Recent Posts

Download

Blogger Tricks

Blogger Themes

Featured Video

RSS

بَابُ لَا

اِعْلَمْ أَنَّ “لَا” تَنْصِبُ اَلنَّكِرَاتِ بِغَيْرِ تَنْوِينٍ إِذَا بَاشَرَتْ اَلنَّكِرَةَ وَلَمْ تَتَكَرَّرْ “لَا” نَحْوَ “لَا رَجُلَ فِي اَلدَّارِ”

فَإِنْ لَمْ تُبَاشِرْهَا وَجَبَ اَلرَّفْعُ وَوَجَبَ تَكْرَارُ “لَا” نَحْوَ لَا فِي اَلدَّارِ رَجُلٌ وَلَا اِمْرَأَةٌ”

فَإِنْ تَكَرَّرَتْ “لَا” جَازَ إِعْمَالُهَا وَإِلْغَاؤُهَا, فَإِنْ شِئْتَ قُلْتُ “لَا رَجُلَ فِي اَلدَّارِ وَلَا اِمْرَأَةَ”. فَإِنْ شِئْتَ قُلْتُ “لَا رَجُلٌ فِي اَلدَّارِ وَلَا اِمْرَأَةٌ”.

Bab Laa

Ketahuilah! Bahwa apabila laa bertemu langsung dengan isim nakirah maka laa menashabkan isim nakirah dengan tanpa tanwin dan tidak mengulang-ulang laa. Contohnya : لَا رَجُلَ فِي اَلدَّارِ

Jika laa tidak bertemu langsung dengan nakirah maka wajib mengulang-ulang laa.

Contohnya : لَا فِي اَلدَّارِ رَجُلٌ وَلَا اِمْرَأَةٌ

Jika mengulang-ulang laa (berarti bertemu langsung dengan nakirah), maka boleh mengamalkannya (menjadikan laa sebagai amil yang menashabkan) atau menyia-nyiakannya. Maka jika kamu suka, kamu katakan : لَا رَجُلَ فِي اَلدَّارِ وَلَا اِمْرَأَةَ

Dan jika kamu suka, kamu katakan:

لَا رَجُلٌ فِي اَلدَّارِ وَلَا اِمْرَأَةٌ”.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

بَابُ اَلْمُنَادَى

اَلْمُنَادَى خَمْسَةُ أَنْوَاعٍ : المفرد اَلْعَلَمُ, وَالنَّكِرَةُ اَلْمَقْصُودَةُ, وَالنَّكِرَةُ غَيْرُ اَلْمَقْصُودَةِ, وَالْمُضَافُ, وَالشَّبِيهُ بِالْمُضَافِ

فَأَمَّا اَلْمُفْرَدُ اَلْعَلَمُ وَالنَّكِرَةُ اَلْمَقْصُودَةُ فَيُبْنَيَانِ عَلَى اَلضَّمِّ مِنْ غَيْرِ تَنْوِينٍ, نَحْوَ “يَا زَيْدُ” وَ”يَا رَجُلُ”

وَالثَّلَاثَةُ اَلْبَاقِيَةُ مَنْصُوبَةٌ لَا غَيْرُ.

Bab Munada (yang dipanggil)

Munada itu ada lima, yaitu :

.1المفرد اَلْعَلَمُ,(nama-nama)

.2 وَالنَّكِرَةُ اَلْمَقْصُودَةُ,(nakirah yang termaksud)

.3 وَالنَّكِرَةُ غَيْرُ اَلْمَقْصُودَةِ,(nakirah yang tidak termaksud)

.4 وَالْمُضَافُ,(yang diidhafahkan)

.5 وَالشَّبِيهُ بِالْمُضَافِ (yang menyerupai mudhaf)

Adapun mufrad ‘alam dan nakirah maqsudah maka ia dimabnikan atas dhammah

يَا زَيْدُ وَيَا رَجُلُ dengan tanpa tanwin contohnya

Dan tiga munada sisanya itu tidak lain dinashabkan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

بَابُ اَلْمَفْعُولِ لِأَجْلِهِ

وَهُوَ اَلِاسْمُ اَلْمَنْصُوبُ, اَلَّذِي يُذْكَرُ بَيَانًا لِسَبَبِ وُقُوعِ اَلْفِعْلِ, نَحْوَ قَوْلِكَ “قَامَ زَيْدٌ إِجْلَالًا لِعَمْرٍو” وَ”قَصَدْتُكَ اِبْتِغَاءَ مَعْرُوفِكَ”.

Bab Maf’ul min Ajlih


Maf’ul min ajlih adalah isim yang dinashabkan yang disebut untuk menjelaskan sebab-sebab terjadinya suatu perbuatan. Contohnya :

قَامَ زَيْدٌ إِجْلَالًا لِعَمْرٍو

zaid berdiri karena menghormati ‘amr

وَقَصَدْتُكَ اِبْتِغَاءَ مَعْرُوفِكَ.

Aku mencarimu karena mengharapkan kebaikanmu

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

بَابُ اَلْمَفْعُولِ مَعَهُ

وَهُوَ اَلِاسْمُ اَلْمَنْصُوبُ, اَلَّذِي يُذْكَرُ لِبَيَانِ مَنْ فُعِلَ مَعَهُ اَلْفِعْلُ, نَحْوَ قَوْلِكَ “جَاءَ اَلْأَمِيرُ وَالْجَيْشَ” وَ”اِسْتَوَى اَلْمَاءُ وَالْخَشَبَةَ”.

وأما خَبَرُ “كَانَ” وَأَخَوَاتِهَا, وَاسْمُ “إِنَّ” وَأَخَوَاتِهَا, فَقَدْ تَقَدَّمَ ذِكْرُهُمَا فِي اَلْمَرْفُوعَاتِ, وَكَذَلِكَ اَلتَّوَابِعُ; فَقَدْ تَقَدَّمَتْ هُنَاكَ.

Bab Maf’ul Ma’ah

Maf’ul ma’ah adalah isim yang dinashabkan yang disebut untuk menjelaskan sesuatu yang bersamanya dilakukan suatu perbuatan. Contohnya :

جَاءَ اَلْأَمِيرُ وَالْجَيْشَ وَاِسْتَوَى اَلْمَاءُ وَالْخَشَبَةَ

Adapun khabar kaana dan saudara-saudaranya dan ismu inna dan saudara-saudaranya maka sungguh telah diberikan penjelasannya pada bab isim-isim yang dirafa’akan begitu juga dengan yang mengikut dinashabkan (na’at, ‘athaf, taukid, badal) telah dijelaskan disana.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

بَابُ اَلْمَخْفُوضَاتِ مِنْ اَلْأَسْمَاءِ

اَلْمَخْفُوضَاتُ ثَلَاثَةُ أَنْوَاعٍ مَخْفُوضٌ بِالْحَرْفِ, وَمَخْفُوضٌ بِالْإِضَافَةِ, وَتَابِعٌ لِلْمَخْفُوضِ

فَأَمَّا اَلْمَخْفُوضُ بِالْحَرْفِ فَهُوَ مَا يَخْتَصُّ بِمِنْ, وَإِلَى, وَعَنْ, وَعَلَى, وَفِي, وَرُبَّ, وَالْبَاءِ, وَالْكَافِ, وَاللَّامِ, وَبِحُرُوفِ اَلْقَسَمِ, وَهِيَ اَلْوَاوُ, وَالْبَاءُ, وَالتَّاءُ, وَبِوَاوِ رُبَّ, وَبِمُذْ, وَمُنْذُ.

وَأَمَّا مَا يُخْفَضُ بِالْإِضَافَةِ, فَنَحْوُ قَوْلِكَ “غُلَامُ زَيْدٍ” وَهُوَ عَلَى قِسْمَيْنِ مَا يُقَدَّرُ بِاللَّامِ, وَمَا يُقَدَّرُ بِمِنْ; فَاَلَّذِي يُقَدَّرُ بِاللَّامِ نَحْوُ “غُلَامُ زَيْدٍ” وَاَلَّذِي يُقَدَّرُ بِمِنْ, نَحْوُ “ثَوْبُ خَزٍّ” وَ“بَابُ سَاجٍ” وَ”خَاتَمُ حَدِيدٍ .

والله اعلم با الصواب

Bab Isim-isim yang Dikhafadhkan (dijarkan)

Isim-isim yang dikhafadhkan itu ada tiga bagian :

1. Dikhafadhkan dengan huruf khafadh
2. Dikhafadhkan dengan idhafah
3. Dikhafadhkan karena mengikuti yang sebelumnya

Adapun yang dijarkan dengan huruf yaitu apa-apa yang dijarkan dengan huruf

مِنْ, وَإِلَى, وَعَنْ, وَعَلَى, وَفِي, وَرُبَّ, وَالْبَاءِ, وَالْكَافِ, وَاللَّامِ, dan dengan huruf sumpah yaitu

اَلْوَاوُ, وَالْبَاءُ, وَالتَّاءُِdan dengan مُذْ, وَمُنْذُ.

Adapun yang dijarkan dengan idhafah maka contohnya: غُلَامُ زَيْدٍ dan yang dijarkan dengan idhafah itu ada dua, pertama yang ditaqdirkan dengan lam dan kedua yang ditakdirkan dengan min.

Maka yang ditaqdirkan dengan lam contohnya: غُلَامُ زَيْدٍ

Dan yang ditaqdirkan dengan min contohnya: ثَوْبُ خَزٍّ وَبَابُ سَاجٍ وَخَاتَمُ حَدِيدٍ

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

بَابُ اَلْمَفْعُولِ بِهِ

وَهُوَ اَلِاسْمُ اَلْمَنْصُوبُ, اَلَّذِي يَقَعُ بِهِ اَلْفِعْلُ, نَحْوَ ضَرَبْتُ زَيْدًا, وَرَكِبْتُ اَلْفَرَسَ

وَهُوَ قِسْمَانِ ظَاهِرٌ, وَمُضْمَرٌ

فَالظَّاهِرُ مَا تَقَدَّمَ ذِكْرُهُ

وَالْمُضْمَرُ قِسْمَانِ مُتَّصِلٌ, وَمُنْفَصِلٌ

فَالْمُتَّصِلُ اِثْنَا عَشَرَ, وَهِيَ ضَرَبَنِي, وَضَرَبَنَا, وَضَرَبَكَ, وَضَرَبَكِ, وَضَرَبَكُمَا, وَضَرَبَكُمْ, وَضَرَبَكُنَّ, وَضَرَبَهُ, وَضَرَبَهَا, وَضَرَبَهُمَا, وَضَرَبَهُمْ, وَضَرَبَهُنَّ

وَالْمُنْفَصِلُ اِثْنَا عَشَرَ, وَهِيَ إِيَّايَ, وَإِيَّانَا, وَإِيَّاكَ, وَإِيَّاكِ, وَإِيَّاكُمَا, وَإِيَّاكُمْ, وَإِيَّاكُنَّ, وَإِيَّاهُ, وَإِيَّاهَا, وَإِيَّاهُمَا, وَإِيَّاهُمْ, وَإِيَّاهُنَّ.


Maf’ul bih adalah isim yang dinashabkan yang dikenakan padanya suatu perbuatan

ضَرَبْتُ زَيْدًا, وَرَكِبْتُ اَلْفَرَسَ Contohnya

Maf’ul bih itu ada dua bagian, yaitu maf’ul bih dzhahir dan maf’ul bih dhamir

Maf’ul bih dzhahir telah dijelaskan sebelumnya (pada bab-bab yang menjelaskan tentang isim dzhahir)

Sedangkan maf’ul bih dhamir itu terbagi menjadi dua

1. Muttashil / bersambung

Maf’ul bih dhamir muttashil ada dua belas, yaitu

ضَرَبَنِي, وَضَرَبَنَا, وَضَرَبَكَ, وَضَرَبَكِ, وَضَرَبَكُمَا, وَضَرَبَكُمْ, وَضَرَبَكُنَّ, وَضَرَبَهُ, وَضَرَبَهَا, وَضَرَبَهُمَا, وَضَرَبَهُمْ, وَضَرَبَهُنَّ

2. Munfashil / terpisah

Maf’ul bih dhamir munfashil ada dua belas, yaitu

إِيَّايَ, وَإِيَّانَا, وَإِيَّاكَ, وَإِيَّاكِ, وَإِيَّاكُمَا, وَإِيَّاكُمْ, وَإِيَّاكُنَّ, وَإِيَّاهُ, وَإِيَّاهَا, وَإِيَّاهُمَا, وَإِيَّاهُمْ, وَإِيَّاهُنَّ.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

MAHROM BAGI WANITA

Mahrom merupakan masalah yang penting dalam Islam karena ia memiliki beberapa fungsi yang penting dalam tingkah laku, hukum-hukum halal/haram. Selain itu juga, Mahrom merupakan kebijaksanaan Allah dan kesempurnaan agama-Nya yang mengatur segala kehidupan. Untuk itu, seharusnya kita mengetahui siapa-siapa saja yang termasuk mahrom dan hal-hal yang terkait dengan mahrom.

Banyak sekali hukum tentang pergaulan wanita muslimah yang berkaitan erat dengan masalah mahrom, Seperti hukum safar, kholwat (berdua-duaan), pernikahan, perwalian dan lain-lain.

Ironisnya, masih banyak dari kalangan kaum muslimin yang tidak memahaminya, bahkan mengucapkan istilahnya saja masih salah, misalkan mereka menyebut dengan "Muhrim" padahal muhrim itu artinya adalah orang yang sedang berihrom untuk haji atau umroh.

Dari sinilah, maka kami mengangkat masalah ini agar menjadi bashiroh (pelita) bagi ummat. Wallahu Al Muwaffiq

[1]. Definisi Mahrom
Berkata Imam Ibnu Qudamah rahimahullah : Mahrom adalah semua orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab, persusuan dan pernikahan. [1]

Berkata Imam Ibnu Atsir rahimahullah : Mahrom adalah orang-orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya seperti bapak, anak, saudara, paman dan lain-lain. [2]

Berkata Syaikh Sholeh Al-Fauzan : Mahrom wanita adalah suaminya dan semua orang yang haram dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab seperti bapak, anak, dan saudaranya, atau dari sebab-sebab mubah yang lain seperti saudara sepersusuannya, ayah ataupun anak tirinya. [3]

[2] Macam-Macam Mahrom
Dari pengertian di atas, maka mahrom itu terbagi menjadi tiga macam:

Mahrom Karena Nasab (Keluarga)
Mahrom dari nasab adalah yang disebutkan oleh Alloh Ta'ala dalam surat An-Nur: 31
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka atau ayah suami mereka atau putra-putra mereka atau putra-putra suami mereka atau saudara-saudara lelaki mereka atau putra-putra saudara laki-laki mereka atau putra-putra saudara perempuan mereka ....

Para ulama' tafsir menjelaskan: "Sesungguhnya lelaki yang merupakan mahrom bagi wanita adalah yang disebutkan dalam ayat ini, mereka adalah: .

[1]. Ayah
Termasuk dalam kategori bapak yang merupakan mahrom bagi wanita adalah kakek, baik kakek dari bapak maupun dari ibu. Juga bapak-bapak mereka ke atas. Adapun bapak angkat, maka dia tidak termasuk mahrom berdasarkan firman Alloh Ta' ala:

"....Dan Alloh tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu ... " [Al-Ahzab : 4]

Dan ayat ini dilanjutkan dengan firman-Nya:

“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak'mereka, itulah yang lebih adil disisi Alloh, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu.... [Al-Ahzab : 5]

Berkata Imam Al Qurthubi rahimahullah: "Seluruh ulama tafsir sepekat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Zaid bin Haritsah. Para imam hadits telah meriwayatkan dari Ibnu Umar, Beliau berkata: "Dulu tidaklah kami memanggil Zaid bin Haritsah kecuali dengan Zaid bin Muhammad sehingga turun firman Alloh Taala:

"Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka...."[4]

Berkata Imam Ibnu Katsir: "Ayat ini menghapus hukum yang terdapat di awal Islam yaitu bolehnya mengambil anak angkat, yang mana dahulu kaum muslimin memperlakukan anak angkat seperti anak sendiri dalam masalah kholwah dan yang lainnya”.

Maka Alloh memerintahkan mereka untuk mengembalilcan nasab mereka kepada bapak-bapak mereka yang sebenarnya. Oleh karena itulah Alloh membolehkan menikah dengan bekas istri anak angkat. Dan Rosululloh menikah dengan Zainab binti Jahsy setelah di ceraikan oleh Zaid bin Haritsah. Alloh berfirman:

“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu'min untuk mengawini istri-istri anak angkat mereka... [Al Ahzab : 37]

Oleh karena itu Alloh berfirman tentang wanita-wanita yang diharamkan menikah dengannya:

“Dan istri anak kandungmu... [An Nisa' : 23]

Jadi tidak termasuk yang diharamkan istri anak angkat. [5]
Berkata Imam Muhammad Amin Asy Syinqithi: "Difahami dari firman Alloh Ta'ala : "Dan istri anak kandungmu" [An Nisa': 23]. Bahwa istri anak angkat tidak termasuk yang diharamkan, dan hal ini ditegaskan oleh Alloh dalam surat Al Ahzab ayat 4, 37, 40." [6 ]

Adapun bapak tiri dan bapak mertua akan kita bahas pada babnya.

Setelah mengetahui definisi mahrom dari para ulama' dan sebagian dari jenis mahrom (yakni mahrom karena nasab keluarga), maka pembahasan selanjutnya adalah mengenai contoh-contoh dari mahram dengan sebab keluarga. Juga, berikut ini akan dibahas secara singkat tentang persusuan. Bagaimana definisinya dan batasan-batasannya?

[2]. Anak laki-laki
Termasuk dalam kategori anak laki-laki bagi wanita adalah cucu, baik cucu dari anak laki-laki maupun anak perempuan dan keturunan mereka. Adapun anak angkat, maka dia tidak termasuk mahrom berdasar pada keterangan di atas. Dan tentang anak tiri dan anak menantu laki-laki akan kita bahas pada babnya.
[3]. Saudara laki-laki, baik saudara laki-laki kandung maupun saudara sebapak ataupun seibu saja.
[4]. Anak laid-laki saudara (keponakan), baik keponakan dari saudara laki-laki maupun perempuan dan anak keturunan mereka. [7]
[5]. Paman, baik paman dari bapak ataupun paman dari ibu.

Berkata Syaikh Abdul Karim Zaidan: "Tidak disebutkan paman termasuk mahrom dalam ayat ini [An Nur: 31] di karenakan kedudukan paman sama seperti kedudukan kedua orang tua, bahkan kadang-kadang paman juga disebut sebagai bapak. Alloh Ta'ala berfirman:

“Adakah kamu hadir ketika Ya'qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" Mereka menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan bapak-bapakmu Ibrahim, Ismail dan Ishaq...." [Al-Baqarah: 133]

Sedangkan Isma'il adalah paman dari putra-putra Ya'qub. [8]

Dan bahwasanya paman termasuk mahrom adalah pendapat jumhur ulama'. Hanya saja imam Sya'bi dan Ikrimah, keduanya berpendapat bahwa paman bukan termasuk mahrom karena tidak disebutkan dalam ayat ini juga dikarenakan hukum paman mengikuti hukum anaknya (padahal anak paman atau saudara sepupu bukan termasuk mahrom -pent).[9]

Mahrom Karena Persusuan
Pembahasan ini kita bagi menjadi beberapa fasal sebagai berikut:

Definisi Hubungan Persusuan
Persusuan : Adalah masuknya air susu seorang wanita kepada anak kecil dengan syarat-syarat tertentu. [10]
Sedangkan persusuan yang menjadikan seseorang menjadi mahrom adalah lima kali persusuan, berdasar pada hadits dari Aisyah, beliau berkata :

“Termasuk yang di turunkan dalam Al Qur'an bahwa sepuluh kali persusuan dapat mengharamkan (pernikahan) kemudian dihapus dengan lima kali persusuan." [11]

Ini adalah pendapat yang rajih di antara seluruh pendapat para ulama'. [12]

Dalil Tentang Hubungan Mahrom Dari Hubungan Persusuan
1). Dari Al Qur'an : Firman Alloh Ta'ala tentang wanita-wanita yang haram dinikahi:

“...Juga ibu-ibu yang menyusui kalian serta saudarasaudara kalian dari persusuan... [An Nisa': 23]

2). Dalil dari Sunnah: Dari Abdulloh Ibnu Abbas ia berkata : Rasululloh bersabda:
Diharamkan dari persusuan apa-apa yang diharamkan dari nasab. [13]

Dari Aisyah ia berkata. "Sesungguhnya Aflah saudara laki-laki Abi Qu'ais meminta izin untuk menemuiku setelah turun ayat hijab, maka saya berkata: "Demi Alloh, saya tidak akan memberi izin kepadamu sebelum saya minta izin kepada Rosululloh, karena yang menyusuiku bukan saudara Abi Qu'ais, akan tetapi yang menyususiku adalah istri Abi Qu'ais. Maka tatkala Rosululloh datang, saya berkata: Wahai Rasululloh, sesungguhnya lelaki tersebut bukanlah yang menyusuiku, akan tetapi yang menyusuiku adalah istrinya. Maka Rasululloh bersabda: "Izinkan baginya, karena dia adalah pamanmu" [14]

Siapakah Mahrom Wanita Sebab Persusuan?
Berdasarkan ayat dan hadits di atas maka kita ketanui bahwa mahrom dari sebab persusuan seperti mahrom dari nasab yaitu:

1). Bapak persusuan (suami ibu susu). Termasuk mahrom juga kakek persusuan yaitu bapak dari bapak atau ibu persusuan, juga bapak-bapak mereka keatas.
2). Anak laki-laki dari ibu susu. Termasuk anak susu adalah cucu dari anak susu baik lakilaki maupun perempuan. Juga anak keturunan mereka.
3). Saudara laki-laki sepersusuan. Baik dia saudara susu kandung, sebapak maupun cuma seibu.
4). Keponakan persusuan (anak saudara.persusuan). Balk anak saudara persusuan laki-laki maupun perempuan, juga keturunan mereka.
5). Paman persusuan (saudara laki-laki bapak atau ibu susu). [15]

Pada bagian ketiga tentang mahrom, akan dibahas jenis mahrom selanjutnya, yaitu mahrom karena mushoharoh. Apa yang dimaksud dengan mushoharoh, dari mana dalil-dalil penyebab mahrom-nya serta siapa sajakah mereka itu? Berikut jawabannya secara singkat mengenai hal itu semua.

Mahrom Karena Mushoharoh
Pembahasan ini kita bagi menjadi beberapa fasal, yaitu:

Definisi Mushoharoh
Mushoharoh berasal dari kalimat : Ash-Shihr. Berkata Imam Ibnu Atsir : "Shihr adalah mahrom karena pernikahan". [16]

Berkata Syaikh Abdul Karim Zaidan: "Mahrom wanita yang disebabkan mushoharoh adalah orang-orang yang, haram menikah dengan wanita tersebut selama-lamanya seperti ibu tiri, menantu perempuan, mertua perempuan". [17]

Maka mahrom yang disebabkan mushoharoh bagi ibu tiri adalah anak suaminya dari istrinya yang lain (anak tirinya), dan mahrom mushoharoh bagi menantu perempuan adalah bapak suaminya (bapak mertua), sedangkan bagi ibu istri (ibu mertua) adalah suami putrinya (menantu laki-laki)." [18]

Dalil Mahrom Sebab Mushoharoh
Firman Alloh:

“...Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami mereka,atau ayah mereka,atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka... [An Nur : 31]

Firman Alloh Ta'ala:
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu (ibu tiri)... [An Nisa' : 22]

Firman Alloh Ta'ala:
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ... ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu (anak: tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, dan istri-istri anak kandungmu (menantu)... [An Nisa': 23]

Siapakah Mahrom Wanita Dari Sebab Mushoharoh?
Berdasarkan ayat-ayat di atas maka dapat kita ketahui bahwa orang-orang yang haram dinikahi selama-lamanya karena sebab mushoharoh ada lima yaitu:

1). Suami
Berkata Imam Ibnu Katsir, ketika menasirkan firman Alloh ta'ala surat An Nur: 31 "Adapun suami, maka semua ini (bolehnya menampakkan perhiasan, perintah menundukkan pandangan dari orang lain -pent) memang diperuntukkan baginya: Maka seorang istri berbuat sesuatu untuk suaminya yang tidak dilakukannya dihadapan orang lain." [19]

Berkata Imam Qurthubi dan Syaukani: "Makna [bu'uulatihinna] adalah suami dan tuan bagi seorang budak wanita sebagaimana firman Alloh: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluan mereka kecuali kepada istri dan budak mereka, maka mereka itu tidak tercela” [Al Mu'minun: 5-6]. [20]

2). Ayah Mertua (Ayah Suami)
Mencakup ayah suami atau bapak dari ayah dan ibu suami juga bapak-bapak mereka keatas. [21]

3). Anak Tiri (Anak suami dari istri lain)
Termasuk anak tiri adalah cucu tiri baik cucu dari anak tiri laki-laki maupun perempuan, begitu juga keturunan mereka. [22]

Maka haram bagi seorang wanita untuk menikah dengan anak tirinya, begitu juga sebaliknya. Berkata Imam Ibnu Katsir saat menafsirkan firman Alloh : “Janganlah kalian menikah dengan wanita-wanita yang (pernah) dinikahi oleh bapak-bapak kalian” [An Nisa': 22] "Alloh Ta'ala mengharamkan menikah dengan istri-istri bapak (ibu tiri) demi menghormati mereka, dengan sekedar terjadi akad nikah baik terjadi jima' ataupun tidak, dan masalah ini telah disepakati oleh para ulama'." [23]

4). Ayah Tiri (Suami ibu tapi bukan bapak kandungnya).
Maka haram bagi seorang wanita untuk dinikahi oleh ayah tirinya, kalau sudah berjima' dengan ibunya. Adapun kalau belum maka hal itu dibolehkan. [24]

Berkata Abdulloh Ibnu Abbas: "Seluruh wanita yang pernah dinikahi oleh bapak maupun anakmu, maka dia haram bagimu." [25]

5). Menantu Laki-Laki (Suami putri kandung) [26]
Dan kemahroman ini terjadi sekedar putrinya di akadkan kepada suaminya. [27]

Alhamdulillah, setelah tuntas membahas mengenai definisi mahrom, jenis-jenis dan siapa-siapa saja yang dihukumi mahrom, maka yang akan dibahas berikutnya adalah menepis anggapan sebagian kaum muslimin yang salah dalam menentukan mahrom. Siapa-siapa saja yang biasa mereka menganggap mahrom, padahal bukan?

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

MAKNA HAID DAN HIKMAHNYA

[1]. Makna Haid

Menurut bahasa, haid berarti sesuatu yang mengalir. Dan menurut istilah syara' ialah darah yang terjadi pada wanita secara alami, bukan karena suatu sebab, dan pada waktu tertentu. Jadi haid adalah darah normal, bukan disebabkan oleh suatu penyakit, luka, keguguran atau kelahiran. Oleh karena ia darah normal, maka darah tersebut berbeda sesuai kondisi, lingkungan dan iklimnya, sehingga terjadi perbedaan yang nyata pada setiap wanita.

[2]. Hikmah Haid

Adapun hikmahnya, bahwa karena janin yang ada didalam kandungan ibu tidak dapat memakan sebagaimana yang dimakan oleh anak yang berada di luar kandungan, dan tidak mungkin bagi si ibu untuk menyampaikan sesuatu makanan untuknya, maka Allah Ta'ala telah menjadikan pada diri kaum wanita proses pengeluaran darah yang berguna sebagai zat makanan bagi janin dalam kandungan ibu tanpa perlu dimakan dan dicerna, yang sampai kepada tubuh janin melalui tali pusar, dimana darah tersebut merasuk melalui urat dan menjadi zat makanannya. Maha Mulia Allah, Dialah sebaik-baik Pencipta.

Inilah hikmah haid. Karena itu, apabila seorang wanita sedang dalam keadaan hamil tidak mendapatkan haid lagi, kecuali jarang sekali. Demikian pula wanita yang menyusui sedikit yang haid, terutama pada awal masa penyusuan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

'Iddah Talak Dihitung Dengan Haid, Keputusan Bebasnya Rahim Dan Kewajiban Mandi

HUKUM-HUKUM HAID

a.'Iddah Talak Dihitung Dengan Haid

Jika seorang suami menceraikan isteri yang telah digauli atau berkumpul dengannya, maka si isteri harus beriddah selama tiga kali haid secara sempurna apabila termasuk wanita yang masih mengalami haid dan tidak hamil. Hal ini didasarkan pada firman Allah.

"Artinya : Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'..." [Al-Baqarah : 228]

Tiga kali quru' artinya tiga kali haid. Tetapi jika si isteri dalam keadaan hamil, maka iddahnya ialah sampai melahirkan, baik masa iddahnya itu lama maupun sebentar. Berdasarkan firman Allah.

"Artinya : ..Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya..." [Ath-Thalaaq : 4]

Jika si isteri termasuk wanita yang tidak haid, karena masih kecil dan belum mengalami haid, atau sudah menopause, atau karena pernah operasi pada rahimnya, atau sebab-sebab lain sehingga tidak diharapkan dapat haid kembali, maka iddahnya adalah tiga bulan. Sebagaimana firman Allah.

"Artinya : Dan perempuan-perempuan yang putus asa dari haid di antara isteri-isterimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan ; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid .." [At-Thalaaq : 4]

Jika si isteri termasuk wanita-wanita yang masih mengalami haid, tetapi terhenti haidnya karena suatu sebab yang jelas seperti sakit atau menyusui, maka ia tetap dalam iddahnya sekalipun lama masa iddahnya sampai ia kembali mendapati haid dan beriddah dengan haid itu. Namun jika sebab itu sudah tidak ada, seperti sudah sembuh dari sakit atau telah selesai dari menyusui sementara haidnya tak kunjung datang, maka iddahnya satu bulan penuh terhitung mulai dari tidak adanya sebab tersebut. Inilah pedapat yang shahih yang sesuai dengan kaidah-kaidah syar'iyah. Dengan alasan, jika sebab itu sudah tidak ada sementara haid tak kunjung datang maka wanita tersebut hukumnya seperti wanita yang terhenti haidnya karena sebab yang tidak jelas. Dan jika terhenti haidnya karena sebab yang tidak jelas, maka iddahnya yaitu satu tahun penuh dengan perhitungan ; sembilan bulan sebagai sikap hati-hati untuk kemungkinan hamil (karena masa kehamilan pada umumnya 9 bulan) dan tiga bulan untuk iddahnya.

Adapun jika talak terjadi setelah akad nikah sedang sang suami belum mencampuri dan menggauli isterinya, maka dalam hal ini tidak ada iddah sama sekali, baik dengan haid maupun yang lain. Berdasarkan firman Allah Ta'ala.

"Artinya : Hai prang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu menceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah yang kamu minta menyempurnakannya ..." [Al-Ahzaab : 49]

b. Keputusan Bebasnya Rahim

Yakni keputusan bahwa rahim bebas dari kandungan. Ini diperlukan selama keputusan bebasnya rahim dianggap perlu, karena hal ini berkaitan dengan beberapa masalah. Antara lain, apabila seorang mati dan meninggalkan wanita (isteri) yang kandungannya dapat menjadi ahli waris orang tersebut, padahal si wanita setelah itu bersuami lagi. Maka suaminya yang baru itu tidak boleh menggaulinya sebelum ia haid atau jelas kehamilannya. Jika telah jelas kehamilannya, maka kita hukumi bahwa janin yang dikandungnya mendapatkan hak warisan karena kita putuskan adanya janin tersebut pada saat bapaknya mati. Namun, jika wanita itu pernah haid (sepeninggal suaminya yang pertama), maka kita hukumi bahwa janin yang dikandungnya tidak mendapatkan hak warisan karena kita putuskan bahwa rahim wanita tersebut bebas dari kehamilan dengan adanya haid.

c. Kewajiban Mandi

Wanita haid jika telah suci wajib mandi dengan membersihkan seluruh badannya. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Fatimah binti Abu Hubaisy.

"Artinya : Bila kamu kedatangan haid maka tinggalkan shalat, dan bila telah suci mandilah dan kerjakan shalat". [Hadits Riwayat Al-Bukhari]

Kewajiban minimal dan mandi yaitu mebersihkan seluruh anggota badan sampai bagian kulit yang ada dibawah rambut. Yang afdhal (lebih utama), adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala ditanya oleh Asma binti Syakl tentang mandi haid, beliau bersabda.

"Artinya : Hendaklah seseorang di antara kamu mengambil air dan daun bidara lalu berwudhu dengan sempurna, kemudian mengguyurkan air di bagian atas kepala dan menggosok-gosoknya dengan kuat sehingga merata ke seluruh kepalanya, selanjutnya mengguyurkan air pada anggota badannya. Setelah itu, mengambil sehelai kain yang ada pengharumnya untuk bersuci dengannya. "Asma bertanya : "Bagaimana bersuci dengannya ?" Nabi menjawab : "Subhanallah". Maka Aisyah pun menerangkan dengan berkata :"Ikutilah bekas-bekas darah". [Hadits Riwayat Muslim, Shahih Muslim, Juz 1 hal.179]

Tidak wajib melepas gelungan rambut, kecuali jika terikat kuat dan dikhawatirkan air tidak sampai ke dasar rambut. Hal ini didasarkan pada hadits yang tersebut dalam Shahih Muslim Juz 1, hal. 178 dari Ummu Salamah Radhiyallahu 'anha bahwa ia bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Aku seorang wanita yang menggelung rambutku, haruskah aku melepasnya untuk mandi jinabat ? ' Menurut riwayat lain : 'untuk (mandi) haid dan jinabat ?' Nabi bersabda. 'Tidak cukup kamu siram kepalamu tiga kali siraman (dengan tanganmu), lalu kamu guyurkan air ke seluruh tubuhmu, maka kamupun menajdi suci".

Apabila wanita haid mengalami suci di tengah-tengah waktu shalat, ia harus segera mandi agar dapat melakukan shalat pada waktunya. Jika ia sedang dalam perjalanan dan tidak ada air, atau ada air tetapi takut membahayakan dirinya dengan menggunakan air, atau sakit dan berbahaya baginya air, maka ia boleh bertayamum sebagai ganti dari mandi sampai hal yang menghalanginya itu tidak ada lagi, kemduian mandi.

Ada di antara kaum wanita yang suci di tengah-tengah waktu shalat tetapi menunda mandi ke waktu lain, dalihnya :"Tidak mungkin dapat mandi sempurna pada waktu sekarang ini". Akan tetapi ini bukan alasan ataupun halangan, karena boleh baginya mandi sekedar untuk memenuhi yang wajib dan melaksanakan shalat pada waktunya. Apabila kemudian ada kesempatan lapang, barulah ia dapat mandi dengan sempurna.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Makna Istihadhah Dan Kondisi Wanita Mustahadhah

ISTIHADHAH DAN HUKUM-HUKUMNYA

[1]. Makna Istihadhah

Istihadhah ialah keluamya darah terus-menerus pada seorang wanita tanpa henti sama sekali atau berhenti sebentar seperti sehari atau dua hari dalam sebulan.

Dalil kondisi pertama, yakni keluamya darah terus-menerus tanpa henti sama sekali, hadits riwayat Al- Bukhari dari Aisyah Radhiyallahu 'anha bahwa Fatimah binti Abu Hubaisy berkata kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam :

"Ya Rasulullah, sungguh aku ini tak pemah suci " Dalam riwayat lain• "Aku mengalami istihadhah maka tak pemah suci. "

Dalil kondisi kedua, yakni darah tidak berhenti kecuali sebentar, hadits dari Hamnah binti Jahsy ketika datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata:

"Ya Rasulullah, sungguh aku sedang mengalami Istihadhah yang deras sekali. " [Hadits riwayat Ahmad,AbuDawud dan At-Tirmidi dengan menyatakan shahih. Disebutkan pula bahwa hadits ini menurut Imam Ahmad shahih, sedang menurut Al-Bukhari hasan]

[2]. Kondisi Wanita Mustahadhah

Ada tiga kondisi bagi wanita mustahadhah:
[a]. Sebelum mengalami istihadhah, ia mempunyai haid yang jelas waktunya. Dalam kondisi ini, hendaklah ia berpedoman kepada jadwal haidnya yang telah diketahui sebelumnya. Maka pada masa itu dihitung sebagai haid dan berlaku baginya hukum-hukum haid. Adapun selain masa tersebut merupakan istihadhah yang berlaku baginya hukum-hukum istihadhah.

Misalnya, seorang wanita biasanya haid selama enam hari pada setiap awal bulan, tiba-tiba mengalami istihadhah dan darahnya keluar terus-menerus. Maka masa haidnya dihitung enam hari pada setiap awal bulan, sedang selainnya merupakan istihadhah. Berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha bahwa Fatimah binti Abi Hubaisy bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam : "Ya Rasulullah, sungguh aku mengalami istihadhah maka tidak pernah suci, apakah aku meninggalkan shalat? Nabi menjawab: Tidak, itu adalah darah penyakit. Namun tinggalkan shalat sebanyak hari yang biasanya kamu haid sebelum itu, kemudian mandilah dan lakukan shalat. "[Hadits riwayat Al-Bukhari]

Diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada Ummu Habibah binti Jahsy: "Diamlah selama masa haid yang biasa menghalangimu, lalu mandilah dan lakukan shalat. " Dengan demikian,wanita mustahadhah yang haidnya sudah jelas waktunya menunggu selama masa haidnya itu. Setelah itu mandi dan shalat, biar pun darah pada saat itu masih keluar.

[b]. Tidak mempunyai haid yang jelas waktunya sebelum mengalami istihadhah, karena istihadhah tersebut terus-menerus terjadi padanya mulai dari saat pertama kali ia mendapati darah. Dalam kondisi ini, hendaklah ia melakukan tamyiz (pembedaan); seperti jika darahnya berwarna hitam, atau kental,. atau berbau maka yang terjadi adalah haid dan berlaku baginya hukum-hukum haid. Dan jika tidak demikian, yang terjadi adalah istihadhah dan berlaku baginya hukum-hukum istihadhah.

Misalnya, seorang wanita pada saat pertama kali mendapati darah dan darah itu keluar terus menerus; akan tetapi ia dapati selama sepuluh hari dalam sebulan darahnya berwama hitam kemudian setelah itu berwama merah, atau ia dapati selama sepuluh hari dalam sebulan darahnya kental kemudian setelah itu encer, atau ia dapati selama sepuluh hari dalam sebulan berbau darah haid tetapi setelah itu tidak berbau maka haidnya yaitu darah yang berwama hitam (pada kasus pertama), darah kental (pada kasus kedua) dan darah yang berbau (padakasus ketiga). Sedangkan selain hal tersebut, dianggap sebagai darah istihadhah.

Berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada Fatimah binti Abu Hubaisy: “Darah haid yaitu apabila berwarna hitam yang dapat diketahui. Jika demikian maka tinggalkan shalat. Tetapi jika selainnya maka berwudhulah dan lakukan shalat karena itu darah penyakit.” [Hadits riwayat Abu Dawud, An-Nasa'i dan dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim]

Hadits ini, meskipun perlu ditinjau lagi dari segi sanad dan matannya, telah diamalkan oleh para ulama' rahimahumullah. Dan hal itu lebih utama daripada dikembalikan kepada kebiasaan kaum wanita pada umumnya.

[c]. Tidak mempunyai haid yangjelas waktunya dan tidak bisa dibedakan secara tepat darahnya. Seperti: jika istihadhah yang dialaminya terjadi terus-menerus mulai dari saat pertama kali melihat darah sementara darahnya menurut satu sifat saja atau berubah-ubah dan tidak mungkin dianggap sebagai darah haid. Dalam kondisi ini, hendaklah ia mengambil kebiasaan kaum wanita pada umumnya.

Maka masa haidnya adalah enam atau tujuh hari pada setiap bulan dihitung mulai dari saat pertama kali mendapati darah Sedang selebihnya merupakan istihadhah.

Misalnya, seorang wanita saat pertama kali melihat darah pada tanggal 5 dan darah itu keluar terus-menerus tanpa dapat dibedakan secara tepat mana yang darah haid, baik melalui wama ataupun dengan cara lain. Maka haidnya pada setiap bulan dihitung selama enam atau tujuh hari dimulai dari tanggal tersebut.
Hal ini berdasarkan hadits Hamnah binti Jahsy Radhiyallahu 'anha bahwa ia berkata kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam : "Ya Rasulullah, sungguh aku sedang mengalami istihadah yang deras sekali. Lalu bagaimana pendapatmu tentangnya karena ia telah menghalangiku shalat dan berpuasa? Beliau bersabda: "Aku beritahukan kepadamu (untuk menggunakan) kapas dengan melekatkannya pada farji, karena hal itu dapat menyerap darah". Hamnah berkata: "Darahnya lebih banyak dari itu". Nabipun bersabda: "Ini hanyalah salah satu usikan syetan. Maka hitunglah haidmu 6 atau 7 hari menurut ilmu Allah Ta'ala lalu mandilah sampai kamu merasa telah bersih dan suci, kemudian shalatlah selama 24 atau 3 hari, dan puasalah." [Hadits riwayat Ahmad,Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Menurut Ahmad dan At-Tirmidzi hadits ini shahih, sedang menurut Al-Bukhari hasan]

Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam : 6 atau 7 hari tersebut bukan untuk memberikan pilihan, tapi agar si wanita berijtihad dengan cara memperhatikan mana yang lebih mendekati kondisinya dari wanita lain yang lebih mirip kondisi fisiknya, lebih dekat usia dan hubungan kekeluargaannya serta memperhatikan mana yang lebih mendekati haid dari keadaan darahnya dan pertimbangan-pertimbangan lainnya.

Jika kondisi yang lebih mendekati selama 6 hari, maka dia hitung masa haidnya 6 hari; tetapi jika kondisi yang lebih mendekati selama 7 hari, maka dia hitung masa haidnya 7 hari.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

NIFAS DAN HUKUM-HUKUMNYA

Makna Nifas

Nifas ialah darah yang keluar dari rahim disebabkan kelahiran, baik bersamaan dengan kelahiran itu, sesudahnya atau sebelumnya ( 2 atau 3 hari) yang disertai dengan rasa sakit.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: "Darah yang dilihat seorang wanita ketika mulai merasa sakit adalah nifas." Beliau tidak memberikan batasan 2 atau 3 hari. Dan maksudnva yaitu rasa sakit yang kemudian disertai kelahiran. Jika tidak, maka itu bukan nifas.

Para ulama berbeda pendapat tentang apakah masa nifas itu ada batas minimal dan maksimalnya. Menurut Syaikh Taqiyuddin dalam risalahnya tentang sebutan yang dijadikan kaitan hukum oleh Pembawa syari'at, halaman 37 Nifas tidak ada batas minimal maupun maksimalnya. Andaikata ada seorang wanita mendapati darah lebih dari 40,60 atau 70 hari dan berhenti, maka itu adalah nifas. Namun jika berlanjut terus maka itu darah kotor, dan bila demikian yang terjadi maka batasnya 40 hari, karena hal itu merupakan batas umum sebagaimana dinyatakan oleh banyak hadits."

Atas dasar ini, jika darah nifasnya melebihi 40 hari, padahal menurut kebiasaannya sudah berhenti setelah masa itu atau tampak tanda-tanda akan berhenti dalam waktu dekat, hendaklah si wanita menunggu sampai berhenti. Jika tidak, maka ia mandi ketika sempurna 40 hari karena selama itulah masa nifas pada umumnya. Kecuali, kalau bertepatan dengan masa haidnya maka tetap menunggu sampai habis masa haidnya. Jika berhenti setelah masa (40 hari) itu, maka hendaklah hal tersebut dijadikan sebagai patokan kebiasaannya untuk dia pergunakan pada masa mendatang.

Namun jika darahnya terus menerus keluar berarti ia mustahadhah. Dalam hal ini,hendaklah ia kembali kepada hukum-hukum wanita mustahadhah yang telah dijelaskan pada pasal sebelumnya. Adapun jika si wanita telah suci dengan berhentinya darah berarti ia dalam keadaan suci, meskipun sebelum 40 hari. Untuk itu hendaklah ia mandi, shalat, berpuasa dan boleh digauli oleh suaminya.Terkecuali, jika berhentinya darah itu kurang dari satu hari maka hal itu tidak dihukumi suci. Demikian disebutkan dalam kitab Al-Mughni.

Nifas tidak dapat ditetapkan, kecualijika si wanita melahirkan bayi yang sudah berbentuk manusia. Seandainya ia mengalami keguguran dan janinnya belum jelas berbentuk manusia maka darah yang keluar itu bukanlah darah nifas, tetapi dihukumi sebagai darah penyakit. Karena itu yang berlaku baginya adalah hukum wanita mustahadhah.

Minimal masa kehamilan sehingga janin berbentuk manusia adalah 80 hari dihitung dari mulai hamil, dan pada umumnya 90 hari. Menurut Al-Majd Ibnu Taimiyah, sebagaimana dinukil dalam kitab Syarhul Iqna': "Manakala seorang wanita mendapati darah yang disertai rasa sakit sebelum masa (minimal) itu, maka tidak perlu dianggap (sebagai nifas). Namun jika sesudahnya, maka ia tidak shalat dan tidak puasa. Kemudian, apabila sesudah kelahiran temyata tidak sesuai dengan kenyataan maka ia segera kembali mengerjakan kewajiban; tetapi kalau tidak teryata demikian, tetap berlaku hukum menurut kenyataan sehingga tidak pedu kembali mengerjakan kewajiban"

Hukum-Hukum Nifas

Hukum-hukum nifas pada prinsipnya sama dengan hukum-hukum haid, kecuali dalam beberapa hal berikut ini:

[a]. Iddah. dihitung dengan terjadinya talak, bukan dengan nifas. Sebab, jika talak jatuh sebelum isteri melahirkan iddahnya akan habis karena melahirkan bukan karena nifas. Sedangkan jika talak jatuh setelah melahirkan, maka ia menunggu sampai haid lagi, sebagaimana telah dijelaskan.

[b]. Masa ila'. Masa haid termasuk hitungan masa ila', sedangkan masa nifas tidak.

Ila' yaitu jika seorang suami bersumpah tidak akan menggauli isterinya selama-lamanya, atau selama lebih dari empat bulan. Apabila dia bersumpah demikian dan si isteri menuntut suami menggaulinya, maka suami diberi masa empat bulan dari saat bersumpah. Setelah sempurna masa tersebut, suami diharuskan menggauli isterinya, atau menceraikan atas permintaan isteri. Dalam masa ila' selama empat bulan bila si wanita mengalami nifas, tidak dihitung terhadap sang suami, dan ditambahkan atas empat bulan tadi selama masa nifas. Berbeda halnya dengan haid, masa haid tetap dihitung terhadap sang suami.

[c]. Baligh. Masa baligh terjadi denganhaid, bukan dengan nifas. Karena seorang wanita tidakmungkinbisa hami sebelum haid, maka masabaligh seorang wanita terjadi dengan datangnya haid yang mendahului kehamilan.

[d]. Darah haid jika berhenti lain kembali keluar tetapi masih dalam waktu biasanya, maka darah itu diyakini darah haid. Misalnya, seorang wanita yang biasanya haid delapan hari, tetapi setelah empat hari haidnya berhenti selama dua hari, kemudian datang lagi pada hari ketujuh dan kedelapan; maka tak diragukan lagi bahwa darah yang kembali datang itu adalah darah haid.

Adapun darah nifas, jika berhenti sebelum empat puluh hari kemudian keluar lagi pada hari keempat puluh, maka darah itu diragukan. Karena itu wajib bagi si wanita shalat dan puasa fardhu yang tertentu waktunya pada waktunya dan terlarang baginya apa yang terlarang bagi wanita haid, kecuali hal-hal yang wajib. Dan setelah suci, ia harus mengqadha' apa yang diperbuatnya selama keluarya darah yang diragukan, yaitu yang wajib diqadha' wanita haid. Inilah pendapat yang masyhur menunut para fuqaha ' dari Madzhab Hanbali.

Yang benar, jika darah itu kembali keluar pada masa yang dimungkinkan masih sebagai nifas maka termasuk nifas. Jika tidak, maka darah haid. Kecuali jika darah itu keluar terus menerus maka merupakan istihadhah. Pendapat ini mendekati keterangan yang disebutkan dalam kitab AI-Mughni' bahwa Imam Malik mengatakan:

"Apabila seorang wanita mendapati darah setelah dua atau tiga hari, yakni sejak berhentinya, maka itu termasuk nifas.

Jika tidak, berarti darah haid." Pendapat ini sesuai dengan yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Menurut kenyataan, tidak ada sesuatu yang diragukan dalam masalah darah. Namun, keragu-raguan adalah hal yang relatif, masing-masing orang berbeda dalam hal ini sesuai dengan ilmu dan pemahamannya. Padahal Al-Qur'an dan Sunnah berisi penjelasan atas segala sesuatu.

Allah tidak pernah mewajibkan seseorang berpuasa ataupun thawaf dua kali, kecuali jika ada kesalahan dalam tindakan pertama yang tidak dapat diatasi kecuali dengan mengqadha'. Adapun jika seseorang dapat mengerjakan kewajiban sesuai dengan kemampuannya maka ia telah terbebas dari tanggungannya. Sebagaimana firman Allah:

"Artinya : Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupan.. " [Al-Baqarah: 286]

"Artinya : Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu ..." [At-Taghabun : 16]

[e]. Dalam haid,jika si wanita suci sebelum masa kebiasaannya, maka suami boleh dan tidak terlarang menggaulinya. Adapun dalam nifas, jika ia suci sebelum empat puluh hari maka suami tidak boleh menggaulinya, menurut yang masyhur dalam madzhab Hanbali.

Yang benar,menurut pendapat kebanyakan ulama, suami tidak dilarang menggaulinya. Sebab tidak ada dalil syar'i yang menunjukkan bahwa hal itu dilarang, kecuali riwayat yang disebutkan Imam Ahmad dari Utsman bin Abu Al-Ash bahwa isterinya datang kepadanya sebelum empat puluh hari, lalu ia berkata: "Jangan kau dekati aku !".

Ucapan Utsman tersebut tidak berarti suami terlarang menggauli isterinya karena hal itu mungkin saja merupakan sikap hati-hati Ustman, yaknik hawatir kalau isterinya belum suci benar, atau takut dapat mengakibatkan pendarahan disebabkan senggama atau sebab lainnya. Wallahu a 'lam.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Pengertian Shalat Jum'at, Hukum, Syarat, Ketentuan, Hikmah Dan Sunah Solat Jumat

A. Arti Definisi / Pergertian Shalat Jumat

Sholat Jum'at adalah ibadah salat yang dikerjakan di hari jum'at dua rakaat secara berjamaah dan dilaksanakan setelah khutbah.

B. Hukum Sholat Jum'at

Shalah Jum'at memiliki hukum wajib 'ain bagi laki-laki / pria dewasa beragama islam, merdeka dan menetap di dalam negeri atau tempat tertentu. Jadi bagi para wanita / perempuan, anak-anak, orang sakit dan budak, solat jumat tidaklah wajib hukumnya.

Dalil Al-qur'an Surah Al Jum'ah ayat 9 :

" Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."

C. Syarat Sah Melaksanakan Solat Jumat

1. Shalat jumat diadakan di tempat yang memang diperuntukkan untuk sholat jumat. Tidak perlu mengadakan pelaksanaan solat jum'at di tempat sementara seperti tanah kosong, ladang, kebun, dll.
2. Minimal jumlah jamaah peserta salat jum'at adalah 40 orang.
3. Shalat Jum'at dilaksanakan pada waktu shalat dhuhur / zuhur dan setelah dua khutbah dari khatib.

D. Ketentuan Shalat Jumat

Shalat jumat memiliki isi kegiatan sebagai berikut :
1. Mengucapkan hamdalah.
2. Mengucapkan shalawat Rasulullah SAW.
3. Mengucapkan dua kalimat syahadat.
4. Memberikan nasihat kepada para jamaah.
5. Membaca ayat-ayat suci Al-quran.
6. Membaca doa.

E. Hikmah Solat Jum'at

1. Simbol persatuan sesama Umat Islam dengan berkumpul bersama, beribadah bersama dengan barisan shaf yang rapat dan rapi.
2. Untuk menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antar sesama manusia. Semua sama antara yang miskin, kaya, tua, muda, pintar, bodoh, dan lain sebagainya.
3. Menurut hadis, doa yang kita panjatkan kepada Allah SWT akan dikabulkan.
4. Sebagai syiar Islam.

F. Sunat-Sunat Shalat Jumat


1. Mandi sebelum datang ke tempat pelaksanaan sholat jum at.
2. Memakai pakaian yang baik (diutamakan putih) dan berhias dengan rapi seperti bersisir, mencukur kumis dan memotong kuku.
3. Memakai pengaharum / pewangi (non alkohol).
4. Menyegerakan datang ke tempat salat jumat.
5. Memperbanyak doa dan salawat nabi.
6. Membaca Alquran dan zikir sebelum khutbah jumat dimulai.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

اَلنَّعْتُ

Na’at adalah tabi’ yang menyifati isim sebelumnya. Na’at bisa disebut sifat.

Contoh:

جَاءَ إِمَامٌ عَادِلٌ (Seorang imam yang adil telah datang)

تُصَلِّي مُسْلِمَةٌ صَالِحَةٌ (Seorang muslimah yang shalihah sedang shalat)

Ketentuan-Ketentuan Na’at:

1. Na’at harus mengikuti man’ut dari sisi ta’yin (kejelasan) nya.

Contoh:

رَجَعَ طَالِبٌ مَاهِرٌ (Seorang mahasiswa yang pandai telah kembali)

رَجَعَ الطَّالِبُ الْمَاهِرُ (Seorang mahasiswa yang pandai itu telah kembali)

2. Na’at harus mengikuti man’ut dari sisi ‘adad (jumlah) nya.

Contoh:

رَجَعَ طَالِبٌ مَاهِرٌ (Seorang mahasiswa yang pandai telah kembali)

رَجَعَ طَالِبَانِ مَاهِرَانِ (Dua orang mahasiswa yang pandai telah kembali)

رَجَعَ طُلاَّبٌ مَاهِرُوْنَ (Para mahasiswa yang pandai telah kembali)

3. Na’at harus mengikuti man’ut dari sisi nau’ (jenis) nya.

Contoh:

رَجَعَ طَالِبٌ مَاهِرٌ (Seorang mahasiswa yang pandai telah kembali)

رَجَعَ طَالِبَةٌ مَاهِرَةٌ (Seorang mahasiswi yang pandai telah kembali)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS