak mau mesti diturunkan dalam bahasa Arab agar bisa dipahami oleh komunitas dimana Al-Qur’an diturunkan. Demikian juga perkataan Nabi, mesti dinyatakan dalam bahasa Arab. Demikian pula penyebutan nama-nama benda dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, tidaklah akan keluar dari perbendaharaan yang bisa dipahami oleh masyarakat Arab saat itu. Kalaupun ada istilah yang tidak dimengerti, maka para sahabat mesti langsung menanyakannya kepada Nabi. Oleh karena itu, pemahaman terhadap bentuk-bentuk tasyri’ yang melibatkan nama-nama benda, haruslah dilakukan secara esensial, lepas dari kungkungan bahasa, tempat, dan zaman. Sebuah contoh, tatkala Nabi memberitakan bahwa habbat al-sauda’ (jintan hitam) merupakan suatu obat yang mujarab bagi penyakit tertentu, maka itu tidak berarti bahwa tidak ada obat lain yang juga bisa menyembuhkan penyakit tersebut. Adalah sangat mungkin akan ada berpuluh-puluh obat yang bisa berfungsi seperti habbat al-sauda’. Esensi dari berita Nabi tentang habbat al-sauda’ adalah zat yang dikandung oleh habbat al-sauda’, yang bisa menyembuhkan penyakit tertentu, dan zat tersebut bisa juga terdapat pada benda lain. Atau barangkali esensinya lebih luas dari itu, yakni perintah Nabi agar umatnya giat melakukan riset di bidang farmasi untuk menemukan berbagai benda di alam ini, yang berkhasiat untuk mengobati penyakit. Namun pola pemahaman esensial ini tidak boleh sampai kepada interpretasi bahwa, misalnya, habbat al-sauda’ tidak lagi efektif untuk obat, karena Nabi sudah jelas-jelas mengatakan efektivitasnya. Jadi, interpretasi boleh meluas (berangkat dari teks) namun tidak boleh membatalkan teks itu sendiri (karena justeru teks itulah titik tolak interpretasi).

Demikian pula tradisi (sunnah) Nabi secara umum, haruslah dipahami secara esensial. Hal ini tidak lain karena Islam merupakan agama universal dan berlaku selamanya. Dengan pemahaman esensial, syariat akan dapat diterapkan dalam setiap aspek kehidupan, sampai ke relung-relungnya yang terkecil sekalipun. Pemahaman esensial juga akan menjadi “mimpi buruk (nightmare)” bagi orang-orang yang hendak melakukan hilat (intrik, manipulasi) terhadap syariat, dengan bertameng pada teks.

Adaptasi syariat terhadap adat juga bisa diamati pada materi wahyu. Imam Al-Syathibi dalam Al-Muwafaqat menerangkan bahwa akibat ke-ummi-an bangsa Arab maka wahyu (yang berarti juga syariat) pun bersifat ummi. Maksudnya, wahyu turun dengan tingkat kompleksitas yang sesuai dengan tingkat berpikir bangsa Arab saat itu. Wahyu tidak dituntut untuk dipahami secara njelimet melebihi kemampuan berpikir bangsa Arab saat itu. Meskipun begitu, justeru generasi saat itulah yang merupakan generasi terbaik dalam pemahamannya terhadap wahyu.

Bagaimana Islam Menyikapi Adat?

Sebuah diktum yang amat terkenal menerangkan tentang salah satu prinsip Islam: Muhafazhat ‘ala al-qadim al-shalih wa akhdz ‘ala al-jadid al-ashlah (=Memelihara hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik). Artinya, kedatangan Islam tidaklah untuk memberangus adat yang baik yang berlaku pada suatu masyarakat. Islam memandang adat yang baik sebagai suatu bentuk kreasi manusia dalam konteks lingkungannya (fisik dan nonfisik). Karena itu, Islam bersifat acceptable pada berbagai bentuk masyarakat yang ada di dunia ini kapanpun juga. Atas dasar ini, Islam memang pantas menjadi agama universal dan berlaku selamanya.

Dalam perkembangan adat (akibat interaksi antar adat yang berbeda), Islam mengajarkan untuk menjaga adat lama yang baik, sebagai suatu orisinalitas yang akan mewarnai kehidupan. Apabila terdapat suatu adat baru (yang baik) maka hendaknya sebisa mungkin diterima untuk didampingkan dengan adat yang lama (yang juga baik), sehingga akan memperkaya khazanah budaya masyarakat tersebut. Namun apabila adat baru (yang baik) itu mesti menggantikan sesuatu yang lama, maka yang baru tersebut baru boleh diterima apabila telah diyakini lebih baik daripada yang lama. Dengan sikap sedemikian, manusia akan selalu menjadi lebih baik dari waktu ke waktu.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Membahas Dalil-dalil Hukum

Dalil-dalil hukum (adillat al-ahkam) sering pula disebut dengan sumber-sumber hukum (mashadir al-ahkam). Sepanjang yang dimaksud adalah Al-Qur’an dan Al-Sunnah maka kedua istilah tersebut absah. Namun jika yang dimaksud adalah hal-hal yang kemudian dipahami oleh ushuliyyun sebagai dalil-dalil hukum, yang jenisnya amat banyak, maka istilah adillat al-ahkam merupakan istilah yang lebih tepat. Alasannya, banyak hal memang bisa berfungsi sebagai dalil (penunjuk) hukum, tidak terbatas pada Al-Qur’an dan Al-Sunnah saja – meskipun asalnya juga dari keduanya. Lain halnya dengan istilah mashadir al-ahkam. Istilah mashadir (sumber) hanya tepat jika dipakai untuk Al-Qur’an dan Al-Sunnah, karena hanya kedua hal itulah yang menjadi sumber dalam syariat.

Para ulama ushul berbeda pendapat dalam masalah dalil-dalil hukum. Mereka berselisih tentang apa sajakah yang absah untuk dijadikan sebagai dalil hukum. Kalau diamati dengan teliti, akan tampak bahwa sebagian besar perbedaan pendapat ini disebabkan oleh perbedaan definisi terminologis, dan bukan disebabkan oleh perbedaan esensi. Namun perbedaan definisi terminologis bukanlah satu-satunya penyebab perbedaan pendapat ini, karena ada hal-hal lainnya yang juga turut berperan bagi timbulnya perbedaan pendapat ini.

Dalil-dalil hukum yang dimaksud antara lain Al-Qur’an, Al-Sunnah, ijma’, qiyas, madzhab al-shahabiy, istihsan, maslahat al-mursalah, istish-hab, ‘urf, dan syar’u man qablana. Metode berdalil dengan berbagai dalil hukum selain Al-Qur’an dan Al-Sunnah biasanya disebut sebagai istidlal. Ijtihad, dalam pengertian sebagai usaha optimal untuk memutuskan perkara yang tidak di-nash-kan dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah, tidak lain adalah istidlal itu sendiri.

Diantara dalil-dalil hukum diatas, Al-Qur’an dan Al-Sunnah sajalah yang tidak diperselisihkan otoritasnya. Dalil-dalil hukum yang lain tidak ada yang lepas dari perbedaan pendapat para ulama.

Keberadaan ijma’(konsensus) diperselisihkan oleh para ulama. Mungkinkah segenap mujtahid pada satu masa bersepakat atas satu hal tanpa ada satupun yang menyalahinya? Mereka yang menjawab “mungkin” kemudian mengemukakan klasifikasi ijma’ atas ijma’ sharih dan ijma’ sukuti. Betapapun serunya perbedaan pendapat dalam masalah ini, paling tidak para ulama bersepakat atas otoritas ijma’ para sahabat Nabi.

Permasalahan lain yang juga muncul dalam masalah ijma’ ialah apakah ijma’ yang lama akan bisa digantikan oleh suatu ijma’ yang baru ? Golongan yang amat liberal mengatakan bahwa ijma’ tidak pernah mengenal kata putus. Setiap generasi berhak melakukan suatu kesepakatan, yang bisa menjelma menjadi ijma’, atas jaminan Nabi bahwa umat Islam tidak akan mungkin bersepakat dalam suatu kesesatan. Dalam hal ini, ijma’ diposisikan sebagai produk ijtihad dan bukan sebaliknya, menghalangi gerak ijtihad. Bagaimanapun juga, ide yang amat liberal inipun hanya bisa diterima apabila ijma’ didefinisikan tidak terlampau sempit (hanya terbatas di kalangan sahabat Nabi saja) dan juga tidak terlalu luas (meliputi segenap ulama mujtahidin). Apabila ijma’ didefinisikan terlalu luas, maka sebagaimana diketahui, kesepakatan seluruh ulama mujtahidin tanpa kecuali merupakan suatu hal yang amat sulit untuk diwujudkan.

Qiyas (analogi) termasuk dalil hukum yang disepakati oleh hampir sebagian besar ulama ushul. Hanya golongan zhahiriyah sajalah yang tidak mengakui otoritas qiyas. Imam Syafi’i merupakan ulama yang paling getol dalam memperjuangkan otoritas qiyas. Beliau bahkan berpendapat bahwa ijtihad itu tidak lain adalah qiyas. Sebetulnya pembatasan ini beliau lakukan karena beliau mendefinisikan qiyas dalam pengertian yang amat luas, yang tidak lain adalah pengertian ijtihad itu sendiri.

Bentuk qiyas yang paling populer ialah qiyas ‘illatiy, yaitu qiyas yang dilakukan atas dasar kesamaan ‘illat. Disamping itu, terdapat pula qiyas aulawiy dan qiyas maslahatiy. Qiyas aulawiy didasarkan pada keserupaan dalam intensitas yang lebih besar. Sementara qiyas maslahatiy ialah qiyas yang dilakukan atas dasar kesamaan maslahat. Qiyas ini merupakan bentuk qiyas yang terjauh karena persamaan yang muncul adalah persamaan pada kaidah umum (al-qa’idat al-kulliyyat).

Khusus untuk qiyas ‘illatiy, terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Apabila persyaratan-persyaratan tersebut dilanggar maka qiyas yang dilakukan akan menjadi batal (tidak absah). ‘Illat, sebagai esensi persoalan, dibedakan atas ‘illat manshushat dan ‘illat muktasabat (mustanbathat). ‘Illat harus dibedakan dengan sabab dan hikmah. Ketiganya mempunyai fungsi dan kedudukannya masing-masing.

Selain dalil-dalil hukum yang telah tersebut diatas, terdapat pula berbagai dalil hukum yang lain, yang masih diperdebatkan secara sengit diantara para ulama ushul. Kita mulai dari istihsan (preferensi). Istihsan sangat dominan dipakai oleh Abu Hanifah namun ditentang dengan sangat keras oleh Imam Syafi’i. Sikap Imam Syafi’i ini pada dasarnya muncul karena beliau mendefinisikan istihsan dalam pengertian yang terlalu luas, sehingga terkesan bahwa istihsan itu tidak lain adalah semata-mata rasio atau hawa nafsu. Istihsan bisa dibedakan atas dua macam. Pertama, istihsan yang merupakan peralihan dari qiyas jaliy menuju qiyas khafiy karena adanya maslahah. Kedua, istihsan yang merupakan peralihan meninggalkan qiyas karena adanya maslahah.

Dalil hukum yang serupa dengan istihsan, dari sisi bahwa keduanya melibatkan rasio secara dominan, adalah maslahah mursalah. Disebut demikian, karena maslahah yang dijadikan landasan merupakan maslahah yang tidak disebutkan dalam nash secara spesifik. Maslahah yang dimaksud disini tidak melanggar nash dan tidak pula secara spesifik dinyatakan oleh nash. Sebaliknya, maslahah ini hanya ditunjukkan oleh makna umum yang dikandung oleh nash. Konsep al-maqasid al-syar’iyyat merupakan konsep yang amat berkaitan dengan maslahah mursalah. Imam Syathibiy termasuk ahli ushul yang cukup getol menganjurkan pemakaian maslahah mursalah sebagai dalil hukum. Sebetulnya, maslahah mursalah merupakan suatu keniscayaan, karena tanpa itu kehidupan manusia akan menjadi statis dan jumud.

Madzhab al-shahabiy berarti praktek dan pendapat para sahabat Nabi. Imam Ahmad amat menghargai atsar para sahabat. Apabila para sahabat telah bersepakat dalam suatu hal, maka beliau akan menetapkannya sebagai hukum. Apabila para sahabat berbeda pendapat, maka beliau akan mengambil salah satunya dan tidak akan keluar dari pendapat mereka. Landasan berpikirnya adalah karena sahabat Nabi merupakan generasi yang paling mengerti tentang syariat dan maksud-maksudnya. Sementara itu, Imam Malik amat menjunjung tinggi otoritas amalan ahli Madinah, yakni praktek yang hidup di kalangan ahli (penduduk) Madinah. Hal ini tidak lain didasarkan pada anggapan bahwa Madinah adalah kota Nabi, yang telah mewarisi tradisi Nabi secara lengkap dan orisinil.

Istish-hab (kontinuitas) merupakan dalil hukum yang didasarkan atas prinsip bahwa dalam Islam, segala hal pasti ada hukumnya. Hal ini tidak lain karena syariat Islam bersifat sempurna dan final, semenjak wahyu telah turun secara tuntas. Konsep bara-at al-dzimmah dan al-ibahat al-ashliyyat dalam aspek muamalah, al-tahrim wa al-tauqif al-ashliyyat dalam aspek ta’abbud, merupakan beberapa bentuk istish-hab.Di samping itu, istish-hab juga dipakai dalam pengertiannya yang mendasar pada segenap relung-relung syariat.

Syar’u man qablana (syariat sebelum kita, syariat Nabi-nabi terdahulu) juga merupakan dalil hukum yang diperselisihkan. Bagi yang mengakui otoritas dalil hukum ini, syariat umat terdahulu masih absah berlaku hingga kini sepanjang tidak ada nash yang menghapuskan atau mengubahnya. Dalam hal ini, otoritasnya tidak memerlukan adanya penetapan ulang dalam syari’at sekarang (syari’at Muhammad). Sementara bagi yang menentang otoritas syar’u man qablana, syariat Muhammad telah menghapus seluruh syariat umat terdahulu, kecuali kalau ditetapkan lagi dengan nash.

Al-‘urf atau al-‘adat, yang berarti kebiasaan atau tradisi yang hidup dalam masyarakat, bisa dibedakan atas dua : al-‘urf al-shahih (kebiasaan yang selaras dengan syariat) dan al-‘urf al-fasid (kebiasaan yang bertentangan dengan syariat). Al-‘urf, dalam pengertian al-‘urf al-shahih, oleh sebagian besar ulama dianggap absah sebagai dalil hukum. Oleh karena itu, terdapat kaidah fiqh asasi yang berbunyi al-‘adat muhakkamat.

Mengenai tradisi bahasa (‘urf lughawiy) yang fasid (khathi’), Imam Hasan Al-Banna mengemukakan dalam Ushul ‘Isyrun bahwa ‘urf yang demikian itu tidak bisa mengubah hakikat teks-teks syar’i. Ibrah hendaknya diambil dari esensi dan bukan dari teks-teks yang fasid tersebut.

Kalau kita amati, betapa banyak dalil-dalil hukum yang masih menjadi bahan perdebatan diantara para ulama. Oleh karena itu, studi dan penelitian yang intensif terhadap dalil-dalil hukum, dan ushul fiqh pada umumnya, merupakan tugas berat yang harus digarap. Ushul fiqh hanyalah suatu bentuk sistemasisasi prinsip-prinsip syariat, yang berarti merupakan produk pemikiran manusia, sehingga tidak menutup kemungkinan untuk direkonstruksi.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS