Recent Posts

Download

Blogger Tricks

Blogger Themes

Featured Video

RSS

Perbedaan Pendapat Seputar Mengusap Sepatu, Kaos Kaki dan Perban

Masalah mengusap kaos kaki

Perbedaan pendapat :
Pendapat I (Malik, Syafi’I, Abu Hanifah) : tidak boleh
Pendapat II (Abu Yusuf, Muhammad, Sufyan Ats-Tsauri) : boleh

Sebab perbedaan pendapat :
1.Perbedaan pendapat mengenai keshahihan / kehujjahan hadits : bahwa rasulullah saw telah mengusap kedua kaos kaki dan kedua sandal beliau. (dishahihkan oleh Tirmidzi, tetapi tidak pernah diriwayatkan oleh Bukhari ataupun Muslim).

2.Perbedaan pendapat mengenai apakah mengusap khuff bisa diqiyaskan pada yang lainnya, ataukah ia merupakan ibadah yang tidak menerima qiyas.

Istinbath para fuqaha :

· Barangsiapa menshahihkan hadits diatas atau menganggap bahwa mengusap khuff bisa diqiyaskan pada yang lainnya, maka ia akan membolehkan mengusap kaos kaki.

· Barangsiapa yang menolak hadits diatas atau belum menerimanya, atau menganggap bahwa mengusap khuff adalah ibadah yang tidak menerima qiyas, maka ia tidak akan membolehkan mengusap kaos kaki.

Pendapat Sayyid Sabiq :
Mengusap kaos kaki adalah boleh, sebagaimana diriwayatkan dari banyak sahabat.
Mengusap pada pembalut / perban

Pendapat Sayyid Sabiq :
Bagi orang yang memiliki luka maka pertama-tama ia wajib membasuhnya dengan air jika itu merupakan bagian yang wajib dibasuh, meskipun harus dengan menghangatkan airnya terlebih dulu. Jika dengan membasuhnya dikhawatirkan sakitnya akan bertambah parah atau hal itu akan memperlambat kesembuhannya, maka kewajiban membasuh berubah menjadi mengusap saja, langsung ke bagian tubuh yang ada. Jika yang demikian masih dikhawatirkan, maka hendaknya ia melilitkan pembalut / perban pada bagian yang sakit seperlunya saja, lalu hendaknya ia mengusap pada pembalut / perban tersebut. Jadi, hukum mengusap pada pembalut / perban adalah wajib bagi orang yang berwudhu atau mandi, sebagai ganti dari membasuh atau mengusap bagian-bagian yang wajib dibasuh atau diusap.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Perbedaan Pendapat Seputar Waktu-waktu Sholat

Batas akhir waktu muwassa’ untuk sholat zhuhur
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (Malik, Syafi’I, Abu Tsaur, Dawud) :
bayangan benda sama dengan bendanya.
Pendapat II (salah satu riwayat dari Abu Hanifah) :
bayangan benda dua kali bendanya, dan saat ini merupakan awal sholat ashar.
Pendapat III (riwayat yang lain dari Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad) :
akhir waktu zhuhur adalah saat bayangan benda sama dengan bendanya. Tetapi awal waktu ashar bukan saat itu melainkan ketika bayangan benda dua kali bendanya.

Sebab perbedaan pendapat :
Pertentangan antar hadits
Hadits pendapat I :
Hadits Jibril mengimami Nabi dalam sholat lima waktu. Sholat zhuhur hari pertama dilakukan ketika zawal matahari. Sholat zhuhur hari kedua dilakukan ketika bayangan benda sama dengan bendanya. Jibril berkata : Waktu sholat adalah antara keduanya (antara waktu yang ditunjukkkan pada hari I dan waktu yang ditunjukkan pada hari II).

Hadits pendapat II dan III :

Lama kalian hidup terhadap umat-umat sebelum kalian ialah sebagaimana antara sholat ashar dan terbenamnya matahari. Ahli Taurat telah diberi Taurat, lalu mereka mengamalkannya sampai tengah hari sehingga tidak mampu lagi. Maka mereka pun diberi pahala masing-masing satu qirath. Kemudian ahli Injil diberi Injil, lalu mereka mengamalkannya sampai datang waktu sholat ashar sehingga tidak mampu lagi. Maka mereka pun diberi pahala masing-masing satu qirath. Kemudian kita diberi Al-Qur’an, maka kita mengamalkannya sampai terbenamnya matahari. Maka kita pun diberi pahala masing-masing dua qirath. Ahli kitab pun berkata,”Duhai Tuhan kami, Engkau memberi mereka (umat Muhammad) masing-masing dua qirath sementara engkau beri kami masing-masing satu qirath saja, padahal amal kami lebih banyak? Maka Allah berkata,”Apakah Aku pernah zhalim dalam mengganjar perbuatan kalian? Mereka pun menjawab,”Tidak”. Lalu Allah berfirman,”Demikianlah fadhilah-Ku Aku berikan kepada siapa yang Aku kehendaki”.

Pendapat Sayyid Sabiq :

Akhir waktu muwassa’ untuk sholat zhuhur ialah ketika bayangan benda sama dengan bendanya.

Waktu yang lebih disukai untuk sholat zhuhur
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (Malik) :
di awal waktu bagi yang sholat sendirian, dan sedikit mengakhirkannya dari awal waktu bagi yang sholat berjama’ah di masjid.
Pendapat II (Syafi’I, riwayat lain dari Malik) :
di awal waktu kecuali jika panas sangat terik.

Pendapat III :
di awal waktu secara muthlaq, baik itu sendirian atau berjamaah, di saat dingin ataupun panas terik.
Sebab perbedaan pendapat :
Pertentangan antar hadits
Pendapat Sayyid Sabiq :
Waktu yang lebih disukai untuk sholat zhuhur adalah ta’jiil (di awal waktu) kecuali jika siang sangat terik maka yang lebih disukai adalah ibraad (menunggu setelah agak reda panasnya). Waktu ibraad inipun bisa berubah-ubah sesuai dengan keadaan.

Batas waktu antara zhuhur dan ashar

Perbedaan pendapat :
Pendapat I (Syafi’I, Dawud, Jama’ah) :
akhir waktu zhuhur dengan sendirinya adalah awal waktu ashar, yakni pada saat bayangan benda sama dengan bendanya, tanpa ada waktu musytarak untuk dua sholat.

Pendapat II (Malik) :
sda dengan waktu musytarak pada akhir zhuhur dan awal ashar selama kira-kira empat raka’at.

Pendapat III (Abu Hanifah) :
akhir waktu zhuhur adalah saat bayangan benda sama dengan bendanya. Tetapi awal waktu ashar bukan saat itu melainkan ketika bayangan benda dua kali bendanya.

Sebab perbedaan pendapat :

Pertentangan antar hadits
Pendapat Sayyid Sabiq :
Akhir waktu zhuhur dengan sendirinya adalah awal waktu ashar.

Akhir waktu ashar

Perbedaan pendapat :
Pendapat I (salah satu riwayat Malik, Syafi’i) :
ketika bayangan benda sama dengan bendanya.

Pendapat II (riwayat yang lain dari Malik, Ahmad) :
ketika matahari menjadi kuning.
Pendapat III (zhahiriyah) :
satu raka’at sebelum terbenamnya matahari

Sebab perbedaan pendapat :
Pertentangan antar hadits
Pendapat Sayyid Sabiq :
Akhir waktu jawaz untuk sholat ashar adalah terbenamnya matahari. Hanya saja waktu ikhtiyar (menurut Imam Nawawi) adalah sampai ketika bayangan benda dua kali bendanya. Adapun waktu yang tidak makruh adalah sampai matahari menjadi kuning. Jika kita melakukan sholat ashar sesudah matahari menjadi kuning tanpa ada udzur, maka hukumnya adalah makruh meskipun itu boleh.

Khusus pada hari yang mendung, sangat ditekankan untuk ta’jiil (menyegerakan) sholat ashar diawal waktu. Kemudian secara umum, sholat ashar ini hendaknya benar-benar dijaga karena ia adalah sholat wustha, yang telah disebut secara khusus untuk dijaga.

Apakah terdapat waktu muwassa’ bagi sholat maghrib?

Perbedaan pendapat :
Pendapat I (riwayat paling populer dari Malik dan Syafi’i) : tidak ada waktu muwassa’ untuk sholat maghrib.

Pendapat II (Abu Hanifah, Ahmad, Abu Tsaur, Dawud, diriwayatkan pula dari Malik dan Syafi’i) : terdapat waktu muwassa’ yakni antara terbenamnya matahari dan hilangnya syafaq (mega merah).

Sebab perbedaan pendapat :
Pertentangan antar hadits
Hadits I :
Hadits Jibril mengimami Nabi dimana pada hari pertama maupun kedua Jibril melakukan sholat maghrib pada waktu yang sama.

Hadits II :
Hadits Abdullah ibn ‘Umar : Nabi bersabda,”Waktu sholat maghrib adalah selama syafaq belum menghilang”. [yang seperti ini terdapat pula pada hadits Buraidah Al-Aslamiy]

Komentar :
Hadits Buraidah lebih utama karena diucapkan pada masa madaniyah dalam rangka menjawab sahabat yang sedang bertanya. Sedangkan hadits Jibril mengimami Nabi diucapkan pada masa makkiyah.

Pendapat Sayyid Sabiq :

Waktu muwassa’ untuk sholat maghrib adalah sampai hilangnya syafaq merah, hanya saja yang lebih utama adalah ta’jiil (menyegerakan) di awal waktu sebagaimana dinyatakan dalam hadits Jibril mengimami Nabi bahwa sholat maghrib pada dua hari yang berbeda dilaksanakan pada waktu yang sama yakni ketika matahari telah terbenam.

Awal waktu sholat isya’


Perbedaan pendapat :
Pendapat I (Malik, Syafi’I, Jama’ah) :
saat hilangnya mega merah (al-hamrah).
Pendapat II (Abu Hanifah) :
saat hilangnya mega putih (al-bayadh) yang muncul sesudah mega merah.
Sebab perbedaan pendapat :
Isytirak (kerancuan) tentang makna kata al-syafaq
Pendapat Sayyid Sabiq :
Awal waktu sholat ‘isya adalah hilangnya syafaq merah.

Akhir waktu sholat isya’

Perbedaan pendapat :
Pendapat I (Syafi’I, Abu Hanifah, riwayat paling populer dari Malik) :
sampai akhir sepertiga malam
Pendapat II (riwayat lain dari Malik) :
sampai tengah malam (nishful lail)
Pendapat III (Dawud) :
sampai terbitnya fajar
Sebab perbedaan pendapat :
Perbedaan antar hadits

Hadits pendukung pendapat I :
Hadits Jibril mengimami Nabi dimana pada hari kedua melakukan sholat isya pada sepertiga malam (tsulutsul lail).
Hadits pendukung pendapat II :
Hadits Anas : Nabi saw mengakhirkan sholat isya’ sampai tengah malam.
Hadits Abu Sa’id Al-Khudri dan Abu Hurairah : Nabi saw bersabda,”Kalau tidak akan memberatkan umatku, akan aku akhirkan sholat malam sampai tengah malam.

Hadits pendukung pendapat III :
Hadits Abu Qatadah : Bukanlah ceroboh itu tidur, melainkan menunda-nunda sholat sampai masuk waktu sholat yang lainnya. [Hadits ini turun setelah hadits Jibril mengimami Nabi]
Pendapat Abu Hanifah [bahwa akhir waktu sholat isya’ adalah terbitnya fajar]

Pendapat Sayyid Sabiq :
Akhir waktu ikhtiyar sholat ‘isya adalah tengah malam (nishful lail). Adapun akhir waktu jawaz idhtiraar adalah terbitnya fajar shadiq (awal waktu sholat shubuh).
Waktu yang lebih utama untuk sholat ‘isya adalah ta’khiir (mengakhirkan) pada tengah malam.

Tidur sebelum ‘isya dan bercakap-cakap sesudahnya

Pendapat Sayyid Sabiq :
Tidur sebelum ‘isya adalah makruh karena dikhawatirkan akan kehilangan waktu mustahab untuk sholat ‘isya atau luput dari sholat jama’ah. Tetapi jika ada yang akan membangunkan, maka tidak apa-apa tidur sebelum ‘isya.

Bercakap-cakap sesudah ‘isya adalah makruh karena dikhawatirkan akan membuang-buang waktu dan membuat kita kehilangan kesempatan untuk bangun sholat malam. Tetapi jika percakapan itu adalah percakapan yang baik maka tidak apa-apa.

Waktu-waktu yang dilarang untuk sholat

Apakah boleh sholat pada saat zawal (istiwa’) matahari?

Perbedaan pendapat :
Pendapat I :
tidak boleh sama sekali.
Pendapat II (Hanafiyah) :
tidak boleh sama sekali kecuali sholat jenazah.

Pendapat III (Syafi’i) :
tidak boleh kecuali sholat sunnah dengan sebab khusus dan sholat sunnah pada hari Jum’at.

Pendapat IV (Hanabilah) :
tidak boleh kecuali sholat tahiyyatul masjid pada hari Jum’at.

Pendapat V (Malik) :
boleh secara mutlaq.

Sebab perbedaan pendapat :
Pertentangan dalil

Dalil bagi pendapat I :
Hadits ‘Uqbah ibn ‘Aamir
Dalil bagi pendapat III dan IV :
Hadits Ibnu Syihab dari Tsa’labah ibn Abi Malik
Dalil bagi pendapat V :
Amalan penduduk Madinah
Pendapat Sayyid Sabiq :
Sayyid Sabiq tidak melakukan tarjih tetapi sekedar memaparkan perbedaan pendapat dalam masalah ini.

Apakah boleh sholat sesudah sholat ashar?

Perbedaan pendapat :
Pendapat I :
tidak boleh sama sekali
Pendapat II (jumhur) :
tidak boleh kecuali untuk mengqadha’
Pendapat III :
boleh secara mutlaq
Pendapat IV (Syafi’i) :
boleh sholat (termasuk sholat sunnah) dengan sebab khusus
Pendapat V (Abu Hanifah, Malik) :
makruh

Pendapat VI (Hanabilah) :
haram melakukan sholat tathawwu’ meskipun dengan sebab khusus, kecuali sholat dua raka’at thawaf.

Sebab perbedaan pendapat :
pertentangan antar hadits
Pendapat I : berdasarkan hadits Abu Hurairah
Pendapat II : berdasarkan hadits Ummu Salamah
Pendapat III : berdasarkan hadits ‘Aisyah
Pendapat Sayyid Sabiq :
Sayyid Sabiq tidak melakukan tarjih tetapi sekedar memaparkan perbedaan pendapat dimana jumhur berpendapat bahwa boleh mengqadha sholat yang terlewat atau luput pada waktu sesudah sholat ashar dan sholat shubuh.

Apakah boleh sholat tathawwu’ ketika iqamat dikumandangkan?

(Maksudnya: beranjak melakukan sholat tathawwu’ sementara iqamat sudah dikumandangkan)

Pendapat Sayyid Sabiq :
Hukumnya makruh berdasarkan hadits-hadits yang kuat.

Sholat apa yang tidak boleh dilakukan pada waktu-waktu yang terlarang untuk sholat?


Perbedaan pendapat :

Pendapat I (Hanafiyah) :
sholat apa saja, baik itu fardhu, sunnah, ataupun nafilah.
Pendapat II :
sholat yang tidak wajib, baik sholat sunnah ataupun nafilah.
Pendapat III :
sholat nafilah saja.
Sebab perbedaan pendapat :
pertentangan dalam hal ‘aamm dan khaashsh.
Pendapat Sayyid Sabiq :
Masalah ini tidak muncul sebagai sub bab tersendiri dalam sistematika Sayyid Sabiq (Fiqhus Sunnah).
Komentar

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Adat dalam Islam

Dalam ushul fiqih terdapat sebuah kaidah asasi al-‘adat muhakkamat (=adat dapat dihukumkan) atau al-‘adat syari’at muhakkamat (=adat merupakan syariat yang dihukumkan). Kaidah tersebut kurang lebih bermakana bahwa adat (tradisi) merupakan variabel sosial yang mempunyai otoritas hukum (hukum Islam). Adat bisa mempengaruhi materi hukum , secara proporsional. Hukum Islam tidak memposisikan adat sebagai faktor eksternal non-implikatif, namun sebaliknya, memberikan ruang akomodasi bagi adat. Kenyataan sedemikian inilah antara lain yang menyebabkan hukum Islam bersifat fleksibel.

Dalam bahasa Arab, al-‘adat sering pula dipadankan dengan al-‘urf. Dari kata terakhir itulah, kata al-ma’ruf – yang sering disebut dalam Al-Qur’an – diderivasikan. Oleh karena itu, makna asli al-ma’ruf ialah segala sesuatu yang sesuai dengan adat (kepantasan). Kepantasan ini merupakan hasil penilaian hati nurani. Mengenai hati nurani, Rasulullah pernah memberikan tuntunan agar manusia bertanya kepada hati nuraninya ketika dihadapkan pada suatu persoalan (mengenai baik dan tidak baik). Beliau juga pernah menyatakan bahwa keburukan atau dosa ialah sesuatu yang membuat hati nurani menjadi gundah (tidak sreg).

Dalam perkembangannya, al-‘urf kemudian secara general digunakan dengan makna tradisi, yang tentu saja meliputi tradisi baik (al-urf al-shahih) dan tradisi buruk (al-‘urf al-fasid). Dalam konteks ini, tentu saja al-ma’ruf bermakna segala sesuatu yang sesuai dengan tradisi yang baik. Arti “baik” disini adalah sesuai dengan tuntunan wahyu.

Amr bi al-ma’ruf berarti memerintahkan sesama manusia untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang pantas menurut suatu masyarakat, yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai wahyu.

Nilai-nilai yang pantas menurut suatu masyarakat merupakan manifestasi hati-hati nurani masyarakat tersebut dalam konteks kondisi lingkungan yang melingkupi masyarakat tersebut. Kondisi lingkungan yang berbeda pada masyarakat yang berbeda akan menyebabkan variasi pada nilai-nilai kepantasan yang dianut. Karena itu, tradisi pada suatu masyarakat bisa berbeda dengan tradisi pada masyarakat yang lain.

Sebagai sebuah contoh, apabila Al-Qur’an menyatakan “wa ‘asyiru hunna bi al-ma’ruf (=Dan pergaulilah isteri-isteri kalian secara ma’ruf)” maka yang dimaksud adalah tuntutan kepada para suami untuk memperlakukan isteri-isteri mereka sesuai dengan nilai-nilai kepantasan yang berlaku dalam masyarakat, yang mana nilai-nilai itu bisa jadi berbeda dengan yang ada pada masyarakat lainnya. Namun perlu diingat bahwa nilai-nilai kepantasan itu tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai wahyu (Al-Qur’an dan Sunnah Nabi).

Karakter hukum Islam yang akomodatif terhadap adat (tradisi) amat bersesuaian dengan fungsi Islam sebagai agama universal (untuk seluruh dunia). “Wajah” Islam pada berbagai masyarakat dunia tidaklah harus sama (monolitik). Namun, keberagaman tersebut tetaplah dilingkupi oleh wihdat al-manhaj (kesatuan manhaj) yaitu al-manhaj al-Nabawiy al-Muhammadiy.

Berangkat dari kesadaran “Bhinneka Tunggal Ika” inilah, Islam tidaklah harus disamakan dengan Arab. Islam merupakan sebuah manhaj yang bersifat universal, yang tidak bisa dibatasi oleh ke-Arab-an semata (Namun perlu diingat bahwa Arab [terutama bahasa Arab] dalam beberapa hal memang mempunyai posisi strategis dalam Islam).

Namun, harus disadari pula bahwa Islam diturunkan kepada Muhammad saw, seorang Arab, ditengah-tengah bangsa Arab. Implikasinya, Nabi tidak akan bisa lepas dari konteks/lingkungan Arab. Hal ini nantinya juga akan berpengaruh pada pewahyuan, baik Al-Qur’an maupun Al-Sunnah (sebagaimana dikatakan oleh para ushuliyyun dan mutakallimun bahwa perkataan [yang bukan Al-Qur’an] dan perbuatan Nabi merupakan “wahyu” karena Nabi senantiasa mendapat penjagaan dan ilham dari Allah).

Sebagai contoh, Al-Qur’an mau tidak mau mesti diturunkan dalam bahasa Arab agar bisa dipahami oleh komunitas dimana Al-Qur’an diturunkan. Demikian juga perkataan Nabi, mesti dinyatakan dalam bahasa Arab. Demikian pula penyebutan nama-nama benda dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, tidaklah akan keluar dari perbendaharaan yang bisa dipahami oleh masyarakat Arab saat itu. Kalaupun ada istilah yang tidak dimengerti, maka para sahabat mesti langsung menanyakannya kepada Nabi. Oleh karena itu, pemahaman terhadap bentuk-bentuk tasyri’ yang melibatkan nama-nama benda, haruslah dilakukan secara esensial, lepas dari kungkungan bahasa, tempat, dan zaman. Sebuah contoh, tatkala Nabi memberitakan bahwa habbat al-sauda’ (jintan hitam) merupakan suatu obat yang mujarab bagi penyakit tertentu, maka itu tidak berarti bahwa tidak ada obat lain yang juga bisa menyembuhkan penyakit tersebut. Adalah sangat mungkin akan ada berpuluh-puluh obat yang bisa berfungsi seperti habbat al-sauda’. Esensi dari berita Nabi tentang habbat al-sauda’ adalah zat yang dikandung oleh habbat al-sauda’, yang bisa menyembuhkan penyakit tertentu, dan zat tersebut bisa juga terdapat pada benda lain. Atau barangkali esensinya lebih luas dari itu, yakni perintah Nabi agar umatnya giat melakukan riset di bidang farmasi untuk menemukan berbagai benda di alam ini, yang berkhasiat untuk mengobati penyakit. Namun pola pemahaman esensial ini tidak boleh sampai kepada interpretasi bahwa, misalnya, habbat al-sauda’ tidak lagi efektif untuk obat, karena Nabi sudah jelas-jelas mengatakan efektivitasnya. Jadi, interpretasi boleh meluas (berangkat dari teks) namun tidak boleh membatalkan teks itu sendiri (karena justeru teks itulah titik tolak interpretasi).

Demikian pula tradisi (sunnah) Nabi secara umum, haruslah dipahami secara esensial. Hal ini tidak lain karena Islam merupakan agama universal dan berlaku selamanya. Dengan pemahaman esensial, syariat akan dapat diterapkan dalam setiap aspek kehidupan, sampai ke relung-relungnya yang terkecil sekalipun. Pemahaman esensial juga akan menjadi “mimpi buruk (nightmare)” bagi orang-orang yang hendak melakukan hilat (intrik, manipulasi) terhadap syariat, dengan bertameng pada teks.

Adaptasi syariat terhadap adat juga bisa diamati pada materi wahyu. Imam Al-Syathibi dalam Al-Muwafaqat menerangkan bahwa akibat ke-ummi-an bangsa Arab maka wahyu (yang berarti juga syariat) pun bersifat ummi. Maksudnya, wahyu turun dengan tingkat kompleksitas yang sesuai dengan tingkat berpikir bangsa Arab saat itu. Wahyu tidak dituntut untuk dipahami secara njelimet melebihi kemampuan berpikir bangsa Arab saat itu. Meskipun begitu, justeru generasi saat itulah yang merupakan generasi terbaik dalam pemahamannya terhadap wahyu.

Bagaimana Islam Menyikapi Adat?

Sebuah diktum yang amat terkenal menerangkan tentang salah satu prinsip Islam: Muhafazhat ‘ala al-qadim al-shalih wa akhdz ‘ala al-jadid al-ashlah (=Memelihara hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik). Artinya, kedatangan Islam tidaklah untuk memberangus adat yang baik yang berlaku pada suatu masyarakat. Islam memandang adat yang baik sebagai suatu bentuk kreasi manusia dalam konteks lingkungannya (fisik dan nonfisik). Karena itu, Islam bersifat acceptable pada berbagai bentuk masyarakat yang ada di dunia ini kapanpun juga. Atas dasar ini, Islam memang pantas menjadi agama universal dan berlaku selamanya.

Dalam perkembangan adat (akibat interaksi antar adat yang berbeda), Islam mengajarkan untuk menjaga adat lama yang baik, sebagai suatu orisinalitas yang akan mewarnai kehidupan. Apabila terdapat suatu adat baru (yang baik) maka hendaknya sebisa mungkin diterima untuk didampingkan dengan adat yang lama (yang juga baik), sehingga akan memperkaya khazanah budaya masyarakat tersebut. Namun apabila adat baru (yang baik) itu mesti menggantikan sesuatu yang lama, maka yang baru tersebut baru boleh diterima apabila telah diyakini lebih baik daripada yang lama. Dengan sikap sedemikian, manusia akan selalu menjadi lebih baik dari waktu ke waktu.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Membahas Dalil-dalil Hukum

Dalil-dalil hukum (adillat al-ahkam) sering pula disebut dengan sumber-sumber hukum (mashadir al-ahkam). Sepanjang yang dimaksud adalah Al-Qur’an dan Al-Sunnah maka kedua istilah tersebut absah. Namun jika yang dimaksud adalah hal-hal yang kemudian dipahami oleh ushuliyyun sebagai dalil-dalil hukum, yang jenisnya amat banyak, maka istilah adillat al-ahkam merupakan istilah yang lebih tepat. Alasannya, banyak hal memang bisa berfungsi sebagai dalil (penunjuk) hukum, tidak terbatas pada Al-Qur’an dan Al-Sunnah saja – meskipun asalnya juga dari keduanya. Lain halnya dengan istilah mashadir al-ahkam. Istilah mashadir (sumber) hanya tepat jika dipakai untuk Al-Qur’an dan Al-Sunnah, karena hanya kedua hal itulah yang menjadi sumber dalam syariat.

Para ulama ushul berbeda pendapat dalam masalah dalil-dalil hukum. Mereka berselisih tentang apa sajakah yang absah untuk dijadikan sebagai dalil hukum. Kalau diamati dengan teliti, akan tampak bahwa sebagian besar perbedaan pendapat ini disebabkan oleh perbedaan definisi terminologis, dan bukan disebabkan oleh perbedaan esensi. Namun perbedaan definisi terminologis bukanlah satu-satunya penyebab perbedaan pendapat ini, karena ada hal-hal lainnya yang juga turut berperan bagi timbulnya perbedaan pendapat ini.

Dalil-dalil hukum yang dimaksud antara lain Al-Qur’an, Al-Sunnah, ijma’, qiyas, madzhab al-shahabiy, istihsan, maslahat al-mursalah, istish-hab, ‘urf, dan syar’u man qablana. Metode berdalil dengan berbagai dalil hukum selain Al-Qur’an dan Al-Sunnah biasanya disebut sebagai istidlal. Ijtihad, dalam pengertian sebagai usaha optimal untuk memutuskan perkara yang tidak di-nash-kan dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah, tidak lain adalah istidlal itu sendiri.

Diantara dalil-dalil hukum diatas, Al-Qur’an dan Al-Sunnah sajalah yang tidak diperselisihkan otoritasnya. Dalil-dalil hukum yang lain tidak ada yang lepas dari perbedaan pendapat para ulama.

Keberadaan ijma’(konsensus) diperselisihkan oleh para ulama. Mungkinkah segenap mujtahid pada satu masa bersepakat atas satu hal tanpa ada satupun yang menyalahinya? Mereka yang menjawab “mungkin” kemudian mengemukakan klasifikasi ijma’ atas ijma’ sharih dan ijma’ sukuti. Betapapun serunya perbedaan pendapat dalam masalah ini, paling tidak para ulama bersepakat atas otoritas ijma’ para sahabat Nabi.

Permasalahan lain yang juga muncul dalam masalah ijma’ ialah apakah ijma’ yang lama akan bisa digantikan oleh suatu ijma’ yang baru ? Golongan yang amat liberal mengatakan bahwa ijma’ tidak pernah mengenal kata putus. Setiap generasi berhak melakukan suatu kesepakatan, yang bisa menjelma menjadi ijma’, atas jaminan Nabi bahwa umat Islam tidak akan mungkin bersepakat dalam suatu kesesatan. Dalam hal ini, ijma’ diposisikan sebagai produk ijtihad dan bukan sebaliknya, menghalangi gerak ijtihad. Bagaimanapun juga, ide yang amat liberal inipun hanya bisa diterima apabila ijma’ didefinisikan tidak terlampau sempit (hanya terbatas di kalangan sahabat Nabi saja) dan juga tidak terlalu luas (meliputi segenap ulama mujtahidin). Apabila ijma’ didefinisikan terlalu luas, maka sebagaimana diketahui, kesepakatan seluruh ulama mujtahidin tanpa kecuali merupakan suatu hal yang amat sulit untuk diwujudkan.

Qiyas (analogi) termasuk dalil hukum yang disepakati oleh hampir sebagian besar ulama ushul. Hanya golongan zhahiriyah sajalah yang tidak mengakui otoritas qiyas. Imam Syafi’i merupakan ulama yang paling getol dalam memperjuangkan otoritas qiyas. Beliau bahkan berpendapat bahwa ijtihad itu tidak lain adalah qiyas. Sebetulnya pembatasan ini beliau lakukan karena beliau mendefinisikan qiyas dalam pengertian yang amat luas, yang tidak lain adalah pengertian ijtihad itu sendiri.

Bentuk qiyas yang paling populer ialah qiyas ‘illatiy, yaitu qiyas yang dilakukan atas dasar kesamaan ‘illat. Disamping itu, terdapat pula qiyas aulawiy dan qiyas maslahatiy. Qiyas aulawiy didasarkan pada keserupaan dalam intensitas yang lebih besar. Sementara qiyas maslahatiy ialah qiyas yang dilakukan atas dasar kesamaan maslahat. Qiyas ini merupakan bentuk qiyas yang terjauh karena persamaan yang muncul adalah persamaan pada kaidah umum (al-qa’idat al-kulliyyat).

Khusus untuk qiyas ‘illatiy, terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Apabila persyaratan-persyaratan tersebut dilanggar maka qiyas yang dilakukan akan menjadi batal (tidak absah). ‘Illat, sebagai esensi persoalan, dibedakan atas ‘illat manshushat dan ‘illat muktasabat (mustanbathat). ‘Illat harus dibedakan dengan sabab dan hikmah. Ketiganya mempunyai fungsi dan kedudukannya masing-masing.

Selain dalil-dalil hukum yang telah tersebut diatas, terdapat pula berbagai dalil hukum yang lain, yang masih diperdebatkan secara sengit diantara para ulama ushul. Kita mulai dari istihsan (preferensi). Istihsan sangat dominan dipakai oleh Abu Hanifah namun ditentang dengan sangat keras oleh Imam Syafi’i. Sikap Imam Syafi’i ini pada dasarnya muncul karena beliau mendefinisikan istihsan dalam pengertian yang terlalu luas, sehingga terkesan bahwa istihsan itu tidak lain adalah semata-mata rasio atau hawa nafsu. Istihsan bisa dibedakan atas dua macam. Pertama, istihsan yang merupakan peralihan dari qiyas jaliy menuju qiyas khafiy karena adanya maslahah. Kedua, istihsan yang merupakan peralihan meninggalkan qiyas karena adanya maslahah.

Dalil hukum yang serupa dengan istihsan, dari sisi bahwa keduanya melibatkan rasio secara dominan, adalah maslahah mursalah. Disebut demikian, karena maslahah yang dijadikan landasan merupakan maslahah yang tidak disebutkan dalam nash secara spesifik. Maslahah yang dimaksud disini tidak melanggar nash dan tidak pula secara spesifik dinyatakan oleh nash. Sebaliknya, maslahah ini hanya ditunjukkan oleh makna umum yang dikandung oleh nash. Konsep al-maqasid al-syar’iyyat merupakan konsep yang amat berkaitan dengan maslahah mursalah. Imam Syathibiy termasuk ahli ushul yang cukup getol menganjurkan pemakaian maslahah mursalah sebagai dalil hukum. Sebetulnya, maslahah mursalah merupakan suatu keniscayaan, karena tanpa itu kehidupan manusia akan menjadi statis dan jumud.

Madzhab al-shahabiy berarti praktek dan pendapat para sahabat Nabi. Imam Ahmad amat menghargai atsar para sahabat. Apabila para sahabat telah bersepakat dalam suatu hal, maka beliau akan menetapkannya sebagai hukum. Apabila para sahabat berbeda pendapat, maka beliau akan mengambil salah satunya dan tidak akan keluar dari pendapat mereka. Landasan berpikirnya adalah karena sahabat Nabi merupakan generasi yang paling mengerti tentang syariat dan maksud-maksudnya. Sementara itu, Imam Malik amat menjunjung tinggi otoritas amalan ahli Madinah, yakni praktek yang hidup di kalangan ahli (penduduk) Madinah. Hal ini tidak lain didasarkan pada anggapan bahwa Madinah adalah kota Nabi, yang telah mewarisi tradisi Nabi secara lengkap dan orisinil.

Istish-hab (kontinuitas) merupakan dalil hukum yang didasarkan atas prinsip bahwa dalam Islam, segala hal pasti ada hukumnya. Hal ini tidak lain karena syariat Islam bersifat sempurna dan final, semenjak wahyu telah turun secara tuntas. Konsep bara-at al-dzimmah dan al-ibahat al-ashliyyat dalam aspek muamalah, al-tahrim wa al-tauqif al-ashliyyat dalam aspek ta’abbud, merupakan beberapa bentuk istish-hab.Di samping itu, istish-hab juga dipakai dalam pengertiannya yang mendasar pada segenap relung-relung syariat.

Syar’u man qablana (syariat sebelum kita, syariat Nabi-nabi terdahulu) juga merupakan dalil hukum yang diperselisihkan. Bagi yang mengakui otoritas dalil hukum ini, syariat umat terdahulu masih absah berlaku hingga kini sepanjang tidak ada nash yang menghapuskan atau mengubahnya. Dalam hal ini, otoritasnya tidak memerlukan adanya penetapan ulang dalam syari’at sekarang (syari’at Muhammad). Sementara bagi yang menentang otoritas syar’u man qablana, syariat Muhammad telah menghapus seluruh syariat umat terdahulu, kecuali kalau ditetapkan lagi dengan nash.

Al-‘urf atau al-‘adat, yang berarti kebiasaan atau tradisi yang hidup dalam masyarakat, bisa dibedakan atas dua : al-‘urf al-shahih (kebiasaan yang selaras dengan syariat) dan al-‘urf al-fasid (kebiasaan yang bertentangan dengan syariat). Al-‘urf, dalam pengertian al-‘urf al-shahih, oleh sebagian besar ulama dianggap absah sebagai dalil hukum. Oleh karena itu, terdapat kaidah fiqh asasi yang berbunyi al-‘adat muhakkamat.

Mengenai tradisi bahasa (‘urf lughawiy) yang fasid (khathi’), Imam Hasan Al-Banna mengemukakan dalam Ushul ‘Isyrun bahwa ‘urf yang demikian itu tidak bisa mengubah hakikat teks-teks syar’i. Ibrah hendaknya diambil dari esensi dan bukan dari teks-teks yang fasid tersebut.

Kalau kita amati, betapa banyak dalil-dalil hukum yang masih menjadi bahan perdebatan diantara para ulama. Oleh karena itu, studi dan penelitian yang intensif terhadap dalil-dalil hukum, dan ushul fiqh pada umumnya, merupakan tugas berat yang harus digarap. Ushul fiqh hanyalah suatu bentuk sistemasisasi prinsip-prinsip syariat, yang berarti merupakan produk pemikiran manusia, sehingga tidak menutup kemungkinan untuk direkonstruksi.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Perilaku Akhlaqi pada Diri Seorang Mujtahid

Para ulama menegaskan bahwa seorang mufti dilarang berfatwa apabila sedang dalam keadaan marah, gelisah yang amat dalam, lapar yang sangat, dan yang semacamnya. Sebaliknya, seseorang dianjurkan untuk tidak meminta fatwa kepada orang yang suka bergurau, karena dikhawatirkan gurauannya akan mempengaruhi fatwanya.

Pernyataan diatas secara esensial berarti bahwa seorang mufti haruslah berada dalam kondisi mental emosional yang “prima” pada saat mengeluarkan fatwanya.

Kesempurnaan mental emosional bagi seorang mufti merupakan prasyarat yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kondisi mental emosional yang buruk pada diri seorang mufti nantinya akan turut mempengaruhi fatwanya.

Kondisi mental emosional yang baik merupakan iklim yang kondusif sekaligus mitra yang baik bagi rasionalitas hukum (legal rationality) yang dimiliki oleh seorang mufti. Sebaliknya, kondisi mental emosional yang buruk akan menjadi perusak bagi rasionalitas hukum seorang mufti.

Salah satu sifat mental positif yang wajib dimiliki oleh seorang mufti adalah sifat cinta (hubb, rahmah) kepada sesama manusia dan makhluk Allah. Minimal, cintanya itu harus sama dengan cintanya kepada dirinya sendiri. Akan lebih baik lagi, kalau dia bisa bersikap itsar (melebihi dari rasa cinta kepada dirinya sendiri).

Seorang mujtahid harus selalu memandang sesama manusia dan alam dengan penuh kasih sayang dan rasa-rasa positif-optimis. Sifat mental yang demikian ini akan menjadi iklim yang bagus bagi obyektivitas rasionalitas hukum seorang mujtahid.

Agaknya, Rasulullah benar-benar merupakan teladan yang sangat baik dalam masalah ini. Beliau senantiasa merasa berat untuk memikulkan beban yang berat dipundak umatnya. Beliau merupakan pribadi yang sangat empatik terhadap umatnya. Beliau amat bahagia melihat kebahagiaan umatnya, sebaliknya, merasa sedih melihat penderitaan umatnya.

Disebutkan dalam sebuah hadits shahih bahwa dalam mi’raj, Rasulullah telah mengajukan dispensasi frekuensi shalat wajib – yang akhirnya ditetapkan hanya menjadi lima kali sehari semalam .

Diriwayatkan pula bahwa Rasulullah tidak senang melihat tiga orang sahabatnya yang berniat untuk berlebihan dalam beragama, sebaliknya, dengan penuh kasih-sayang menganjurkan kepada ketiganya untuk bersikap wajar dalam beragama.

Penganiayaan orang-orang Thaif kepada Nabi, bahkan, tidaklah membuat Nabi marah dan mengiyakan adzab Allah kepada mereka. Sebaliknya, Nabi malah mendoakan turunnya petunjuk dan kebaikan atas mereka karena Nabi sadar bahwa mereka adalah orang-orang yang belum mengerti.

Kejadian yang serupa dengan ini adalah tindakan Nabi atas seorang Badui yang buang air kecil di masjid Nabi.

Beberapa contoh tindakan Nabi diatas – dari banyak tindakan serupa yang tak terhitung jumlahnya – menunjukkan betapa besarnya kasih sayang dan empati beliau terhadap umatnya.

Kendatipun begitu lapangnya sikap Nabi terhadap para sahabatnya – dan umatnya secara umum – namun Nabi dari sisi pribadi merupakan seorang yang amat zuhud. Hal ini antara lain tergambar dalam sebuah hadits dimana Aisyah ra merasa heran atas usaha beliau yang tak kenal lelah dalam bertaqarrub kepada Allah. Ketika Aisyah menanyakan hal itu maka Nabi menjawab ,”Tidakkah saya ingin menjadi hamba yang pandai bersyukur?”

Begitulah Rasulullah, secara pribadi beliau adalah manusia yang paling zuhud namun pada saat yang sama merupakan manusia yang paling lapang hatinya dalam berdakwah menyeru manusia ke jalan Allah.

Landasan syar’i atas sikap yang demikian itu antara lain :

1.Tuntunan Nabi bahwa orang yang bertindak sebagai imam shalat berjamaah hendaknya mempercepat shalatnya. Akan tetapi dalam shalat sendirian, seseorang diberi kebebasan untuk shalat selama mungkin sesuai kehendaknya. Esensi dari tuntunan ini adalah bersikap lapang terhadap banyak orang dan bersikap ketat - namun tidak boleh berlebihan – dalam urusan pribadi.

2.Allah Ta’ala berfirman:

“Maka berkat kasih sayang dari Allah engkau telah bersikap lunak terhadap mereka. Seandainya engkau kasar dan berkeras hati tentulah mereka akan menyingkir menjauhimu. Karena itu maafkanlah mereka, mintakanlah mereka ampunan, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu ... “ (Alu Imran : 159)

Berdakwalah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah (kebijaksanaan) dan nasihat yang baik ....” (Al-Nahl : 125)

“Dan mereka saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran”. (Al-‘Ashr : 3)

“Dan mereka saling menasihati dalam kebenaran dan mereka saling menasihati dalam kasih sayang. Mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (Al-Balad : 17)

“Pergilah engkau berdua (Musa dan Harun) kepada Fir’aun karena sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berkatalah kepadanya dengan perkataan yang lembut agar dia menjadi ingat atau takut (kepada Tuhannya).” (Thaha : 43 – 44)

“... Dan (Allah) tidaklah menjadikan kesempitan atas kamu dalam agama (Islam)”. (Al-Hajj : 78)

“... (Allah) menghendaki kemudahan bagi kalian dan Dia tidak menghendaki kesulitan bagi kalian”. (Al-Baqarah : 185)

“Katakanlah (wahai Muhammad) : Siapakah gerangan yang telah mengharamkan perhiasan Allah dan rizki yang baik-baik yang telah Dia anugerahkan untuk hamba-hamba-Nya ? Katakanlah : Semua itu adalah untuk orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan secara khusus pada hari kiamat. Demikianlah Aku menjelaskan ayat-ayat(-Ku) kepada kaum yang berilmu. Katakanlah : Rabbku hanyalah mengharamkan segala yang buruk baik yang nampak atau yang tersembunyi, segala dosa, dan perbuatan yang melampaui batas tanpa (alasan) yang benar. Dan janganlah menyekutukan Allah dengan sesuatu yang mana Dia tidak menurunkan keterangannya. Dan janganlah mengatakan atas nama Allah sesuatu yang tidak kalian ketahui.” (Al-A’raf : 32 – 33)

“Wahai Nabi! Mengapa engkau mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah bagimu, demi mendapatkan perkenan isteri-isterimu?” (Al-Tahrim : 1)

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengharamkan sesuatu yang baik, yang telah dihalalkan oleh Allah bagi kalian. Dan janganlah melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. (Al-Maidah : 87)

Nabi saw bersabda:

“Bermudah-mudahlah dan jangan mempersulit. Sampaikanlah kabar gembira dan jangan membuat orang lari (dari Islam)”.

“Sesungguhnya aku diutus dengan membawa (din) yang lurus (al-hanifiyyah) dan lapang (al-samhah)”.

Dilain sisi, terdapat banyak sekali hadits-hadits Nabi yang mengajarkan untuk bersikap wara’ dan zuhud dalam kehidupan pribadi. Bahkan, Nabi sendiri – secara non eksklusif - telah mencontohkan kehidupan pribadi yang paling wara’ dan zuhud.

Seorang mujtahid harus terbebas dari akhlaq tercela yang berlawanan dengan kasih-sayang. Ia tidak boleh dijangkiti oleh sifat iri-dengki dan dendam terhadap sesama. Sifat-sifat yang demikian ini akan kontraproduktif – destruktif terhadap rasionalitas hukum. Akibatnya, keputusan hukum yang diperoleh akan cacat.

Yang patut dicatat dalam masalah kasih-sayang ini adalah ketidakbolehan berlebih-lebihan dalam memanifestasikan kasih-sayang, yang pada dasarnya justru bertentangan dengan hakikat kasih-sayang itu sendiri. Hakikat kasih-sayang disini adalah mewujudkan kebahagiaan hakiki, dunia dan akhirat, bagi sesama. Apabila kasih-sayang itu dimanifestasikan secara berlebih-lebihan sehingga mengancam kebahagiaan hakiki orang lain maka pada dasarnya hal itu adalah destruksi dan bukan kasih-sayang. Satu tamsil yang sering dipakai untuk menggambarkan hal ini adalah kasih-sayang seorang ibu pada anaknya yang masih kecil. Terkadang si ibu harus mencegah keinginan-keinginan si anak, bahkan sampai anaknya menangis, karena keinginan tersebut bisa membahayakan si anak.

Dari sisi pribadi, perilaku wara’ dan zuhud seorang mujtahid menunjukkan ketulusan dan kesungguhannya dalam mengabdi kepada Allah. Dia rela meninggalkan permainan-permainan dunia, yang sebetulnya diperbolehkan, demi melakukan mujahadah menggapai kasih-sayang dan perkenan-Nya. Sebuah ungkapan yang amat terkenal, yang menggambarkan perilaku ini, mengatakan “Seseorang tidak akan mencapai derajat ketaqwaan tertinggi sebelum dia menganggap apa-apa atas sesuatu yang dianggap tidak apa-apa bagi kebanyakan orang”. Namun, perlu dicatat bahwa perilaku ini bukanlah melarang sesuatu yang diperbolehkan oleh Allah. Sama sekali tidak. Hal ini dibuktikan oleh bahwasanya dia tidak pernah melarang orang lain dalam melakukan perbuatan tersebut, karena memang diperbolehkan. Dia hanya memilih (ikhtiyar) antara mengerjakan dan meninggalkan, tanpa keyakinan melarangnya sama sekali. Yang terlarang adalah apabila dia meninggalkannya dengan keyakinan atas ketidakbolehannya, padahal diperbolehkan.

Perilaku akhlaqi seperti yang dijelaskan diatas merupakan kecenderungan yang terbaik, dibandingkan dengan kecenderungan-kecenderungan lainnya. Sebagian mujtahid ada yang bersikap lapang dalam berfatwa sekaligus bersikap lapang terhadap dirinya sendiri. Sikap yang demikian juga benar, dalam artian dia berusaha memanfaatkan kemurahan Allah berupa nikmat-nikmat dunia bagi dirinya, diiringi rasa syukur yang dalam kepada-Nya, sehingga ketaatannya bisa bertambah. Hal ini adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Al-Syathibi dalam buku beliau Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, bab Hukum Mubah.

Sebagian mujtahid ada pula yang bersikap ketat dalam berfatwa dan dalam kehidupan pribadinya dia bersikap lebih ketat lagi. Kecenderungan yang demikian juga bisa dimaklumi. Besar kemungkinan dia bersikap ketat dalam berfatwa adalah juga karena kasih-sayangnya yang besar kepada sesama, agar mereka tidak terpedaya oleh kehidupan dunia dan hanya mengabdikan hidup untuk agama, yang ujung-ujungnya adalah kebahagiaan hakiki.

Berbagai perbedaan kecenderungan seperti diatas adalah wajar, sesuai dengan sunnatullah dan fitrah manusia itu sendiri. Yang terpenting dari kesemuanya adalah niat yang tulus disertai mujahadah menurut cara-cara yang telah dituntunkan oleh Allah.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Pemahaman Fiqih yang Moderat

Menurut Yusuf al-Qardhawy, kecenderungan pemahaman fiqih dapat dibedakan menjadi tiga:

1.Pemahaman yang ekstem dan cenderung menyulitkan (ghuluw, tasyaddud)

2.Pemahaman yang moderat (i’tidal).

3.Pemahaman yang cenderung memudah-mudahkan dan jahil (tasahhul, tarakhkhush)

Pemahaman yang pertama ini biasanya timbul dari seseorang yang belum begitu memahami secara mendalam syari’ah Islam. Akibatnya , dalam memandang syari’ah, dia bagaikan seekor kuda bendi yang ditutup samping matanya sehingga hanya bisa melihat pada satu sisi saja.

Corak pemahaman yang ketiga biasanya terjadi pada seseorang yang sudah mempelajari seluk-beluk syari’ah, namun didalam hatinya ada penyakit. Hal ini antara lain karena pemahaman aqidahnya belum benar , belum datangnya hidayah Allah, ataupun berbagai sebab yang lain. Tipe orang ini sangat membahayakan ummat sebab dia biasanya pandai berbicara dan mengemukakan argumentasi tetapi dibalik itu terbersit sesuatu yang sangat jahat.

Pemahaman yang paling tepat adalah yang kedua. Moderat disini hendaknya diartikan pada tempatnya dan jangan diartikan sebagaaimana kesalahkaprahan sebagian orang sekarang ini. Dalam corak pemahaman ini, syari’ah ditempatkan dalam posisi yang luwes, tergantung pada masa, situasi, dan kondisi namun tetap tidak akan pernah melampaui pokok-pokok syari’ah itu sendiri.

ANALISIS

Sebetulnya, syari’ah Islam sangatlah indah apabila berhasil dipahami dengan benar. Keindahan itu antara lain terletak pada elastisitasnya dan keadilannya. Elastisitas syari’ah Islam dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang menuntutnya, sehingga akan benar-benar tampak oleh mata betapa tinggi keadilan Islam.

Selama ini, kekakuan dan kejumudan dalam memahami syari’ ah antara lain disebabkan oleh pola pikir yang salah. Beberapa kalangan memahami fiqih hanya dengan cara taqlid semata. Mereka secara membabibuta berpegang dengan kuatnya pada salah satu madzhab tanpa pernah meneliti pada situasi dan kondisi seperti apa para imam madzhab tersebut mengeluarkan pendapat-pendapatnya. Hal ini penting karena para imam tersebut tidaklah terlepas dari situasi dan kondisi tertentu dalam berfatwa.Karenanya, yang harus kita pegang teguh dari para imam tersebut adalah pola (kerangka) pikir mereka dan bukan hasil pemikiran mereka, karena hasil pemikiran dipengaruhi oleh situasi dan kondisi, padahal situasi dan koindisi yang kita alami belum tentu sama dengan yang dialami oleh para imam tersebut.

Hal tersebut dengan jelas terbukti pada diri Imam Syafi’i. Pendapat-pendapatnya ketika berada di Mesir tidaklah sama dengan pendapat-pendapat sebelumnya (ketika di Irak).Pendapat-pendapatnya selama di Irak kini dikenal dengan qaulul qadim sedangkan selama di Mesir dikenal denga qaulul jadid. Dengan demikian pola pikir kita adalah berdasarkan paradigma para imam tersebut (taqlid al-manhaj} dan bukan berdasarkan hasil pikir para imam tersebut (taqlid al-qaul).

Untuk bisa memiliki pemahaman seperti itu maka kita harus mengetahui seperti apa pola pikir mereka. Dalam hal ini, kita harus mengetahui kaidah-kaidah yang mereka pergunakan dalam meng-istimbath hukum. Kaidah-kaidah ini meliputi kaidah ushuliyyah (kaidah lughowiyyah) dan kaidah fiqhiyyah. Topik tentang kaidah-kaidah ini masuk dalam kajian ushul fiqih dan fiqih itu sendiri.

Untuk bisa berijtihad dengan lebih tepat, masih ada lagi satu perangkat ilmu yang dibutuhkan yaitu falsafah at-tasyri’ (filsafat pensyariatan hukum-hukum Islam). Dengan perangkat ini, seorang mujtahid akan dapat meng-istimbath segala macam hukum dengan tepat dan luwes, jauh dari kesempitan, kepicikan, dan kejahilan, sesuai dengan tuntutan jaman, situasi, dan kondisi.

Falsafah at-tasyri’ merupakan kajian fiqih yang tertinggi. Kajian ini akan banyak bersinggungan (overlap) dengan kajian tasawuf. Dalam kajian ini, istilah-istilah fiqih dan ushul fiqih sudah jarang ditemui. Beberapa kalangan mempelajari kajian ini dengan nama yang lain, yaitu hikmah at-tasyri’ ataupun asrar al-ahkam ( rahasia-rahasia hukum Islam).

Karena itu, setelah seseorang mengkaji falsafah at-tasyri’, biasanya dia akan beralih ke kajian tasawuf. Inilah antara lain yang dimaksudkan oleh al-Junaid, seorang sufi besar, dengan perkataannya “Siapapun yang ingin masuk ke dunuia ini (maksudnya tasawuf) harus terlebih dulu memahami syariah dengan baik ”.Sebetulnya, kalau dipikirkan dengan mendalam, sangat benarlah apa yang dikatakan oleh al-Junaid. Tasawuf dipelajari oleh manusia dengan tujuan untuk untuk menggapai tujuan akhir (hakikat) ibadah, namun untuk menggapai tujuan tersebut kita harus melewati jalan yang bisa mengantarkan. Jalan itu tidak lain adalah syariah. Lalu bagaimana seseorang akan mampu menapaki jalan yang berujung pada hakikat kalau dia tidak tahu jalan tersebut.

Dalam menempuh jalan (thariqah) tasawuf, seorang salik (penempuh) sangatlah membutuhkan rambu-rambu agar tidak terjerumus kedalam kesesatan yang membinasakan. Rambu-rambu itu tidak lain adalah syariah. Untuk keperluan inilah, seorang salik harus didampingi oleh seorang mursyid.

SEJARAH IJTIHAD HUKUM-HUKUM ISLAM

Di jaman nabi saw dapat dikatakan tidak ada ijtihad karena segala persoalan dapat langsung ditanyakan pada nabi. Hanya dalam kondisi-kondisi yang tidak memungkinkan untuk bertanya pada nabi dan kondisi yang mengharuskan agar masalah segera diputuskan, para sahabat memberanikan diri untuk berijtihad. Namun setelah itupun mereka akan menanyakan kembali permasalahan tersebut kepada nabi pada kesempatan yang lain.

Suatu contoh, pada saat rasulullah berpesan pada sekelompok sahabat yang akan beliau utus menempuh perjalanan agar tidak menuaikan shalat ashar sebelum mencapai tujuan. Para sahabat berbeda pendapat dalam menafsirkan pesan rasulullah tersebut. Sebagian menafsirkan bahwa rasulullah bermaksud menyuruh agar para sahabat mempercepat perjalanan. Namun sebagian yang lain menafsirkan apa adanya kata-kata rasulullah tersebut. Akhirnya mereka beramal sesuai dengan hasil ijtihad masing-masing.

Ijtihad bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, yang boleh dilakukan oleh siapapun juga tanpa terkecuali. Seseorang yang belum layak berijtihad namun memaksakan diri untuk berijtihad sangat tidak dibenarkan oleh syari’ah, terlebih-lebih jika ijtihadnya menyangkut orang lain. Mengenai hal ini, kiranya kita patut mengambil ibrah dari suatu kejadian di masa rasulullah. Pada saat itu ada seseorang yang sakit parah dan akan melaksanakan shalat, sementara dia dalam keadaan junub. Dia bingung apakah harus mandi atau tidak. Karenanya dia segera bertanya pada para sahabat yang lain. Seorang sahabat memberanikan diri untuk menyuruh si sakit tadi untuk mandi. Apa yang terjadi? Si sakit tersebut langsung tewas gara-gara menyentuh air mandi. Seorang sahabat yang lain segera melaporkan kejadian ini pada rasulullah. Betapa marahnya rasulullah mendengar hal itu. Beliau bersabda, ”Orang itu telah membunuhnya.”!!! Masya Allah, begitu berat tanggung jawab yang harus dipikul oleh seseorang yang berijtihad. Ijtihad bukan suatu main-main belaka. Karena itu ulama Hanafiyyah melarang minta fatwa kepada seseorang yang gemar berkelakar.

Sepeninggal rasulullah, barulah para sahabat dituntut untuk berijtihad karena begitu banyaknya permasalahan baru yang harus dipecahkan. Dalam hal ini, para sahabat akan mengutamakan tradisi nabi. Untuk keperluan ini, bahkan para sahabat rela bersusah-susah untuk mendapatkan informasi bagaimana nabi mengambil hukum dalam berbagai masalah.

Pada masa para tabi’in (generasi sepeningggal.para sahabat), ijtihad terus berlangsung. Mereka tersebar di berbagai negeri (kota) yang berada dibawah kekuasaan dinasti Amawiyah. Guru-guru mereka adalah para sahabat nabi yang menyebar ke berbagai negeri, seperti Ibnu Umar dan Zaid ibn Tsabit di Madinah, Abdullah bin Mas’ud di Kufah, Ibnu Abbas di Makkah, Amr ibn Ash di Mesir, dan sebagainya.

Pada generasi tabi’ut tabi’in, ijtihad pun masih berlangsung sampai pada akhirnya datanglah masa-masa yang suram dalam dunia Islam. Pintu ijtihad telah tertutup. Akibatnya para ulama yang seharusnya mengemban tugas sebagai mujtahid hanya mencukupkan diri dengan bertaqlid kepada para imam-imam sebelumnya. Sebetulnya kejadian menyedihkan ini bukannya tidak mempunyai alasan yang masuk akal. Pada masa itu banyak orang-orang yang belum layak untuk berijtihad dengan lancangnya memberanikan diri untuk berijtihad. Melihat gejala inilah maka para ulama mengeluarkan seruan bahwa pintu ijthad telah tertutup. Fenomena seperti ini, dimana kaum muslimin terlalu jauh dalam meng-counter penyimpamgan yang terjadi, memang sering sekali terjadi dalam sejarah. Dalam hal ini, contoh lainnya adalah munculnya tasawuf yang terlalu jauh dari syari’ah dan terkesan rahbaniyyah (kerahib-rahiban). Tasawuf seperti ini banyak muncul di masa dinasti Amawiyyah yang dinilai menerapkan Islam sebagai sesuatu yang kering dan kehilangan ruhnya, dimana hal ini jauh berbeda dengan Islam yang ditempuh oleh generasi sebelumnya.

Namun alhamdulillah, Allah tidak membiarkan kondisi syari’ah mengalami kejumudan. Allah menghendaki munculnya para mujaddid dan mujtahid di muka bumi ini. Diantara mereka terdapat Syaikhul Islam Taqiyuddin ibn Taimiyyah, yang berusaha menggebrak pintu ijtihad yang telah ditutup itu, meskipun harus menghadapi kecaman dari banyak pihak. Setelah itu bermunculanlah para mujtahid dalam usahanya menyelamatkan syari’ah Allah yang mulia.

SARANA IJTIHAD

Dalam berijtihad, seseorang harus memenuhi kualifikasi tertentu. Kualifikasi ini hanya bisa dicapai dengan usaha yang tidak ringan. Seseorang dituntut untuk tekun mendalami ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu pendukung yang diperlukan, agar bisa mencapai derajat mujtahid. Kualifikasi seorang mujtahid antara lain:

1.Menguasai bahasa Arab dengan baik.

Hal ini mutlak karena seorang mujtahid harus berinteraksi dengan Alqur’an dan Alhadits yang ditulis dalam bahasa Arab. Kedua sumber hukum ini harus dipahami menurut pemahaman bahasa Arab dan tidak mungkin dipahami dengan cara pikir bahasa lain, karena bahasa Arab mempunyai segi-segi linguistik yang tidak dimiliki oleh bahasa lain. Lalu bagaimana kalau ada yang berijtihad dengan bersandarkan pada terjemahan semata?

2. Memahami ushul fiqih yang meliputi kaidah-kaidah lughawiyah dan kaidah-kaidah fiqhiyah. Dalam hal kaidah-kaidah lughawiyah, dibutuhkan penguasaan bahasa Arab yang baik sebagaimana disebutkan sebelumnya.

3. Memahami tafsir ayat-ayat hukum dalam Alqur’an. Jumlah ayat-ayat hukum ini diperselisihkan oleh para ulama. Ada yang berpendapat bahwa jumlahnya kurang dari separuh Alqur’an. Ada pula yang berpendapat bahwa seluruh ayat-ayat Al-Qur’an pada dasarnya merupakan ayat-ayat hukum.

4. Menguasai ilmu-ilmu hadits baik riwayatul hadits maupun dirayatul hadits. Mengenai ini perlu dicamkan bahwa dalam ijtihad, seorang mujtahid akan jauh lebih banyak bersandar pada Alhadits daripada Alqur’an. Hal ini bisa dimaklumi karena Alqur’an hanya memuat hal-hal pokok saja, sementara Alhadits merupakan penafsir Alqur’an.

5. Mengetahui ijma’ para fuqaha’ (dengan asumsi mengakui adanya ijma’ mereka) atau sekurang-kurangnya ijma’ para sahabat (jika berpendirian bahwa ijma’ hanya berlaku untuk para sahabat nabi).

6. Menguasai semua cabang syari’ah. Hal ini penting karena cabang-cabang syari’ah seringkali berkaitan satu sama lain.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Klasifikasi Kata Menurut Ilmu Nahwu dan Ilmu Sharaf

Dalam tata bahasa Arab, sebagaimana juga dalam tata bahasa yang lain, kata sebagai satuan terkecil bahasa bisa diklasifikasikan menjadi berbagai macam kelompok. Ini tentu saja kemudian memudahkan kita dalam mempelajari tata bahasa Arab. Kata, dalam bahasa Arab, pertama-tama dibagi menjadi: isim, fi'il dan huruf. Selanjutnya, kata ada yang mabni dan ada yang mu'rab, ada yang mudzakkar dan ada yang muannats, dan sebagainya. Berbagai jenis kelompok kata ini seluruhnya bisa dilihat dalam uraian berikut ini.

I. KLASIFIKASI ISIM MENURUT ILMU NAHWU

1. ISIM MU’RAB

* Isim Marfu’ : 1) Mubtada’, 2) Khabar, 3) Isim Kaana, 4) Khabar Inna, 5) Fa’il, 6) Na-ibul Fa’il, 7) Yang mengikuti isim marfu’ (Na’at, Taukid, Badal, Athaf)
* Isim Manshub : 1) Khabar kaana, 2)Isim Inna, 3) Maf’ul Bihi, 4) Maf’ul Muthlaq, 5) Maf’ul Liajlihi, 6) Maf’ul Ma’ahu, 7) Maf’ul Fihi (Zharaf), 8) Haal, 9) Mustatsna, 10) Munada, 11) Tamyiz, 12) Yang mengikuti isim manshub (Na’at, Taukid, Badal, Athaf)
* Isim Majrur : 1) Yang majrur karena huruf jar, 2) Yang Majrur karena idhafah, 3) Yang mengikuti isim majrur (Na’at, Taukid, Badal, Athaf)

2. ISIM MABNI

* Dhamir (Dhamir Munfashil, Dhamir Muttashil, Dhamir Mustatir)
* Isim Isyarah
* Isim Maushul
* Isim Syarth
* Isim Istifham
* Susunan bilangan dari 11 sampai 19 (kecuali 12)
* Sebagian zharaf yang mabni, dan yang tersusun dari zharaf
* Isim fi’il

II. KLASIFIKASI FI’IL MENURUT ILMU NAHWU

1. FI'IL MABNI

* Fi’il madhi
* Fi’il amr
* Fi’il mudhari’ yang disambung dengan nun niswah atau nun taukid

2. FI'IL MU'RAB : fi’il mudhari’

* Tanda-tanda rafa’-nya fi’il mudhari’ : dhommah – tetapnya nun
* Tanda-tanda nashab-nya fi’il mudhari’ : fathah – hilangnya nun
* Tanda-tanda jazm-nya fi’il mudhari’ : sukun – hilangnya nun – hilangnya huruf ‘illat

III. KLASIFIKASI HURUF MENURUT ILMU NAHWU

1. Huruf-huruf yang memasuki isim

* Huruf-huruf jar
* Inna dan saudara-saudaranya
* Huruf-huruf nida’ (panggilan)
* Huruf pengecualian illaa – wawu ma’iyyah – laam ibtida’

2. Huruf-huruf yang memasuki fi’il

* Huruf-huruf nashab
* Huruf-huruf jazm
* Maa dan laa – Qad – Siin dan Saufa

3. Huruf-huruf yang memasuki isim maupun fi’il

* Huruf-huruf athaf
* Dua huruf istifham : hamzah dan hal
* Wawu haal dan laam qasam

IV. KLASIFIKASI ISIM MENURUT ILMU SHARAF

Isim menurut bangunannya :

1. Isim ghairu shahih akhir (Maqshur, Manqush, Mamdud)
2. Isim shahih akhir

Isim menurut kedefinitifannya

1. Isim nakirah
2. Isim ma’rifah : Dhamir, ‘Alam (kunyah, laqab, isim), Isim isyarah, Isim maushul, Yang ma’rifah karena alif laam, Yang di-idhafah-kan terhadap ma’rifah, Munada yang tertentu maksudnya

Isim menurut jendernya

1. Isim mudzakkar
2. Isim muannats

Isim menurut bilangannya

1. Isim mufrad
2. Isim mutsanna
3. Isim jamak : 1) Jamak mudzakkar salim, 2) Jamak muannats salim, 3) Jamak taksir (Jamak qillah, Jamak katsrah)

Isim menurut proses tersusunnya

1. Isim jamid :
* Isim dzat (konkret)
* Isim maknawi (abstrak) atau mashdar
* Mashdar dari fi’il tsulatsi, ruba’i, khumasi, dan sudasi
* Mashdar miimi – mashdar shina’i - isim marrah dan isim hai’ah

2. Isim musytaqq :
* Isim fa’il
* Shighat mubalaghah – amal dari shighat mubalaghah
* Isim maf’ul
* Shifat musyabbahah (yang menyerupai) isim fa’il
* Isim tafdhil
* Isim zaman dan makan
* Isim alat

Isim menurut pola pen-tashghir-annya

1. Pen-tashghir-an isim tsulatsi, ruba’i, dan khumasi
2. Pen-tasghir-an isim yang huruf keduanya alif zaidah atau huruf ketiganya huruf ‘illat

Isim menurut pola penisbatan terhadapnya

1. Penisbatan terhadap maqshur, manqush, dan mamdud
2. Penisbatan terhadap isim yang diakhiri dengan yaa’ bertasydid dan terhadap tsulatsi yang akhirnya dibuang
3. Penisbatan terhadap jamak dan Isim-isim yang manshub dengan tanpa mengikuti kaidah

V. KLASIFIKASI FI’IL MENURUT ILMU SHARAF

Fi’il menurut bangunannya
1. Fi’il shahih : mahmuz, mudha’af tsulatsi, dan salim
2. Fi’il mu’tal : mitsaal, ajwaf, dan naaqish

Fi’il menurut proses tersusunnya
1. Fi’il mujarrad : fi’il mujarrad tsulatsi, fi’il mujarrad ruba’i
2. Fi’il mazid : fi’il mazid tsulatsi, fi’il mazid ruba’i

Fi’il menurut waktu terjadinya
1. Fi’il madhi
2. Fi’il mudhari’
3. Fi’il amr

Fi’il menurut obyeknya
1. Fi’il lazim
2. Fi’il muta’addi

Fi’il menurut disebutkan atau tidak pelakunya
1. Fi’il mabni ma’lum
2. Fi’il mabni majhul

Fi’il menurut pen-tashrif-annya
1. Fi’il jamid
2. Fi’il mutasharrif : fi’il yang mutasharrif sempurna dan fi’il yang mutasharrif tidak sempurna

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Apa itu Ilmu Nahwu dan Sharaf?

Nahwu

secara bahasa memiliki arti seperti atau misalnya (Kamus Al Munawwir)
secara istilah, sebagaimana yg dikatakan pengarang kitab Al Fawakih Al janiyyah, sebuah kitab penjelasan dari kitab Mutammimah (yang merupakan penjelasan dari kitab jurmiyyah):
Nahwu adalah ilmu tentang pokok, yang bisa diketahui dengannya tentang harkat (baris) akhir dari suatu kalimat baik secara i’rab atau mabniy… (baris atau harkat yg dimaksud disini adalah baris atau harkat terakhir dari suatu kata, contoh Alhamdu, maka yg dibahas dalam ilmu nahwu adalah harkat terakhir yaitu dhammah dri kata du)

biar pada ngerti maka kita make contoh dah… misalnya kita baca basmallah kan bismillahIrrahmanIr ahimi.. pernah kepikir gak knp dibaca kayak gitu? kenapa bismillahi gak BismillahA atau bismillahu? Arrahmani gak Arrahmana atau Arrahmanu? nah, disinilah fungsi ilmu nahwu, yaitu membuat sebuah kata bisa dibaca dengan benar sehingga menghasilkan makna atau arti yang benar.. karena bahasa arab itu, beda baris, maka bisa beda makna bahkan ada yg gak bisa diartiin kalo barisnya salah… catet!

Sharaf

secara bahasa memiliki arti perubahan kata (kamus Al Munawwir) secara istilah sharaf adalah perubahan bentuk kata dari bentuk yang satu ke bentuk yang lain… misalnya, dalam bahasa indonesia, kita bisa menggunakan kata teman, berteman, pertemanan, menemani, ditemani.. maka begitu juga dengan bahasa arab.. dan ilmu sharaf lah yang membahas masalah seperti itu…

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kata-kata benda sehari-hari 1

Anggota Badan (اعْضَاء الانْسَان)

رُوْحٌ نَفْسٌ نَفَسٌ بَدَنٌ/جِسْمٌ لَحْمٌ

ruh jiwa nafas badan daging

شَحْمٌ عَظْمٌ جِلْدٌ دَمٌ قَيْحٌ

lemak tulang kulit darah nanah

عَرَقٌ عِرْقٌ عَصَبٌ شَعْرٌ رَأْسٌ

keringat urat urat syaraf rambut kepala

مُخٌّ/دِمَاغٌ عَقْلٌ وَجْهٌ جَبْهَةٌ خَدٌّ

otak akal wajah dahi pipi

صُدْغٌ عَيْنٌ جَفْنٌ دَمْعٌ اَنْفٌ

pelipis mata kelopak mata air mata hidung

فَمٌ لِسَانٌ سِنٌّ حُلْقُوْمٌ شَفَةٌ

mulut lidah gigi tenggorokan bibir

شَفَةٌ عُلْيَا شَفَةٌ سُفْلَى شَارِبٌ لِحْيَةٌ أُذُنٌ

bibir atas bibir bawah kumis jenggot telinga

رَقَبَةٌ/عُنُقٌ صَدْرٌ ضِلْعٌ قَلْبٌ فُؤَادٌ

leher dada tulang rusuk jantung hati

كَبِدٌ طِحالٌ مَرَارَةٌ رِئَةٌ مَعْيٌ

hati limpa empedu paru-paru usus

مَعْيٌ غَلِيْظٌ بَطْنٌ سُرَّةٌ ظَهْرٌ صَلْبٌ

usus besar perut pusar punggung tulang punggung

إِبْطٌ كَتِفٌ/عَاتِقٌ ذِرَاعٌ عَضُدٌ مِرْفَقَةٌ

ketiak bahu lengan lengan atas siku

سَاعِدٌ يَدٌ كَفٌّ أُصْبُعٌ إِبْهَامٌ

lengan bawah tangan telapak tangan jari ibu jari

سَبَّابَةٌ وُسْطَى بِنْصِرٌ خِنْصِرٌ ظُفْرٌ

jari telunjuk jari tengah jari manis jari kelingking kuku

دُبُرٌ بَوْلٌ غَائِطٌ عَوْرَةٌ ضُرَاطٌ

anus kencing buang air besar aurat buang angin

فَخِذَ رُكْبَةٌ سَاقٌ كَعْبٌ رِجْلٌ

paha lutut betis mata kaki kaki

عَقِبٌ عُضْوٌ شَامَةٌ قَدَمٌ tumit anggota badan tahi lalat telapak kaki

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kata Kerja Sehari-hari 2 (2الاَفْعَالُ اليَوْمِيَّة )

2الاَفْعَالُ اليَوْمِيَّة

عَبَدَ- يَعْبَدُ - عَبْدًا : menyembah

تَسَحَّرَ - يَتَسَحَّرُ - تَسَحُّرًا : bersahur

صَامَ - يَصُوْمُ - صَوْمًا : berpuasa

رَكَعَ - يَرْكَعُ - رُكُوْعًا : ruku’

سَجَدَ يَسْجُدُ - سُجُودًا : sujud

سَمِعَ - يَسْمَعُ - سَمْعًا : mendengar

تَكَلَّمَ - يَتَكَلَّمُ - تَكَلُّمًا : berbicara

أَخَذَ - يَأْخُذُ - أَخْذًا : mengambil

قَعَدَ - يَقْعُدُ - قُعُوْدًا : duduk

سَافارَ - يُسَافِرُ - سَفَرًا : bepergian

عَلَّمَ - يُعَلِّمَ - تَعْلِيْمًا : mengetahui

حَفِظَ - يَحْفَظُ - حِفْظًا : menghafal / menjaga

طَلَبَ - يَطْلُبُ - طَلَبًا : menuntut / mencari

إِجْتَهَدَ - يَجْتَهِدُ - إِجْتِهَادًا : bersungguh-sungguh

اَحَبَّ - يُحِبُّ - مَحَبَّةً : mencintai

ضَحِكَ - يَضْحَكُ - ضَحْكًا : tertawa

بَكَى -يَبْكِى – بُكَاءً : menangis

سَكَتَ - يَسْكُتُ - سُكُوْتًا : diam

سَكَنَ - يَسْكُنُ - سُكُوْنًا : tinggal / menetap

فَرِحَ - يَفْرَحُ - فَرْحًا : berbahagia

حَزِنَ - يَحْزَنُ - حُِزْنًا : bersedih

بَاعَ - يَبِيْعُِ - بَيْعًا : menjual

إِشْتَرَى – يَشْتَرِي – إِشْتِرَاءً : membeli

كَنَسَ - يَكْنُسُ - كَنْسًا : menyapu

طَبَخَ - يَطْبَخُ - طَبْخًا : memasak

اَرَادَ - يُرِيْدُ - إِرَادَةً : menginginkan

إِسْتَطَاعَ - يَسْتَطِيْعُ - إِسْتِطَاعَةً : mampu

رَمَى – يَرْمِي – رَمْيًا : melempar

إِغْتَسَلَ - يَغْتَسِلُ - إِغْتِسَالاً : mencuci

نَسِيَ - يَنْسَى – نِسْيَانًا : lupa

مَرَضَ - يَمْرِضُ - مَرَضًا : sakit

مَاتَ - يَمُوْتُ - مَوتًا : mati

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Dasar-Dasar Ilmu Nahwu

Fikar

Kunci dalam mempelajari bahasa adalah banyaknya kosa kata yang dimiliki (dihafal) dan menerapkannya di dalam kalimat, dengan demikian ia akan mampu berbahasa dalam bahasa tersebut, namun hal itu belum menjamin keselamatan ungkapan dari kefahaman dan ketidak fahaman pendengar atau lawan berbicara yang disebabkan oleh kesalahan penggunaan suatu kaedah, terutama dalam bahasa arab yang penuh dengan berbagai macam kaedah yang mana bila salah dalam menggunakannya maka akan berakibat fatal terhadap arti dan maksud dari ungkapan tersebut. Untuk itu secara singkat, saya akan menjelaskan sedikit dasar-dasar dari kaedah umum bahasa arab (Nahwu) yang kiranya dapat membantu dalam mempelajari bahasa arab.

Dalam bebicara dan menyampaikan maksud kepada orang lain, tidak akan terlepas dari untaian kata-kata yang terangkai dalam suatu kalimat, dalam bahasa arabnya disebut dengan الكلام yaitu kalimat sempurna, terdiri dari dua kata atau lebih, baik terdiri dari dua isim (kata benda), misalnya الاتحاد قوة (Persatuan adalah power), atau terdiri dari Fiíl (kata kerja) dan Isim (kata benda), misalnya عاد المسافر (telah kembali para musafir), atau terdiri dari Fiíl amr misalnya, استَقِمْ dan faílnya Dhamir tersembunyi (mustatir). Kesemuanya itu menunjukkan bahwa kalimat tesusun dari beberapa kata dan mempunyai arti yang sempurna.

Kata الكلمة secara bahasa berasal dari kata كلم yang berarti melukai dengan anggota tubuh جرح kemudian arti tersebut lebih dikhususkan pada Lafadz yang diletakkan terhadap arti tertentu. Kadang kata الكلمة yang digunakan namun makna yang dimaksudkan adalah Kalimat, misalnya dalam Al Quran: (كلا إنَّها كلمة هو قائلها)Lafadz اللفظ mencakup الكلمة dan الكلام yaitu suara yang terdiri dari beberapa huruf, sedangkan القول yaitu apa-apa yang diucapkan baik itu sempurna maupun tidak sempurna.

Macam-macam kata

Setiap kalimat tersusun dari beberapa kata yang mempunyai arti yang mana dapat menunjukkan akan kedudakan dari kata tersebut di dalam kalimat, misalnya dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah SPO (subjek, predikat dan objek), begitu pun halnya dalam bahasa Arab. Sebelum mengetahui kedudukan kata, terlebih dahulu kita mengenal macam-macam kata dan pembagiannya dalam bahasa Arab guna membantu dalam memahami dan mengetahui kedudakannya di dalam sebuah kalimat. Kata di dalam bahasa Arab terbagi menjadi tiga, yaitu:

Isim الاسم (Kata benda)

Isim secara bahasa adalah nama, yaitu sebutan yang menunjukkan suatu yang dinamakan, apakah sebutan itu pada jenis atau pada unsurnya. Manusia ناس atau رَجُل adalah nama untuk suatu jenis yang dinamakan manusia atau laki-laki, dan Ahmad أحْمد adalah nama untuk individu yang dinamakan Ahmad. Semua kata ini adalah Isim. Dalam pengertian yang paling sederhana merujuk padanan dalam bahasa Indonesia, maka Isim adalah nominal. Sedangkan dalam istilah Nahwu, Isim adalah suatu kata yang menunjukkan makna tersendiri dan tidak terikat dengan waktu.

Bagaimana kita bisa mengetahui suatu kata dalam bahasa Arab itu adalah Isim? Sedangkan kita selagi pertama kali belajar Nahwu tidak mengetahui makna kata tersebut dan tidak juga mengetahui apakah suatu kata mengandung makna yang terikat dengan waktu atau tidak. Caranya adalah dengan mengetahui tanda-tanda Isim pada suatu kata yang membedakannya dari dua jenis kata lainnya. Setiap kata yang mengandung atau bisa menerima salah satu dari tanda-tanda tersebut, maka kata tersebut adalah Isim.

Tanda-Tanda Isim

Ada beberapa tanda yang terletak pada suatu kata yang menunjukkan bahwa jenis kata tersebut adalah Isim. Tanda-tanda Isim tersebut adalah:

A. Tanda dari segi artinya

Untuk mengetahui apakah kata tersebut termasuk isim, dapat dilihat dari maknanya, atau kata tersebut bisa disandarkan kepada kata yang lain baik dia itu subjek (fail) atau pemulaan kalimat (mubtada). Contohnya عاد المسافرون isim di dini bersandar pada fiíl (kata kerja) yang menunjukkan ia adalah fail, contoh mubtadaمسافر خالد.

B. Tanda dari segi Lafadznya

1. Tanwin التنوين yaitu bunyi nun sukun pada akhir kalimat yang ditandai dengan harakat double ــًـ ــٍـ ــٌـ. Contohnya, خالدٌ atau زيدٍ,dan قانتاتٍ. Maka kata-kata dalam semua contoh ini adalah Isim karena boleh dimasuki oleh tanwin. Tanwin secara garis besarnya terbagi menjadi, Pertama: Tanwin tamkin تمكين yaitu tanwin yang diikutkan kepada isim mu’rab, contoh محمدٌ. Kedua: Tanwin Tankir تنكير yang mengikuti isim ma’rifah (yang pasti) menjadikannya nakirah (belum pasti) contoh, سيبويهِ (nama ahli nahwu). Ketiga: Tanwin Muqabalah المقابلة yang diikutkan kepada Jamak muannas salim (jamak untuk perempuan) contohnya, قانتاتٍ disamakan dengan Nun yang ada pada Jamak Muzakkar Salim (jamak untuk laki-laki) قانتون. Keempat: Tanwin Ta’wid العِوَض (pengganti) yang diikutkan pada sebagian kata sebagai pengganti terhadap apa yang dihapus dan dihilangkan, baik sebagai pengganti dari huruf yang dihilangkan, contohnya راعٍ جاء kata rain ditanwinkan sebagai pengganti huruf YA yang dihilangkan, aslinya adalah راعي. Ataukah pengganti dari kata yang dihapus, misalnya kata-kata yang terletak setelak Kullu dan Ba’dhu yang terhapus kata yang disandarkan padanya كلٍّ منهم asalnya adalah كل واحد منهم. Ataupun sebagai pengganti dari kalimat yang dihilangkan, contoh زرتني قبل سنتين وكنت حينئذٍ أعمل في الجامعة (dua tahun lalu, engkau menziarahiku dan pada saat itu saya bekerja universitas), kata Hinaizin ditanwinkan karena menggantin kalimat yang hilang, asalnya adalah حينئذ زرتني.

Dapat dimasuki dan dihubungkan dengan Alif dan Lam, ألـ pada awal kata. Setiap kata yang didahului oleh AL atau boleh menerima AL, maka kata tersebut adalah Isim. Contohnya, الكاتب = seorang penulis, المؤمن = orang mukmin, المسافر = orang yang bepergian. Semua kata ini adalah Isim ditandai dengan adanya AL di awal kata.



1. Dapat dimasuki oleh Jarr الجر. Baik jarr disebabkan oleh adanya huruf jarr maupun karena Idhafah. Contohnya, الحراس على السطحِ , kata Sathi dibaca kasrah karena dimasuki oleh huruf jar yaitu Ála. Contoh Idhafah كتاب الطالبِ kata At Thalibi dibaca kasrah (jarr) karena bersandar kepada buku. Huruf-huruf Jarr adalah مِن = dari (permulaan), إلي = ke, kepada, عَن = dari (lepas, meninggalkan), علي = atas, في = di, di dalam, رُبَّ = barangkali, kadang-kadang [;sedikit atau banyak], الباء = dengan, الكاف = seperti [penyerupaan], اللام = untuk. Dan termasuk juga huruf-huruf sumpah حروف القسم, yaitu; الواو hanya untuk Isim Zhahir,[2] الباء untuk Isim Zhahir dan Dhamir, dan التاء khusus dengan kata الله. Contohnya; واللهِ, بِاللهِِ, تَاللهِ, semuanya bermakna Demi Allah.

Boleh dimasuki oleh Harf Nida (panggilan) contoh, يا زيدُ (Hai Zaid) dimasuki oleh Ya harf nida, contoh lain, يا عبدَاللهِ.

Kata tersebut dapat dirubah bentuknya menjadi bentuk Tashgir التصغير (mengecilkan) contoh, جبل (gunung) menjadi جبيل(gunung kecil), contoh lain, عصفور menjadi عُصَيْفِير.



Kata tersebut dapat dijadikan Musanna (yang menunjukan atas dua) dan jamak. Contoh, طالبان، طلاب، طالبون، طالبات

Tanda-tanda Fi’il الفِعل

Fi’il secara bahasa berarti kejadian atau pekerjaan. Dan padanannya dalam bahasa Indonesia adalah kata kerja atau verbal. Sedangkan dalam istilah Nahwu, Fi’il adalah kata yang menunjukkan suatu makna tersendiri dan terikat dengan salah satu dari tiga bentuk waktu; masa lampau, masa sekarang, dan masa yang akan datang.

Contohnya كَتَبَ adalah kata yang menunjukkan makna penulisan dan terikat dengan masa yang telah lalu, يَكْتُبُ adalah kata yang memnunjukkan makna penulisan dan terikat dengan masa sekarang, dan أكتُبْ juga adalah kata yang menunjukkan makna penulisan dan terikat dengan masa yang akan datang. Demikian juga contoh-contoh lain seperti نَصَرَ ينصُر انصُر = menolong, عَلِم يعلَم اعْلَمْ = mengetahui, جلَس يجلِس اجلِسْ = duduk, ضرَب يضرِب اضرِبْ = memukul, فهِم يفهَم افهَم = mengerti, memahami.

Perubahan bentuk dari setiap kata-kata dalam Bahasa Arab merupakan pembahasan Ilmu Sharaf atau dalam istilah yang lebih luas; Morphologi. Sedangkan dalam Ilmu Nahwu, unsur utama yang diperhatikan adalah kedudukan kata tersebut dalam struktur kalimat. Meskipun setiap kata dasar dalam bahasa Arab banyak mempunyai varian bentuk kata sesuai dengan kegunaan dan maknanya masing-masing, yang paling penting dalam Ilmu Nahwu adalah jenis-jenis semua kata tersebut dikelompokkan dalam tiga jenis saja, yaitu; Isim, Fi’il, dan Huruf.

Demikian juga, pembagian fi’il dalam Ilmu Nahwu terbatas pada tiga macam saja, yaitu kata kerja yang menunjukkan kejadian di masa lalu, kata kerja masa sekarang, dan kata kerja perintah. Dengan demikian, jenis-jenis Fi’il adalah:

1. Fi’il Madhi الفعل الماضي yaitu kata kerja yang menunjukkan suatu pekerjaan atau kejadian yang berlangsung pada masa sebelum waktu penuturan. Contoh, خطب , سمِع , انْطَلَقَ , اسْتَعملَ .Tanda-tandanya dari segi arti yaitu menunjukkan suatu pekerjaan atau kejadian yang berlangsung pada masa sebelum waktu penuturan. Adapun tanda-tandanya secara Lafdzi yaitu: Pertama: dapat dimasuki oleh Lam لـ . Kedua: Dapat dimasuki oleh Ta Al Faíl, contoh سافرتُ سافرتَ سافرتِ . Ketiga: dapat dimasuki oleh Ta ta’nis sakinah, contoh, استمعتْ سافرتْ جلستْ عادتْ. Hukum fiíl Madhi dalm I’rab adalah Mabni (tidak berubah harakah akhir hurufnya).
2. Fi’il Mudhari’ الفعل المضارع yaitu kata kerja yang menunjukkan pekerjaan atau peristiwa yang terjadi pada saat dituturkan (sekarang) atau sesudahnya (akan datang). Misalnya يَصلُحُ . Dinamakan Mudhari’karena menyerupai isim. Tanda-tanda Mudhari’adalah dapat dimasuki oleh sin السين dan saufa سوف . Juga dapat dimasuki oleh huruf jazm dan Nashb لم, لا الناهية, لام الأمر , إنْ , أَنْ, لَنْ. Dan kadang bentuknya Mudhari’namun berarti Madhi, apabila dimasuki oleh Lam, misalnya, لم يحضر (belum/tidak datang). Hukum I’rab fiíl Mudhari’ adalah Mu’rab (berubah harakah ahir hurufnya) selama tidak dimasuki oleh Nun Taukid نون التوكيد dan Nun Niswah نون النسوة.
3 Fi’il Amar فعل الأمر yaitu kata yang menunjukkan tuntutan tercapainya pekerjaan tersebut setelah masa pengungkapan. Contohnya, seorang ayah atau kawan dan lain-lain memerintahkan kepada seseorang untuk belajar, dia mengatakan = تعلَّمْ Belajarlah, atau اقرأ bacalah, atau انْطَلِقْ pergilah. Atau اسْتَغْفِر bertobatlah. Tanda-tanda fiíl amar adalah dapat dimasuki oleh Nun Taukid نُونَ التَّوكيد adalah huruf Nun pada akhir kata yang berfungsi untuk menunjukkan kesungguhan dan ketegasan tuntutan. Nun Taukid ada dua macam yaitu Khafifah (ringan) dan Tsaqilah (berat). Perbedaan keduanya dari segi bentuk adalah Nun Taukid Khafifah berbaris sukun ـنْ, sedangkan Nun Taukid Tsaqilah bertasydid dan berharakat fathahـنَّ . atau Ya Al Mukhatabah ياء المخاطبة adalah huruf Ya sukun di akhir kalimat sebagai kata ganti orang kedua perempuan; yang berfungsi untuk menunjukkan bahwa tuntutan ditujukan kepada perempuan. Contohnya, قُوْمي = (Kamu perempuan), Bangunlah!, dari asal katanya untuk laki-laki قُمْ, dan اُكْتُبي = (Kamu perempuan), Menulislah!, dari asal kata perintahnya untuk laki-laki اكتب. Kedua kata aslinya yang untuk laki-laki adalah Fi’il karena menunjukkan tuntutan dan bisa menerima Ya Mukhathabah. Dan dua kata yang untuk perempuan adalah Fi’il dengan ditandai dengan masuknya Ya Mukhathabah dan menunjukkan makna tuntutan. Hukum fiíl amar dalam I’rab adalah Mabni.

Dari semua penjelasan di atas tadi, dapat disimpulkan Tanda-tanda Fi’il yang paling utama, baik Fiíl Madhi, Mudhari’dan Amar secara umum ketika berada dalam struktur kalimat adalah:

1. Kata tersebut didahului oleh قد .
2. Tanda Fi’il yang kedua adalah suatu kata itu didahului Huruf Sin السينُ atau Huruf Saufa سوفَ.
3. Tanda Fi’il ketiga adalah Ta Ta’nis Sakinah تاءُ التَّأنيث السَّاكنَة yaitu huruf Ta sukun yang masuk pada akhir kata. Tanda ini hanya untuk Fi’il Madhi saja dan fungsinya adalah untuk menunjukkan bahwa Isim yang terpaut dengan Predikat ini berbentuk feminin (muannas).
4. Tanda Fi’il keempat adalah suatu kata yang menunjukkan makna tuntutan dan kata tersebut bisa menerima Ya Mukhathabah ياء المخاطبة atau Nun Taukid نُونَ التَّوكيد.

Huruf الحرف

Huruf adalah jenis kata yang berfungsi sebagai kata bantu, yaitu kata yang mengandung makna yang tidak berdiri sendiri. Maknanya hanya bisa diketahui dengan bersandingan dengan kata lain, baik Isim atau Fi’il

Tanda Huruf adalah tidak menerima tanda-tanda Isim atau tanda-tanda Fi’il, atau dengan ungkapan lain, Huruf adalah tanpa tanda pengenal. Kalau kita mengenal Jim dengan titik di bawah dan Kha dengan titik di atas, kita mengenal Ha tanpa titik. Demikian juga, kita mengenal jenis kata Isim dan Fi’il dengan tanda-tanda yang telah disebutkan di atas, maka kita mengenal jenis kata Huruf tanpa tanda dan tidak menerima tanda-tanda Isim atau Fi’il.

Kata yang termasuk dalam jenis Huruf ini terbagi bermacam-macam sesuai dengan fungsinya yang mempengaruhi status kata yang dimasukinya, sesuai dengan fungsi maknanya, dan terbagi menjadi tiga macam, yaitu:

1. Huruf yang dapat masuk ke Isim maupun Fiíl, dan huruf tersebut tidak mempunyai kedudukan apa apa dalam I’rab. Contoh, kata Hal هَلْ dalam وَهَلْ أَتَاكَ حديث الغاشية.

2. Huruf yang dikhususkan pada isim, dan huruf tersebut mempunyai fungsi serta kedudukannya dalam I’rab. Contoh, huruf Inna إنّ dan Fi في, dalam Al Quran : إنّ الله يحب الذين يقاتلون في سبيله.

3. Huruf yang dikhususkan tehadap Fiíl dimana huruf-huruf tersebut mempunyai kedudukan dan fungsi dalam I’rab. Contoh, huruf Nashab dan Jazam.

I’RAB الإعراب dan BINA البناء

I. Al BINA البناء

Bina adalah suatu keharusan dimana harakah (baris) akhir dari suatu kata tidak akan mengalami perubahan yang disebabkan oleh factor-faktor yang merubah harakah dan kedudukan kata, atau simpelnya, Bina adalah kata yang tidak berubah harakah akhir hurufnya. Contohnya, kata aina أينَ (dimana) dan amsi أمْسِ (kemarin), dimana baris (harakah) akhirnya tidak akan pernah berubah.

Macam-macam Bina البناء

Tanda-tanda bina suatu kata dalam I’rab terbagi menjadi empat, yaitu:

1. Sukun السُّكونُ yaitu tidak adanya harakah, yang mana terdapat pada huruf, fiíl serta isim, contoh mabni dengan sukun dari huruf هلْ , dan dari fiíl, قمْ , dan dari isim, كمْ .
2. Fatha الفَتْحُ , berbaris atas dengan fatha, hal ini pun terdapat pada Isim, contohnya أينَ , dan Huruf, contohnya سوفَ , juga pada Fi’il, contohnya, قامَ .
3. Kasrah الكَسْرُ berbaris bawah dengan kasrah, terdapat pada Isim, contohnya أمْسِ dan huruf, contohnya huruf Lam Al Jarr لامِ الجر misalnya dalam kalimat المالُ لِزَيْدٍ .
4. Dhamma الضَّمُّ berbaris atas dengan Dhamma, terdapat pada huruf, contohnya منْذُ dan isim yang menunjukkan arah misalnya تحتُ dengan syarat harus Idhafah secara makna tanpa Lafadz.

Bentuk-bentuk Mabni

Setelah mengetahui macam-macam tanda bina, seyogyanyalah untuk mengetahui apa-apa saja dari Isim, Fi’il dan Huruf yang Mabni agar tidak salah dalam menempatkan letak serta hukumnya dalam suatu kalimat.

A.Huruf الحُرُوفُ

Semua huruf adalah Mabni, baik dengan Fatha seperti وَ، كَ، ف، ثمَّ ,maupun Sukun, seperti منْ، في، إلى، هلْ , dan Kasrah seperti لِـ (لتكتبْ درسك، جئت لأشكرَك)، بِـ (كتبت بالقلم) , dan juga Dhamma sperti منذُ.

B. Af’al الأفعال

Semua Fi’il adalah Mabni kecuali Fi’il Mudhari’ yang tidak dimasuki oleh salah satu dari Nun Niswah نون النسوة maupun Nun Taukid نُونَ التَّوكيد .

Bentuk-bentuk Bina Fi’il Madhi

Fatha: Jika tidak berhubungan dengan kata apa pun, contohnya سمعَ , تكلمَ atau Fi’il tersebut bergandengan dengan Ta Ta’nis تاء التأنيث contohnya فهمَتْ , جلستْ atau Fi’il tersebut berhubungan dengan Al Alif Al Itsnain ألف الاثنين yang menunjukan dua orang, contohnya ذهبا، قاما، سعيا. Sukun: Apabila fi’il tersebut bergandengan dengan Dhamir yang kedudukannya adalah marfu’ sebagai subjek misalnya Ta mutakallim dan sebagainya, atau fi’il tersebut bergandengan dengan Nun Niswah, contohnya سمعْتُ، سمعْنا، سمعْتَ، سمعْتِ , سمعْتما، سمعْتُنّ، سمعْنَ. سعيْت، سعيْنا, سعيْتما، سعيْتُنَ. Dhamma: Apabila Fi’il tersebut berhubungan dan bergandengan dengan Wau Al Jama’ah (yang menunjukkan jamak muzakkar salim=laki-laki), contohnya سمعُوا، فهمُوا.

Bentuk-bentuk Bina Fi’il Mudhari’

Fi’il Mudhari’ Mabni apabila dimasuki oleh salah satu dari Nun Taukid dan Nun Niswah, dan tanda bina nya adalah, Sukun: Apabila berhubungan dengan Nun Niswah, contohnya يسمعْنَ، يقرأْنَ، يمشيْنَ، يدعوْنَ . Fatha: Apabila berhubungan langsung dengan Nun Taukid yang disandarkan kepada Mufrad Muzakkar, contohnya, لِتسمعَنْ، لتدعوَنّ.

Bentuk-bentuk Bina Fi’il Amar

Adapun Bina nya Fiíl Amar yaitu, Sukun: Apabila huruf terakhirnya bukan huruf Illat (Alif, Wau dan Ya) dan tidak berhubungan dengan kata apa pun, contoh افهمْ، اسمعْ , atau berhubungan dengan Nun Niswah, contoh أطعْنَ، ادنوْنَ، اسعيْنَ. Fatha: Apabila berhubungan dengan Nun Taukid, contohnya افهمَنْ، اسمعَنّ، ادعوَنْ وادعوَنّ. Khazfu Nun (dihilangkan huruf Nunnya): Apabila berhubungan dengan Alif Itsnain yang menunjukkan Mutsanna, atau Wau Jamaáh yang menunjukkan Jamak Muzakkar Salim atau Ya Al Mukhathabah, contohnya, ارعيا، اقنعوا، اقنعي. Khazfu harfu illah (meniadakan huruf Illatnya): Apabila huruf akhir dari fiíl adalah huruf illah, contohnya, ارعَ، ادعُ، امشِ.

C. Al Asma الأسماءُ

1. Dhamair الضَّمائِرُ (Pronauns) atau kata ganti baik orang pertama tunggal dan sebagainya yang terbagi menjadi Munfashil (terpisah) yang terbagi menjadi Rafa’dan nasab (kedudukannya dalam I’rab) contoh Rafa’ أنا، نحن، أنتَ، أنتما، أنتم، أنتِ، أنتما، أنتنَّ , هوَ، هما، همْ، , هيَ, هما، هنَّ Contoh Nashab : إيّاي، إيانا، إيّاكَ، إياكما، إياكم، إِياكِ، إياكما، إياكنّ، .dan Muttashil (berhubungan) juga terbagi menjadi Rafa’, Nashab, dan Jarr .Contoh Rafa’(تاء), (نا) قرأتُ, قرأنا. Contoh Nashab, ياء orang yang berbicara, سمعني. كاف (lawan berbicara) misalnya حدثك. Atau هاء (terhadap orang ketiga tunggal) misalnya, أعطيته. Contoh Jarr, Ya (ياء) (orang yg berbicara) misalnya كتبي , Ha هاء (orang ketiga tunggal) misalnya بيتهُ. Kaf كاف (lawan berbicara) misalnya كتابك.
2. Kata Sambung أسْماءُ المَوْصُولِ seperti الذي (berarti yang untuk sesuatu atau seorang yang menunjukkan Muzakkar = laki-laki), التي (untuk Muannats atau perempuan), الذينَ (jamak Muzakkar) اللاتي، اللاتِ، اللواتي (jamak muannas).
3. Kata Tanya الاسْتِفْهَامِ , seperti Man=siapa مَنْ (untuk yang berakal), Ma=apa ما (yang tidak berakal) mata=kapan متى (untuk waktu) Aina=di mana أينَ (untuk tempat).
4. Isim yang menunjukkan pada bunyi-bunyian dan suara, seperti suara bayi dan juga suara binatang, contoh إسَّ وهِسَّ، وهجْ (suara kambing/mengembik), هلا (suara kuda), كِخْ (suara tangisan bayi). Dan sebagainya.
5. Isim (kata benda) yang mengandung arti fi/íl (kata kerja), contohnya, صهْ، مهْ (cukup!), حيَّ (terimalah), أفٍّ (makian), ويْ (makian), هيهاتَ (jauh). Dan lain-lain yang mengandung makna fiíl.
6. Sebagian dari keterangan waktu dan tempat, contoh إذْ، إذا، الآنَ، حَيْثُ، أمْسِ.
7. Isim yang menunjukkan syarat أسْماءُ الشَّرْط , contoh مَنْ, مهما, متى, حيثما, كيفما, أيْ, أيّانَ.

II. AL I’RAB الإعراب

I,rab adalah kebalikan dan lawan dari Bina, dimana harakah (baris) akhir dari suatu kata akan mengalami perubahan yang disebabkan oleh factor-faktor yang merubah harakah dan kedudukan kata dalam kalimat. Yang mana tanda-tanda I’rab itu terbagi menjadi dua, ada tanda yang asli dan farí (bukan asli).

Tanda Asli dari I’rab adalah Dhamma الضمةُ untuk Rafa’, Fatha الفتحةُ untuk Nashab, Kasrah الكسرة untuk Jarr, dan Sukun السكون untuk Jazam. Tanda-tanda ini ada yang dikhususkan untuk Isim dan Fiíl saja yaitu Rafa’dan Nashab, contohnya dalam kalimat المؤمنُ يتقنُ عمله Rafa’ (dibaca dhamma pada ahir harakatnya) kata Mu’min dan yutqinu dengan Dhamma, contoh lain dari yang Nashab, إنّ القطارَ لن يغادرَ قبل المساء Nashab Isim Qitara karena dimasuki Inna (huruf Nashab isim dan rafa’khabarnya) dan Fiíl Yughadir dengan Fatha karena dimasuki oleh haruf nashab yaitu Lan. Dan dari tanda-tanda I’rab tersebut ada juga yang dikhususkan terhadap isim yaitu Jarr, contohnya في مسجدِ المدينةِ عالم Kata masjidi dibaca kasrah karena di dahului huruf Jarr dan kata Madinah di baca kasrah karena Idhafaf. Adapun tanda Jazam dikhususkannya kepada Fiíl, contohny لم يفزْ بالنجاح كسول kata yafuz di sukunkan karena dimasuki oleh huruf jazam.

Tanda-tanda Farí dari I’rab yaitu suatu harakat mengganti kedudukan harakat lainnya seperti kasrah mengganti fatha pada Jamak Muzakkar Salim dan fatha menggantikan kasrah pada Mamnu’min As sharf. Atau kedudukan harakah digantikan oleh huruf, misalnya Wau menggantikan dhamma pada jamak muzakkar salim. Dan kesemuanya itu dapat diperincikan secara garis besarnya (baik harakah yang menggantikan posisi harakah lainnya maupun huruf yang menggantikan kedudukan dari harakah) di bawah ini:

A. Harakah yang menggantikan kedudukan harakah lainnya

1. Jamak Muannas Salaim (perempuan) جمع المؤنث السالم yaitu yang menunjukkan lebih dari dua (muannats) dengan menambahkan Alif ألف dan Ta تاء pada akhir katanya. Untuk menjadikan suatu isim mufrad menjadi jamak muannats salim, maka isim tersebut Pertama: haruslah menunjukkan kepada nama-nama perempuan, mislanya jamak dari Zainab الزينبا, jamak dari Hindun الهندات , jamak dari Maryam المريمات. Kedua: Isim yang diakhiri dengan tanda-tanda Ta’nits (feminis) baik Ta , Alif Maqsur dan Mamdud , contohnya فاطمة jamaknya adalah الفاطمات, حمزة jamaknya adalah الحمزات , سماء jamaknya سماوات , كبرى jamaknya كبريات . Ketiga: Isim dalam bentuk Tashgir, contohnya kata Dirham yang telah di Tashgir menjadi Duraihim maka jamaknya adalah دُريهمات . Keempat: Isim yang terdiri dari lima huruf yang belum pernah didengar Jamak Taksirnya (tidak beraturan), misalnya kata إسطبل (kandang kuda) jamaknya إسطبلات, dan kata حمّام (Wc) jamaknya adalah حمامات . Jamak Muannats Salim ini, apabila kedudukannya Manshub dalam kalimat maka alamat I’rabnya adalah kasrah menggantikan fatha.
2. Mamnu’Min As Sharf الممنوع من الصرف Isim yang tidak diikutkan dengan Tanwin atau kasrah, olehnya itu apabila ia Majrur karena dimasuki oleh salah satu huruf Jarr maka I’rabnya adalah Majrur dengan Fatha pengganti kasrah. Adapun yang termasuk dalam Mamnu’Min As Sharf ini adalah, Pertama: nama-nama Ajami seperti إسماعيل، إبراهيم، إسحاق , Kedua: Nama-nama ajam yang terdiri dari dua kata, misalnya حضرموت، بعلبك, Ketiga: Isim yang ditambahkan Alif dan Nun pada akhirnya, misalnya رضوان، سلمان, Keempat: Isim yang timbangannya menyerupai timbangan Fiíl, contohnya أحمد، يزيد، يشكر, Kelima: Atu dalam timbangan Fu’al seperti, عُمَر، زُحَل، هُبل، عُصَم, Keenam: Isim yang bertimbangan Fa’laan فَعْلان misalnya غضبان، عطشان ,Ketujuh: Isim yang bertimbangan Afála أفعل misalnya أحمر، أصغر ,Kedelapan: Isim yang di akhir katanya adalah Alif Mamdudah atau Maqshurah, contohnya حسناء، أصدقاء، أطباء، حبلى، مصطفى ,Kesembilan: Bentuk Muntaha Jumuk, misalnya مساجد، عمائر، دوائر، قناديل. Kata-kata yang termasuk Mamnu’ Min As Sharf ini apabila dimasuki oleh salah satu huruf Jarr maka hukumnya majrur dengan Fatha pengganti kasrah, namun apabila ia dimasuki oleh AL atau ia Idhafah (bersandar pada kalimat lain) maka hukumnya tetap majrur dengan Kasrah, contohnya: في المساجدِ قناديل, karena kata masajid dimasuki oleh AL.

B. Harakah digantikan oleh Huruf

1. Mutsanna المثنى yaitu yang menunjukkan kepada dua (bernyawa atau tidak bernyawa), antara tunggal dan jamak. Yang ditambahkan Alif ألف dan Nun نون pada akhir katanya untuk menunjukkan hukumnya sebagai Marfu’, contohnya رجلان , dan menambahkan Ya ياء dan Nun نون pada akhir katanya yang menunjukkan Jarr atau Nashab, contohnya رجلين. Adapun untuk mengetahui bentuk-bentuknya adalah pembahasan dalam Ilmu Sharf.
2. Jamak Muzakkar Salim جمع المذكر السالم yang menunjukkan tiga atau lebih dengan menambahkan Wau واو dan Nun نون pada kondisi Marfu’ contohnya مسلمون , dan menambahkan Ya ياء dan Nun نون pada kondisi Majrur dan Manshub, contohnya مسلمين.
3. Asma Sittah الأسماء الستة yaitu أب (bapak), أخ (saudara lk), حم (panan), ذو (yg mempunyai), فو (mulut), هن (sesuatu). Tanda Marfu’nya dengan Wau الواو contohnya حضر أبو علي , Manshub dengan Alif الألف, contoh ورأيتُ أبا علي , dan Majrur dengan Ya الياء contohnya مررتُ بأبي علي. Syarat-syaratnya adalah haruslah tunggal (mufrad) tidak boleh mutsanna (dua) dan Jamak. Syarat lainnya adalah harus Idhafah, contohnya حضر أبوه. Dan tidak boleh jika bentuknya tashgir, contohnya أّخيُّه صغير.

C. I’rabnya dengan menghapus atau menghilangkan hurufnya

1. Al Af’al Al Khmasa الأفعال الخمسة yaitu setiap Fi’il yang berhubungan dengan Alif Itsnain (mutsanna), atau Ya Al Mukhatabah, atau Wau Jama’ah. Dinamakan Af’al Khamsa karena bentuknya ada lima yaitu, تفعلان، يفعلان، تفعلين, يفعلون، تفعلون. Hukum I’rab Fi’il yang lima ini adalah menghilangkan huruf Nun nya apabila Ia Mnshub atau Majzum, contohnya هذه الدار يريد التاجران أن يشتريا dihilangkan Nun pada kata Yasytariyani karena manshub dengan huruf nashb. Atau majzum karena dimasuki oleh huruf jazm seperti contoh di bawah ini لا تشتريا هذه الأرض.
2. Mudhari’ Mu’tal Akhir, yaitu fi’il mudhari’ yang huruf akhirnya adalah huruf Illat (alif, wau dan ya). Apabila ia berada pada posisi Majzum maka hukumnya adalah majzum dengan menghapus huruf illatnya, contohnya يدعو dan يخشى apabila dimasuki oleh huruf jazm لم يدعُ أحدا dihilangkan huruf wau nya خالد لم يخشَ أعداءه. Dihilangkan huruf ya nya.

Macam-macam I’rab


I’rab terbagi menjadi tiga macam, yaitu I’rab Dhahir (nampak) إعراب ظاهر, I’rab Muqaddar (tersembunyi) إعراب مقدر dan I’rab Mahalli إعراب محلي (berdasarkan tempat dan kedudukan dalam kalimat).

I’rab Dhahir إعراب ظاهر adalah nampak dan terlihatnya tanda-tanda I’rab seperti kasrah, dhamma dan fatha pada akhir suatu kata, contohnya في المساجدِ dimana terlihat dengan jelas kasrah pada kata masajidi. I’rab Muqaddar yaitu tidak nampaknya tanda-tanda I’rab dengan jelas pada akhir kata disebabkan oleh beratnya lidah untuk menyebutkannya atau terdapat uzur dalam penyebutan atau karena maksud menempatkannya pada suatu posisi dengan harakat yang sesuai ataupun karena dimasuki oleh huruf jarr tambahan (zaid). Dan semua itu terdapat pada:
1.
1. Isim Manquush الاسم المنقوص yaitu isim yang diakhiri dengan huruf Ya dan huruf sebelumnya kasrah, contoh القاضي muqaddar atas dhamma dan kasrah karena berat penyebutannya.
2. Isim Maqshur الاسم المقصور yaitu isim yang diakhiri dengan Alif dan huruf sebelumnya adalah fatha, contohnya الفتَى dalam kalimat حضر الفتى atau ومررتُ بفتىً I’rabnya adalah dengan menyembunyikan semua harakatnya karena ada uzur.
3. Isim yang disandarkan kepadanya Ya Mutakallim, contohnya كتابي semua harakatnya disembunyikan karena kedudukannya dengan harakat yang sesuai.
4. Isim yang dijarr dengan huruf jarr tambahan, contohnya ما حضر من أحدٍ.
5. Fi’il Mudhari’ yang huruf akhirnya adalah huruf illat, baik huruf akhirnya adalah Ya dan sebelumnya kasrah misalnya يمشي، يبني , ataukah huruf akhirnya adalah Wau sebelumnya dhamma, contohnya يدعو، يغزو, maupun huruf akhirnya Alif dan fatha sebelumnya, misalnya يرعى، يخشى, maka tanda I’rabnya adalah muqaddar karena ada uzur yang menghalangnya.

I’rab Mahalli إعراب محلي yang berdasarkan tempat dan kedudukan suatu isim dalam kalimat, dan kebanyakan terdapat pada semua isim yang mabni, contoh dari kata penunjuk هذا كريم , contoh dari kata penghubung أكرمت الذي نجح.

Nakirah (النكرة) dan Ma’rifat (المعرفة)

Nakirah (النكرة) adalah yang tidak dimaksudkan kepada sesuatu yang tertentu atau dengan kata lain nakirah adalah sesuatu yang belum tentu dan pasti, contohnya kata manusia (إنسان) dan laki-laki (رجل) apabila kedua kata tersebut belum jelas ketentuannya, manusia yang manakah atau lelaki yang mana. Sedangkan Ma’rifat (المعرفة) adalah susatu yang pasti dan dimaksudkan kepada susuatu yang tertentu, yang terbagi menjadi tujuh bagian yaitu Dhamir, álam, kata penunjuk, kata penghubung, kata yang ber alif lam (أل), bersandar pada ma’rifah , munada (panggilan=dimasuki oleh huruf nida).

Dhamir (ضمائر) adalah kata yang menunjukkan kepada mutakallim (orang pertama tunggal) atau mukhatab (lawan berbicara) dan ghaib (orang ketiga). Yang terbagi menjadi dhamir Munfashil (terpisah) yaitu dhamir yang boleh dimulai dengannya pada awal kalimat atau terletak setalh Illa (kecuali). Dan dhamir muttashil (bersambung) yaitu dhamir yang bersambungan dengan kata lain, contoh dhamir munfashil, saya (أنا), kamu laki-laki (أنتَ), kami/kita (نحن), dia laki-laki (هو), dia perempuan (هي), mereka (هم) kesemuanya adalah dhamir muttashil yang menempati kedudukan rafa’/marfu’dalam kalimat, adapaun yang menempati nashab yaitu saya (إيّاي), kamu (إيّاكَ), mereka (إياهم) dst. Contoh dhamir muttashil, Ta yang menunjukkan saya (تاء= قرأتُ), Na menunjukkan kita (=قرأنا نا) dan seterusnya.

Al ‘alam (العلم) adalah kata yang menunjukkan sesuatu pada zatnya yang meliputi Kunyah (gelar) yaitu kata yang dimulai dengan ibn, abu atau umm, contohnya (أبو بكر), (ابن الوردي), (أم المؤمنين). Laqab (gelar) yang menunjukkan kebaikan atau memuji dan keburukan atau penghinaan, contohnya (الفاروق =yang dapat membdakan baik dan buruk) dan (الأعشى =yang cacat matanya). Ataupun nama-nama orang selain kuniyah dan laqab, baik yang tunggal maupun yang tersusun dari dua kata, contohnya (أحمد), (هند), (مكة), dan (عبدالله).

Kata penunjuk (اسم الإشارة) yaitu kata yang menunjukkan pada sesuatu yang tertentu baik dekat ataupun jauh, contoh (هذا =ini lk), (هذ ه =ini pr), (ذلك =itu lk) dan (تلك =itu pr).

Kata penyambung (الاسم الموصول) yaitu kata yang menunjukkan pada susuatu yang tertentu yang berhubungan, contohnya (الذي =yang lk) dan (التي =yang pr).

Alif Lam (أل) yaitu isim nakirah yang dimasuki oleh alif dan lam, dan menjadikan sesuatu itu menjadi tertentu (ma’rifat), contohnya kata buku (كتاب) yang belum diketahui buku yang mana maka ditambahkan alif dan lam guna menunjukkan buku tertentu menjadi (الكتاب).

Isim yang disandarkan pada isim ma’rifah yaitu isim nakirah didhafkan (disandarkan) pada isim ma’rifat yang menyebabkan isim tersebut menjadi ma’rifat, contohnya (هذا كتاب عليٍّ =ini bukunya Ali), kata kitab dalam contoh ini adalah nakirah namun karena diidafhkan pada isim ma’rifat yaitu Ali maka kata kitab dengan sendirinya menjadi ma’rifat.

Munada (لمنادى) yaitu memanggil dengan maksud menentukannya sehingga ia menjadi ma’rifat, contohnya (يا بائعُ) dan (يا عبدَاللهِ).


I’rab Fi’il Mudhari’

I’rab Fi’il Mudhari’ ada tiga yaitu Nashab, Jazam dan Rafa’. Dinashabkan Mudhari’ apabila dimasuki oleh salah satu dari huruf Nashab yaitu, An أنْ contohnya وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ , Lan لن, contohnya قُل لَّن يُصِيبَنَا إِلاَّ مَا كَتَبَ اللّهُ , Izan إذن contohnya أريد أن أزورك. إذن أُكرمَك , Kay كي, contohnya فَرَدَدْنَاهُ إِلَى أُمِّهِ كَيْ تَقَرَّ عَيْنُهَا. Fi’il Mudhari’ juga dinashabkan dengan An yang tersembunyi setelah Lam لِتَغْفِرَ لَهُمْ, atau Hatta حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ, atau Fa sababiah لم تعملْ فتكسبَ, atau Athaf kepada isim sebelumnya.

Fi’il Mudhari’ itu Majzum apabila didahului oleh salah satu dari pada huruf jazam, yaitu Lam لم dan Lamma لمّا,contohnya لم يسافرْ زيد، لما يعُدْ عليٌّ. Lam لام الأمر yang menunjukan perintah, contoh لتحكمْ بين الناس بالعدلِ. La لا الناهية yang menunjukkan larangan, contohnya لاَ تُبْطِلُواْ صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالأذَى. Dan Fi’il Mudhari’ juga majzum apabila di masuki oleh salah satu dari huruh Syarth.

Apabila Fi’il Mudhari’ kosong dari huruf Nashab dan Jazam maka I’rabnya tetaplah Rafa’/ marfu’.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Ilmu Tajwid

Pengertian

Tajwid berasal dari bahasa arab jawwada-yujawwidu-tajwidan menurut bahasa adalah at-tahsin(membaguskan). Menurut istilah tajwid adalah ilmu yang mempelajari tentang tata cara membaca Al-Quran dengan baik dan benar yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW.

Hukum

Hukum mempelajari dan memperdalam ilmu tajwid adalah fardhu Kifayah (Fardhu yang apabila dalam sebuah kampung ada seseorang yang mengerjakan maka gugur kewajiban yang lain). Sedangkan hukum mengamalkannya adalah fardhu ‘Ain (diwajibkan bagi seluruh umat Islam)

Dalil

Firman Allah dalam Al-Quran:

“..............Dan bacalah Al-Quran dengan tartil.”(Q.S. Al-Muzammil: 4).

Tingkatan

Ilmu Tajwid memiliki beberapa tingkatan;

1. Makhojirul huruf (tempat keluarnya huruf)

2. Shifatul huruf (Sifat-sifat huruf)

3. Ahkaamuttajwid (hukum-hukum yang berkenanan dengan pembacaan)

Makhorijul Huruf

Makhojul huruf adalah tempat keluarnya huruf-huruf hijaiyah yang ada dalam Al-Quran. Ketika kita membaca Al-Quran maka pelafalan huruf haruslah sesuai dengan makhroj-nya. Makhorijul huruf secara masyhur ada 17, yang dihimpun dalam 5 kelompok besar;

1. Jauf (rongga mulut). Makhroj yang keluar dari sini ada satu yaitu jauf. Huruf yang keluar dari jauf yaitu: alif bersukun, wawu bersukun , dan ya bersukun

2. Halaq (tenggorokan). Makhroj yang keluar dari sini ada 3;

a) Pangkal tenggorokan hurufnya ada 2 ; hamzah,ha(besar)

b) Tengah tenggorokan hurufnya ada 2;' ain,ha

c) Ujung tenggorokan hurufnya ada 2; ghin, kho

3. Lisan (Lidah). Makhroj yang keluar dari sini ada 10;

a) Pangkal lidah bertemu dengan langit-langit bagian atas. Hurufnya ada 1; qof

b) Pangkal lidah, tepatnya sebelah atas sedikit dari makhroj qof. Hurufnya ada 1; kaf

c) Tengah-tengah lidah. Hurufnya ada 3; jim, syin, ya

d) Tepi/pinggir lidah bersentuhan dengan gigi geraham. Hurufnya ada 1; dhod

e) Pinggir lidah. Hurufnya ada 1; lam

f) Ujung lidah. Hurufnya ada 1; nun

g) Punggung lidah. Hurufnya ada 1; ro

h) Ujung lidah bertemu dengan pangkal gigi seri bagian atas. Hurufnya ada 3; dal, ta, tho

i) Ujung lidah bertemu dengan ujung gigi seri bagian atas. Hurufnya ada 3; tsa, dza, dzo

j) Ujung lidah bertemu dengan ujung gigi seri bawah dan atas. Hurufnya ada 3; sin, shod, zay

4. Syafatain (dua bibir). Makhroj yang keluar dari syafatain ada 2;

a) Bagian dalam bibir bawah dirapatkan ke ujung gigi atas. Hurufnya ada 1; fa

b) Paduan bibir atas dan bibir bawah. Hurufnya ada 3; wau, mim, ba

5. Khoisyum (Lubang/pangkal hidung). Dari sini keluar makhroj gunnah(sengau). Semua bacaan yang sengau (gunnah musyaddad, idhgom bigunnah, ikhfa dan iqlab) termasuk ke dalam makhroj ini.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS